Penulis
Intisari-Online.com -Setelah empat tahun tak ada kejelasan dan seolah dilupakan, kasus yang menimpa TKW asal Lombok Utara Sri Rabitah diangkat kembali.
Diungkitnya kembali kasus ini setelah Bupati Lombok Utara Nazmul Akhyar membuat laporan ke Polda Nusa Tenggara Barat pada 11 April 2017 lalu.
Sejak itulah Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB langsung bergerak cepat.
Kita tahu, Rabitah, yang berasal dari Dusun Lokok Ara, Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, NTB, diduga kuat sebagai korban perdagangan orang dan perdagangan organ tubuh di Qatar.
Kejadian tersebut terjadi pada empat tahun silam.
(Baca juga:Kisah Pilu TKW di Taiwan: "Saya Diperkosa Lima Kali Seminggu")
(Baca juga:TKW Lupa Bahasa Indonesia: Bagaimana Seseorang Kehilangan Kemampuan Bahasa Asalnya?)
“Kasus ini memang menyita waktu dan pikiran, tetapi kami ingin kasus yang menimpa TKW asal NTB menjadi shock therapy bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, Selasa (2/1), kepada kontributor Kompas TV, dilansir dari Kompas.com.
Bersama timnya, Pujawati mengaku mencurahkan segala kemampuan dan tenaganya membongkar kasus Rabitah yang menurutnya melibatkan sindikat perdagangan orang hingga ke luar negeri.
Ia juga menuturkan bahwa sangat sulit memulai penyidikan kasus ini karena dokumen Rabitah yang sulit dilacak.
Meski begitu, adik Rabitah, Juliani, yang juga direkrut menjadi TKW ke Doha, Qatar, punya dokumen dan berkas yang lengkap.
Pujawati juga menegaskan bahwa kasus Rabitah inimerupakan pintu masuk membongkar kejahatan kemanusiaan yang menyita perhatian publik sejak awal 2017 itu.
“Kami punya bukti yang cukup untuk menindaklanjuti kasus ini,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, sudah dua tersangka yang meringkuk di dalam sel tahanan Polda NTB.
(Baca juga:Kisah TKW asal Banten yang 10 Tahun Hilang, Ditemukan Sudah Lupa Bahasa Indonesia)
(Baca juga:Jadi PRT di Inggris, TKW Ini Digaji Rp35 Juta Sebulan)
Mereka adalah Ulf dan In. Kedua orang yang merupakan calo yang merekrut Rabitah dan Juliani ini adalah warga Dusun Batu Keruk, Desa Akar Akar, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.
Ada kasus menarik sebelum Ulf ditangkap.
Ia beberaka kali menelepon Rabitah dan memintanya agar tak mempercayai siapa pun yang ingin menolong dan menangani kasus ini.
Tapi Rabitah pintar. Ia merekam seluruh pembicaraannya dengan Ulf.
“Saya rekam apa pun yang dia katakan. Ini dengar saja sendiri, dia minta saya tidak mengadukan masalah saya kepada polisi karena nanti sayalah yang bisa ditangkap. Tetapi, saya tidak percaya apa pun yang dia katakan,” ujar Rabitah.
Karena sering diintimidasi Ulf melalui telepon, Rabitah akhirnya memutuskan mengganti nomor kontaknya.
Tapi bagiamanapun juga, kasus yang melibatkan Rabitah dan Juliani sangat berliku dan sulit dibongkar.
Selain karena sudah terjadi empat tahun lalu, pihak yang terlibat sudah banyak yang tak terlacak.
Karena itu, aparat melakukan empat kali gelar perkara kasus tersebut untuk memastikan adanya TPPO yang melibatkan dua tersangka.
Setelah pengembangan, kemungkinan tersangka bertambah setelah 20 saksi diperiksa.
Bagaimanapun juga, sindikat TPPO laiknya penyakit menular yang sulit diberantas.
Korbannya bisa mencapai ribuan orang serta selalu menyasar anak di bawah umur dan mereka yang kebingungan mencari kerja—lebih-lebih mereka yang gampang terjerat iming-iming uang.
Rabitah dan Juliani adalah dua di antaranya.
Keinginan lari dari kemiskinan seolah menjadi pilihan terakhir menitipkan nasib ke negeri orang lewat tangan tekong.
Rabitah dan Juliani, kata Pujiwati, adalah jalan membongkar sindikat perdagangan orang di NTB.
Ia mengaku sulit menjerat calo TKI karena selalu bisa lepas dari jerat hukum karena bukti yang kurang atau korban yang enggan melapor dan tak mau memberi kesaksian.
(Baca juga:Selain TKW Satinah, Ada 280 TKI yang ‘Antre’ Hukuman Mati)
“Mereka tereksploitasi dan tak menyadari bahwa itu bahaya besar untuk mereka sehingga kerja aparat dan pemerintah akan berat,” kata Puja.
Pujawati mengatakan, pihaknya menjerat kedua tersangka denga Pasal 10 dan Pasal 11 juncto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.
Jerat pasal itu didasari kejahatan tersangka dalam perekrutan, modus TPPO, dan eksploitàsi. Tersangka juga membantu pemalsuan dokumen.
Misalnya tahun kelahiran Rabitah yang sebenarnya tahun 1992 diubah menjadi 1985.
Juliani dipalsukan juga tahun kelahirannya, yang semula 2005 menjadi tahun 1988, dengan alamat palsu.
Tim penyidik juga menelusuri Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Falah Rima Hudaity Bersaudara di Jakarta.
Dari sanalah sejumlah saksi bisa dimintai keterangannya.
Ketua tim pendamping Sri Rabitah, Muhammad Shaleh, yang juga Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran (PBHBM) wilayah NTB mengapresiasi tindakan aparat kepolisian yang melanjutkan kasus Rabitah hingga telah sampai ke penyerahan berkas penyidikan ke Kejaksaan Tinggi NTB.
Rabitah berjuang mencari kebenaran
Semua ini berawal dari pengakuan Rabitah setelah diperiksa di RSUD NTB pada Februari 2017.
Di rumah saki itu, Rabitah ditanya apakah pernah menjual ginjalnya.
Rabitah pun kaget, lalu menceritakannya kepada keluarga dan pemerintah.
Bahkan, kasus hilangnya ginjal ini menjadi catatan Bakesbanglinmas Lombok Utara.
Belum sempat dioperasi, kabar soal Rabitah kehilangan satu ginjalnya menyebar dan menarik perhatian publik mengingat kasus serupa pernah terjadi, tetapi korban telah meninggal terlebih dahulu sebelum membuktikan lewat pemeriksaan.
(Baca juga:Lewat BPJS-TK, Anak TKI yang Meninggal Dunia Diberi Beasiswa Sampai Lulus Serta Santunan Rp85 Juta)
Anehnya, RSUD NTB justru membantah menyatakan satu ginjal rabitah hilang dan membuktikannya secara resmi.
PBHBM NTB terus mendampingi Rabitah di saat-saat sulit ketika Rabitah dituduh melakukan kebohongan publik, bahkan ia didesak mengakui kesalahannya.
Rabitah berjuang mencari kebenaran.
Dia ingin bukti benda apa yang berada di tubuhnya selain selang yang tertanam selama tiga tahun dan telah dioperasi di Rumah Sakit Biomedika.
Pendamping Rabitah hingga kini masih yakin bahwa satu ginjal kanan yang rusak bukan milik Rabitah.
Rabitah bahkan pernah menuturkan kepada Kompas.com saat berada di Rumah Aman Paramita milik Kementerian Sosial di Mataram bahwa dia sangat yakin pernah menjalani operasi di Rumah Sakit Qatar pada 14 Agustus 2014.
“Saya masih ingat saya dimasukkan dalam ruangan yang di atasnya banyak lampu-lampu. Saya tanya kepada majikan saya waktu itu, saya mau diapain. Kata mereka penyakit saya mau diangkat, tiba-tiba saya tidak sadarkan diri,” kata Rabitah.
Rabitah tiba-tiba menurunkan sarungnya dan menunjukkan pinggang bagian kanannya.
“Saya masih ingat ada bekas jahitan di sini waktu itu. Saya sempat pegang, tetapi saya dimasukkan dalam tabung, tak tahu apa itu. Tiba-tiba jahitan saya sudah tidak ada, saya tak pernah berbohong, sekarang kenapa mereka semua tak percaya saya,” kata Rabitah sedih.
(Baca juga:Ginjal TKI Sri Rabitah Diduga Dicuri oleh Sindikat Penjualan Organ Tubuh)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjuangan TKW Rabitah Cari Keadilan Setelah Ginjalnya Dicuri di Qatar")