Kenapa Perang Kimia Begitu Ditakui dan Dibuat Kesepakatan Internasionalnya Segala?

Moh Habib Asyhad

Penulis

Kalau mata terserang, penderitanya merasa seakan-akan ada pasir yang digosok-gosokkan. Kalau kulit, timbul luka bakar. Muka, tangan atau lengan terlihat hangus mengkilat, seperti bekas disambar api.

Intisari-Online.com – Tahun 1899 ada kesepatan internasional di Den Haag, isinya, “Jangan pakai senjata kimia kalau bertengkar”.

Namun, dalam PD I (1914 - 1918) toh hampir separuh dari peluru meriam diisi obat dikhloro-dietil-sulfida.

Zat ini terkutuk sebagai gas mustard (lafal Betawinya: mostar).

Lebih dari satu juta orang menjadi korban.

Kalau sudah gugur dalam perang, ya memang sudah, tidak menderita apa-apa lagi. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.

(Baca juga:Inilah 'Warisan' Senjata Kimia Agen Oranye yang Disemprotkan Amerika Selama Perang Vietnam)

(Baca juga:Kabut Pembawa Maut Itu Bernama Senjata Kimia, Warga Suriah Dikabarkan Baru Saja Jadi Korbannya)

Akan tetapi yang tidak mati-mati karena belum waktunya, itulah yang sangat menderita sekali. Orang yang melihat korban ini pasti iba, kalau ia masih mempunyai rasa perikemanusiaan.

"Ini mudah dikenali," tulis seorang perwira Inggris tanggal 23 April 1915, setelah pertempuran usai.

"Korban yang malang selalu ribut berteriak dalam usahanya mencari napas. Untuk memudahkan megap-megapnya, ia tidak dibaringkan, tapi agak disandarkan pada tembok yang tegak. Ia sukar bernapas, karena gas itu sudah memenuhi paru-parunya dengan busa. Akhirnya ia meninggal juga, karena kekurangan napas."

Kalau yang terserang itu mata, penderitanya merasa seakan-akan ada pasir yang digosok-gosokkan.

Kalau kulit yang kena, timbul luka bakar. Muka, tangan atau lengan terlihat hangus mengkilat, seperti bekas disambar api.

Itulah sebabnya, tentara yang menghadapi senjata kimia kemudian dilengkapi dengan masker dan baju pelindung yang kedap gas.

Walaupun begitu, bagaimana kalau bajunya koyak terserempet peluru, misalnya, lalu bocor kemasukan gas?

Kalau yang ditembakkan itu memang benar gas mostar, kulit korban yang terkena cepat-cepat dicuci dengan larutan natriumhipokhlorit yang dijual di toko P & D (atau M & M) sebagai bleaching powder. Ini bisa melumpuhkan kerja khlorsulfida dalam gas mostar itu.

(Baca juga:5 Senjata Kimia Paling Mematikan Sepanjang Sejarah, Sudah Makan Banyak Korban Jiwa Tak Berdosa)

Apa tandanya ada gas mostar?

Asap yang timbul sesudah granat atau peluru diledakkan berbau manis yang memuakkan. Dari jauh sudah menusuk, membuat gatal kulit.

Akan tetapi, bagaimana kalau gas itu sudah terlanjur terhirup lalu masuk ke paru-paru, karena meledaknya pas dekat korban?

Ia harus cepat dipindahkan ke tempat lain yang udaranya segar di belakang garis depan.

Begitu ia terlihat susah bernapas, segera diberi napas buatan dari mulut ke mulut. Kalau ada oksigen, memang boleh diberikan dari tabung, tapi ini hanya kalau ada tenaga kesehatan yang terlatih saja.

Pemberian napas buatan dilakukan terus, sampai sudah dipandang cukup oleh dokter tentara lapangan.

Mereka yang selamat terhindar dari elmaut, masih akan terus menderita bronkhitis menahun atau kanker paru-paru, dalam masa pensiunnya sebagai veteran perang.

Semua orang waras jelas setuju, bahwa pemakaian gas seperti itu tidak manusiawi. Karena itu, 38 negara berbudaya yang manusiawi kemudian menandatangani Protokol Jenewa pada tahun 1925.

Demi perikemanusiaan, protokol ini melarang penggunaan senjata kimia dalam perang. Negara yang melanggar akan diprotes dan diresolusi dalam sidang Dewan Keamanan PBB. (Hanya itu).

Sayang, tidak semua rakyat negara yang bersangkutan cepat tanggap; Jerman paling dulu meratifikasi protokol itu pada tahun 1929.

Inggris baru setahun kemudian, sedang Jepang baru tahun 1970, setelah ada PD II dengan bom atomnya.

Anehnya, Amerika Serikat yang terkenal vokal sebagai pendekar demokrasi dan hak asasi manusia itu malah baru pada tahun 1975 meratifikasinya. Lima puluh tahun sesudah protokol ditandatangani.

(Baca juga:Unit 731, Proyek Rahasia Militer Jepang untuk Memproduksi Senjata Biologi dan Menggunakan Manusia sebagai Kelinci Percobaannya)

Fosfor lebih dahsyat

Yang mengerikan ialah, bangsa lain tidak berhenti mencari senjata pamungkas untuk menghancurkan musuh. Pada tahun 1936, Gerhard Schrader dari Jerman menemukan gas pengganggu urat saraf: Tabun.

Sebenarnya ia mencari obat antiserangga, tapi tahu-tahu ia menemukan racun yang bisa membunuh orang juga.

Zat berupa senyawaan dimetil-amidoetoksi-fosforilsianida ini luar biasa ampuhnya.

Satu tetes saja mengenai tubuh lewat kulit (atau uapnya terhirup melalui paru-paru), sudah mematikan. Ini lalu dimanfaatkan sebagai senjata militer dalam perang kimia.

Dua tahun kemudian, Schrader yang bekerja untuk perusahaan Bayer itu, menemukan Sarin, yang dua kali lebih ampuh daripada Tabun.

Senyawaan ini bukan sianida, tapi fluorida, yaitu isopropoksi-metilfosforilfluorida.

Lalu pada tahun 1944, ia menemukan Soman, yang sejenis fluorida juga (yaitu pinakol-oksimetil-fosforil-fluorida). Ini dua kali lebih beracun daripada Sarin, yang sudah dua kali lebih ampuh daripada Tabun tadi.

Ketiga-tiganya merusak hubungan antara susunan urat saraf dan otot-otot penggerak tubuh.

Biasanya urat saraf mengerahkan senyawaan asetil-kholin, untuk memerintahkan otot agar menegang. Untuk mengendurkannya kembali, dikeluarkanlah enzim asetilkholinesterase.

(Baca juga:Hanya Pemimpin yang Frustrasilah yang Menggunakan Senjata Kimia dalam Peperangan)

Celakanya, gas urat saraf Tabun, Sarin dan Soman itu mengalang-alangi kerja enzim ini.

Akibatnya, korban itu kejang-kejang terus, sampai akhirnya otot yang bersangkutan lumpuh karena capek. Kematian menyusul, karena tubuh kekurangan oksigen.

Soalnya, paru-parunya tidak bekerja, karena otot penggeraknya lumpuh.

Karena itulah, korban gas fosfor harus sedini mungkin diberi oksigen.

Sementara menunggu kesempatan dibawa ke rumah sakit tentara yang ada alat pemberi oksigen, ia diamati terus.

Begitu ia sulit bernapas, segera mulai diberi pernapasan buatan dari mulut ke mulut, seperti pada keracunan gas mostar.

Akan tetapi berbeda dengan keracunan pada gas mostar, pada kecelakaan gas fosfor ini kepala dan dada korban justru diusahakan lebih rendah letaknya, agar bisa batuk mengeluarkan lendir yang terkumpul dalam tenggorokan.

Jangan sampai masuk ke paru-paru.

Sampai tahun 1945, negara-negara sekutu lawan Jerman tidak tahu bahwa Hitler membuat gas itu secara besar-besaran.

Akan tetapi Hitler ternyata tidak memakai gas itu terhadap tentara sekutu yang mendarat di Normandia.

Kata Hermann Goring (salah seorang pembantunya), karena tentara Jerman masih banyak menggunakan kuda sebagai "alat" transportasi dalam perang. Bagaimana kalau kuda-kuda ini terkena gas itu juga? Kuda lumpuh toh tidak mungkin diajak berperang!

Untung tidak jadi!

Inggris tidak mau kalah, dan berhasil menciptakan bom berisi bakteri antraks. Bakteri penyerang ternak ini juga mematikan bagi orang.

Menyentuh daging yang terkena antraks saja sudah menimbulkan radang pada kulit yang kemudian meracuni darah.

Menghirup spora bakteri itu lebih berbahaya lagi. Dalam beberapa jam saja, korban sudah sulit bernapas, lalu tewas. Daerah yang terkena antraks akan bertahun-tahun lamanya tidak bisa didiami orang.

(Baca juga:Gas Syaraf VX, Senjata Kimia yang Jadi Racun Pembunuh Kim Jong-nam)

Perang yang menggunakan makhluk hidup sebagai senjata ini dikonperensiperskan sebagai perang biologis atau perang bakteri.

Pada 1942, bom antraks Inggris itu diujicobakan di Pulau Gruinard, Skotlandia. Sampai tahun 1987, (jadi sesudah 45 tahun), pulau itu masih saja tercemar bakteri maut itu, meskipun setahun sebelumnya sudah disucihamakan dengan 283 ton formaldehida yang dilarutkan dalam 2.000 ton air laut.

Alangkah mahalnya tindakan pemulihan lingkungan yang rusak gara-gara nafsu perang itu.

Bom antraks tidak jadi dipakai dalam PD II, karena pabrik pembuatnya tidak mampu memasoknya dengan cukup untuk angkatan bersenjata.

Maklumlah, membiakkan bakteri tidak secepat meramu obat sintetis. Untung tidak jadi.

(Artikel ini ditulis oleh Slamet Soeseno, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1991)

Artikel Terkait