Find Us On Social Media :

Mau Alih Profesi? Silahkan, Tidak Ada yang Tidak Mungkin di Dunia Ini

By Mentari DP, Kamis, 4 Januari 2018 | 12:15 WIB

Intisari-Online.com – Beralih profesi sering terasa berat, sama beratnya dengan memiliki banyak profesi.

Padahal, profesi sebetulnya hanyalah sebuah peran, seperti halnya peran-peran kita dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang bisa saja memiliki banyak peran sebagai anak/orangtua, adik/kakak, suami/istri, dsb.

Hanya saja, dalam alih profesi, orang terkadang miscasting.

(Baca juga: Dulu Profesi-profesi Ini Mungkin Tak Pernah Terbayang, Padahal Kini Gajinya Puluhan Juta Rupiah)

(Baca juga: Dari Dokter Sampai Koki, Inilah 5 Profesi yang Bisa dan Sudah Digantikan oleh Robot Humanoid)

Dalam kondisi ini, yang salah bukan profesinya, melainkan orangnya.

Apabila seseorang sudah mengetahui siapa dirinya, ia dapat memilih cast yang sesuai dengan dirinya, yang menonjolkan kekuatannya, dan bisa mengeluarkan sisi terbaiknya.

Untuk mengetahui siapa diri kita, ya tanya saja kepada diri sendiri. Tidak perlu bertanya pada orang lain.

Namun, masih banyak orang yang sulit jujur pada diri sendiri. Hal ini disebabkan banyaknya lambang dan nilai dari luar yang seolah-olah menjadi pengatur dirinya. Seperti kalimat “bahaya apabila alih profesi.”

Padahal, daripada cuma terus dipikirkan, kenapa tidak langsung dicoba saja. Tidak perlu takut.

Yang membedakan pemberani dan penakut hanya action. Yang dihadapi dan dirasakan oleh penakut dan pemberani mungkin sama saja.

Bedanya, seorang pemberani melakukan apa yang tidak dilakukan  oleh penakut.

Tentu saja yang dimaksud “mencoba” di sini bukanlah mencoba sesuatu yang gegabah, melainkan sesuatu yang taktis.

Terdapat mekanisme yang make sense dari proses alih profesi. Sekali lagi, make sense.

Bukan mekanisme yang pasti ataupun yang baku.

(Baca juga: Bukan Tentara atau Dokter atau Polisi atau Guru, Inilah Profesi Idaman Remaja Indonesia Masa Kini)

Dari grafik, kita bisa melihat adanya ‘profesi’ dan ‘lahan/obyek’.

Namun, perpindahan keduanya dari yang lama ke yang baru tidak dapat dilakukan bersamaan.

Harus dipilih salah satu lebih dahulu. Artinya, kita harus mengubah profesi lebih dulu atau mengubah lahan/obyeknya lebih dulu.

Ambil contoh auditor yang ingin alih profesi menjadi fotografer. Sebelumnya dia harus memastikan bahwa alih profesi itu bukan sekadar ingin, tapi panggilan hati.

Tentu saja dia tidak bisa dengan serta-merta beralih menjadi fotografer profesional. Siapa yang akan percaya bahwa dia jago memotret?

Agar alih profesi berjalan mulus, dia perlu mendekatkan diri dengan objek fotografi (yang menjadi ‘lahan/objek baru’).

Dia harus berada di lingkungan fotografer, bertemu model, memahami alat-alat fotografi, dsb.

Intinya, membuat dirinya lebih sering berada di lingkungan fotografi.

(Baca juga: Di Indonesia Jadi Idaman, Di Jepang Profesi Dokter Justru Bikin Pria Tak Diminati oleh Para Wanita)

Untuk seorang auditor, bisa saja dia menjadi auditor yang khusus membantu para fotografer. Tidak lagi berurusan dengan BUMN, misalnya.

Cara yang kedua, mengganti profesi terlebih dahulu. Si auditor bisa saja mulai menjadi fotografer khusus untuk para auditor, yang tidak lain adalah teman-temannya.

Dia tetap berada di lingkungan auditor tapi berprofesi sebagai fotografer.

Mengubah profesi dan lahan/objek secara bersamaan sebetulnya bukanlah hal yang tidak mungkin.

Namun, pilihannya terlalu impulsif. Jadi, tidak direkomendasikan sebab tidak make sense.

Sekali lagi, bukan dilarang atau diharamkan, karena memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Jadi, apakah Anda berminat alih profesi? Atau ingin setia dengan profesi yang sekarang?

Itu terserah Anda. It’s not a big deal!

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2012)