Golda Meir, PM Wanita Israel yang Nyaris Menggunakan Bom Nuklir dalam Perang Yom Kippur

Moh Habib Asyhad

Penulis

Ia dikritik secara luas karena ketidaksiapan Israel dalam menghadapi serangan Perang Yom Kippur—meskipun pasukan Mesir dan Suriah dikalahkan scara telak.

Intisari-Online.com -Golda Meir yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Israel pada periode 1969 – 1974 bisa jadi merupakan salah satu nenek paling terkenal di dunia.

Sederet jabatan penting pernah dipangkunya. Akhir 1940-an Golda menjadi duta besar Israel pertama untuk Uni Soviet.

Selama sembilan tahun ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri hingga akhirnya diusia 71 tahun Golda meraih posisi Perdana Menteri di Israel.

(Baca juga:Meski dalam Perang Yom Kippur Pasukan Mesir Terpukul Mundur, tapi Secara Politis Israel Sebenarnya Kalah)

(Baca juga:Dan Halutz, Jenderal yang Membuat Malu Militer Israel Setelah Kalah Bertempur Melawan Hizbullah)

Sebagai salah satu pendiri Israel dan politikus wanita paling menonjol di eranya, Golda memberi kesan terhadap banyak orang.

Di era 1970-an, Golda dikagumi sebagaimana Ratu Elizabeth. Ia dikenal baik dengan nama pertamanya sebagai Madonna.

Tapi bagi jutaan warga Yahudi dan Israel, ia disayangi sebagai Golda Shelanu, atau “Our Golda”.

Di sisi lain, sebagaimana public figure termasyur lainnya, Golga juga memiliki kegagalan.

Ia dikritik secara luas karena ketidaksiapan Israel dalam menghadapi serangan Perang Yom Kippur—meskipun pasukan Mesir dan Suriah dikalahkan scara telak.

Tapi dalam perang itu Israel juga mengalami kerugian besar karena 2.500 serdadu tewas dan 3.000 lainya terluka.

Golda Meir bahkan sudah memerintahkan senjata-senjata nuklir Israel dipasang pada jet tempur F-4 Phantom dan siap digunakan jika Israel akhirnya harus kalah perang.

(Baca juga:Ehud Olmert, Mantan Wartawan yang Sukses Jadi Perdana Menteri Isreal Tapi Kariernya Hancur karena Gagal Taklukkan Hizbullah)

(Baca juga:Katyusha, ‘Rudal Bodoh’ Andalan Pejuang Hizbullah yang Kerap Bikin Pasukan Israel Kalang Kabut)

Beruntung AS yang segera mengirimkan persenjataan demi mencegah penggunaan nuklir oleh Israel segera turun tangan.

Kemenangan telak Israel yang didukung oleh AS pun harus dibayar mahal.

Pemerintahan Israel pimpinan PM Golda Meir menuai protes.

Protes dipimpin Moti Ashkenazi, seorang komandan militer.

Mereka menuntut Ketua Mahkamah Agung Shimon Agranat memimpin sebuah peyelidikan.

Tujuannya adalah untuk mencari jawaban mengapa mereka sampai kecolongan sehingga dengan mudah digempur Mesir dan Suriah.

Komisi itu kemudian diberi nama Komisi Agranat.

Puncak dari tuntutan ini, pada 11 April 1974 PM Golda Meir memutuskan mundur.

Padahal ia dan Partai Burh menang dalam pemilihan. Meir kemudian digantikan oleh Yitzhak Rabin.

Golda Meir akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada 8 Desember 1978 dan dikebumikan di Mount Herzl di Yerusalem empat hari kemudian.

Artikel Terkait