Find Us On Social Media :

Kisah Raja Mataram yang Gemar Menghukum Musuhnya dengan Tangan Sendiri

By Ade Sulaeman, Jumat, 29 Desember 2017 | 09:00 WIB

Intisari-Online.com – Kalau kita berdiri dengan tenang di depan Stadhuis (Balai Kota) kemudian memandang ke arah di mana dahulu berdiri kastil Batavia yang didirikan oleh Coen, seolah-olah masih terngiang di telinga kita bunyi dentang 'lontjeng kuwasa' ", demikian antara lain tulis de Haan dalam bukunya yang terkenal Oud-Batavia.

Memang genta yang dipasang pada menara bagian Selatan kastil Batavia dahulu diberi julukan "lonceng kuasa" oleh penduduk, karena benda itu seolah-olah menentukan kehidupan mereka di sekitar kota.

Lonceng itu berdentang tidak hanya untuk menunjukkan waktu akan tetapi juga bila ada hal-hal lain: pengumuman-pengumuman baru, pemasangan plakat yang berisi peraturan-peraturan baru atau bila akan dilakukan eksekusi terhadap seorang terhukum kelas berat.

Dan beredarlah ceritera-ceritera ngeri mengenai cara melaksanakan hukuman tadi.

(Baca juga: Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur)

Hukuman dera dengan cambuk rotan atau cambuk bergerigi adalah soal biasa yang dapat disaksikan penduduk hampir setiap hari.

Akan tetapi kalau ada seorang terhukum yang diharuskan duduk di atas kuda-kudaan dari kayu dengan pelananya diberi paku-paku, benar-benar sukar dibayangkan kengeriannya.

Hukuman mati dengan cara dipenggal lehernya atau digantung juga masih soal biasa. Namun ketika J.P. Coen menjadi Gubernur Jendral, jenazah si terhukum tadi masih dikenai hukuman pula.

Dr. R.A.M. Bergman yang melakukan penelitian khusus mengenai segala kegiatan Coen dalam soal-soal hukum (yang maksudnya akan diterbitkan tahun 1929 pada saat peringatan 300 tahun tewasnya Coen, tetapi temyata baru terbit tahun 1932) mengatakan bahwa Coen sangat benci terhadap kejahatan yang menyangkut soal seks.

Segala kejahatan di bidang seks, terutama homoseksual, diancam dengan hukuman mati, kemudian jenazah si terhukum dibakar dan abunya dibuang (" De homosexueelen worden gestraft met den dood, daarna verbrand en hun asch verstrooid ").

Di atas adalah beberapa contoh cara pelaksanaan hukuman oleh pihak Kompeni terhadap penduduk ataupun penghuni Batavia lainnya.

Bila kita mengunjungi Museum Fatahillah di Jakarta sekarang, maka menyaksikan penjara-penjara di bawah tanah yang ada dalam museum itu masih dapat kita rasakan sedikit kengerian tadi.

Dan sekarang bagaimana kalau Raja Mataram menjatuhkan hukuman terhadap musuhnya?

(Baca juga: Buah Maja, Rasanya Ternyata Tidak Sepahit Akhir Kisah Majapahit)

Ditikam sendiri

Seorang Raja menjatuhkan pidana mati terhadap penjahat atau musuh kerajaan lainnya adalah soal biasa. Begitulah paling sedikit yang kita dengar atau baca dalam ceritera. Raja-raja Mataram pun melakukan hal yang sama.

Kadang-kadang ia menikam sendiri musuhnya dengan sebilah keris seperti yang dilakukan Sunan Amangkurat II terhadap Trunojoyo.

Akan tetapi lebih sering sang Raja mengutus salah seorang punggawanya melaksanakan eksekusi itu. Sebagai bukti bahwa eksekusi telah dilaksanakan, punggawa tadi biasanya akan membawa kepala si korban ke hadapan Raja.

Anehnya, seringkali seorang terhukum yang menerima putusan Raja yang dibawa punggawa tadi sama sekali tidak menolak atau memberontak, meskipun ia seorang Bupati atau Pejabat Tinggi lainnya.

la akan pasrah dan rela ditikam untuk kemudian dipenggal kepalanya, seolah-olah memang telah menjadi suratan nasibnya menjalani hukuman itu.

Kitapun yang sering mendengar atau membaca dongeng-dongeng sedemikian itu jadi terbiasa pula, meskipun tuduhan yang ditimpakan oleh Raja hanya soal sepele saja. Hati kita baru "tergugah" bila cara melaksanakan eksekusi itu begitu kejam menurut pandangan sekarang.

Misalnya saja, nasib yang dialami seorang pegawai VOC bernama Antonio Paulo. la ditawan di Jepara tahun 1631 bersama dengan 24 orang temannya.

Pada tahun 1634 ia dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung dengan jalan melemparkannya ke dalam kandang buaya. Ketika tahun 1646 dilakukan pertukaran tawanan antara VOC-Mataram, ternyata ke 24 orang rekan Antonio Paulo tidak ada lagi.

Kemungkinan besar mereka juga menjadi umpan hewan-hewan ganas tadi.

Berikut ini adalah beberapa contoh cara pelaksanaan hukuman mati di Mataram yang diambil dari beberapa dongeng.

(Baca juga: Wajib Bangga! Desa Penglipuran di Bali Masuk Tiga Desa Terbersih di Dunia)