Penulis
Intisari-Online.com - Bercokolnya Israel di Lebanon khususnya bagian selatan bukannya tidak ada perlawanan.
Kaum Syiah yang merupakan kelompok perlawanan baru dan sepak terjangnya cukup menonjol, membentuk kelompok pejuang bernama Hizbullah pada 1982.
Tujuan para pejuang Hizbullah adalah mengusir Israel dari bumi Lebanon dan selanjutnya memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina.
Kelompok Hizbullah bisa dengan cepat menjadi kelompok yang kuat karena mendapat dukungan dana dan persenjataan dari Iran serta Suriah.
(Baca juga:Katyusha, ‘Rudal Bodoh’ Andalan Pejuang Hizbullah yang Kerap Bikin Pasukan Israel Kalang Kabut)
(Baca juga:Dan Halutz, Jenderal yang Membuat Malu Militer Israel Setelah Kalah Bertempur Melawan Hizbullah)
Untuk melawan Hizbullah militer Israel berusaha memanfaatkan South Lebanon Army (SLA) yang cenderung pro-Israel tapi dalam berbagai pertempuran milisi SLA selalu terpukul mundur.
Perlawanan para pejuang Hizbullah makin merugikan Israel ketika mereka mulai menggunakan taktik serangan bom bunuh diri.
Serangan bom bunuh diri Hizbullah yang pernah membunuh 28 anggota militer Israel itu akhirnya membuat pasukan Israel mundur dari wilayah Lebanon Selatan.
Sementara untuk mengontrol Lebanon Selatan, militer Israel masih tetap mempercayakan kepada para milisi SLA.
Namun pamor SLA pelan-pelan pudar karena peran Hizbullah di Lebanon Selatan makin dominan.
Peran Hizbullah bahkan membuat pasukan PBB, UNIFIL, yang bertugas di Libanon Selatan juga makin kehilangan peran.
Bagaimanapun juga, mereka tidak bisa mencegah konflik antara Hizbullah dan militer Israel yang masih saja sering terjadi.
Selain makin kuat dalam persenjataan, seperti memiliki roket Katyusha yang telah dimodifikasi, kekuatan tempur Hizbullah juga makin besar setelah para pejuang PLO diam-diam ikut bergabung.
(Baca juga:Perang Arab-Israel, Perang Berkepanjangan yang Tak akan Berhenti Sebelum Warga Palestina Merdeka)
(Baca juga:Perang Arab-Israel 1948, Perang yang Berujung pada Pengukuhan Kemerdekaan Israel secara Sepihak)
Akibat serangan Hizbullah yang makin sering terjadi, pada Mei 1988, pasukan Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Libanon.
Kendati berhasil memukul mundur Hizbullah, pasukan Israel yang dibantu milisi SLA mengakui bahwa Hizbullah merupakan lawan yang tangguh.
Dalam satu kesempatan Hizbullah bahkan berani menyergap konvoi pasukan Israel sehingga menewaskan delapan serdadu Israel.
Untuk menghancurkan kekuatan tempur Hizbullah di Lebanon Selatan, militer Israel kemudian melancarkan serbuan udara dan gempuran artileri secara besar-besaran.
Tujuan serangan yang menghancurkan infrastruktur Lebanon dan banyak menimbulkan korban jiwa warga sipil itu adalah agar penduduk Lebanon menyalahkan keberadaan Hizbullah.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, penduduk Lebanon malah marah kepada Isarel yang telah menerapkan perang secara membabi buta dan malah makin bersimpati terhadap Hizbullah.
Serangan roket Katyusha yang ditembakkan para pejuang Hizbullah pun makin banyak menghujani wilayah Israel Utara dan mulai memakan korban.
Israel sebenarnya kebingungan menghadapi roket Katyusha yang dari sisi teknologi termasuk sederhana dan sama sekali tidak menggunakan sistem pemandu.
Jika roket Katyusha ditembakkan akan terdengar suara nyaring disusul sirene pertanda bahaya serangan roket yang menggema di wilayah Israel Utara.
Penduduk Isarel pun katakutan dan berusaha mencari tempat berlindung sambil menunggu jatuhnya roket yang sasarannya apa saja itu.
Warga Israel jelas merasa terteror atas serangan roket yang bertubi-tubi itu.
Karena frustrasi militer Israel pada tahun 1993 pun kembali melancarkan serangan udara dan artileri secara brutal ke Lebanon Selatan.
Tujuannya serangan itu adalah membuat penduduk Lebanon Selatan mengungsi ke Lebanon Utara (Beirut) sekaligus berharap agar pasukan Suriah dan Libanon mengekang sepak terjang para pejuang Hizbullah.
(Baca juga:PLO, Para Pejuang yang Gigih Melawan Pasukan Israel Demi Mendapatkan Kemerdekaan di Bumi Palestina)
(Baca juga:Yasser Arafat, Pejuang Palestina yang Legendaris dan Pernah Memukul Mundur Pasukan Israel)
Namun, akibat serangan brutal itu, Israel justru mendapat tekanan dunia internasional dan diminta segera menghentikan serangan.
Sebaliknya para pejuang Hizbullah pamornya makin naik dan terus saja menyerang wilayah Israel menggunakan roket Katyusha yang sudah di up grade sehingga jarak tembaknya makin jauh.
Sepak terjang para pejuang Hizbullah jelas membuat Pemerintah Israel makin frustasi.
Pada bulan November 1995 kembali terjadi guncangan hebat di dalam negeri Israel setelah PM Israel, Yitshak Rabin tewas ditembak oleh seorang ekstremis Yahudi.
Rabin kemudian diganti oleh PM Simon Peres, yang dalam pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh tokoh militer dan kaum garis keras Yahudi.
Pengaruh garis keras itu terus menekan Peres untuk menyerang lagi Hizbullah yang kedudukkannya makin berjaya di wilayah Lebanon Selatan.
Serangan membabi buta pun kembali dilancarkan sehingga membuat penduduk kota Tyre harus mengungsi menuju Beirut.
Tapi ketika gempuran artileri Israel menghajar kota Kana dan menewaskan ratusan penduduk yang berada dalam perlindungan UNIFIL, PBB pun marah besar.
Pemerintah AS juga turut marah dan meminta Israel segera menghentikan serangan dan mengadakan gencatan senjata.
Akibat tekanan dunia internasional yang luar biasa itu, militer Israel pun menyetujui gencatan senjata dengan Hizbullah yang berlangsung pada bulan April 1996.
Tapi kendati sudah tercipta gencatan senjata militer Israel tetap berusaha menggempur pejuang Hizbullah, namun selalu berakhir dengan kegagalan.
Akibat serangan militer yang kerap gagal menghancurkan kekuatan Hizbullah, pamor keberadaan pejuang Hizbullah di Lebanon Selatan pun makin bersinar.
Kekuatan dan jumlah para pejuang Hizbullah justru makin bertambah akibat gempuran yang sering dilakukan oleh militer Israel.
Milisi SLA yang menyadari naik pamornya Hizbullah pelan-pelan mulai menarik diri dari hubungan dekatnya dengan militer Israel, sehingga para pejuang Hizbullah makin leluasa untuk melancarkan serangan ke Israel.
(Baca juga:‘Yerusalem Milik Kami, Sebagai Orang Kristen, Yahudi dan Muslim. Orang Luar Tak Boleh Ikut Campur’)
Salah satu serangan spekatkuler Hizbullah yang mengakibatkan seorang jenderal Israel gugur berlangsung pada bulan Februari 1999.
Akibat serangan mematikan itu militer Israel pun ditarik dari zona penyangga keamanan Lebanon Selatan.
Setelah penarikan mundur pasukan itu, militer Israel lalu memperkuat penjagaan di perbatasan Lebanon-Israel.
Penarikan mundur pasukan Israel dari Lebanon Selatan secara politik merupakan kemenangan bagi pejuang Hizbullah dan para pejuang Palestina yang dikenal sebagai kelompok Hamas.
Dengan modal rasa percaya diri atas keberhasilan mengusir militer Isarel yang sudah 18 tahun bercokol di Lebanon Selatan, para pejuang Hizbullah dan Hamas Palestina pun menjadi semakin berani untuk menyerang Israel.
Roket-roket Hizbullah dan Hamas pun terus berjatuhan ke wilayah Israel hingga saat ini terutama setelah Israel secara sepihak memindahkan ibukotanya ke Yeruslem pada bulan Desember 2017.