Setelah 4 Tahun, CIA Berhasil Bujuk Agen Ini Agar Berkhianat pada Negaranya Gara-gara Pil Aborsi

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com – ‘James Bond-nya CIA’. Julukan tersebut diberikan kepada Duane R. Clarridge atas sepak terjang, prestasi, dan kepiawaiannya sebagai perwira CIA memimpin berbagai operasi intelijen di seluruh dunia.

Dari Kathmandu ke Kuwait, Baghdad sampai Managua, atau saat bermain mata dengan KGB dan tersandung Skandal Iran-Contra.

Benar tidaknya julukan itu terjawab dalam buku A Spy of All Seasons, yang ditulisnya setelah 33 tahun bertugas di Badan Intelijen Pusat AS tersebut.

--

(Baca juga: Meski Sama-sama Badan Intelijen AS, Nyatanya CIA Bisa Lebih Brutal dan Menghalalkan Segala Cara Dibanding FBI)

Tahun 1968, saya diangkat sebagai kepala CIA di Istambul, Turki. Saat itu perhatian pemerintah AS masih terfokus pada pembunuhan Martin Luther King dan Bobby Kennedy. Namun mata dan telinga CIA lebih tertarik pada suhu politik Cekoslowakia yang memanas.

Pasukan Uni Soyyet didukung sekutunya anggota Pakta Warsawa menyerbu Praha, Agustus 1968. Insiden ini berakhir dengan tergulingnya penguasa resmi Alexander Dubcek yang kemudian digantikan dengan pemerintahan boneka Sovyet.

Tak lama kemudian saya menerima pesan dari Markas Besar CIA.

"Mengingat situasi CekosIowakia semakin gawat dan diramalkan bisa memacu peperangan yang meluas di Eropa, maka kerahkan seluruh tenaga kalian untuk merekrut agen dari Sovyet atau negara Blok Timur di wilayahmu."

Markas Besar menginginkan pemahaman yang lengkap atas implikasi pendudukan Uni Sovyet, di Cekoslowakia. Apakah itu hanya sebuah insiden lepas atau bisa menjadi pemicu lahirnya peperangan yang berpotensi menyulut konflik NATO dengan Pakta Warsawa.

Dengan upaya merekrut agen dari Blok Timur mereka berharap bisa memperoleh masukan untuk memperkirakan tujuan manuver Sovyet.

Bagi tim kami di Istambul tugas ini tidak mudah. Sebelumnya, kami pernah melakukan hal tersebut tanpa memperoleh hasil. Apalagi para agen dari Sovyet atau negara Eropa Timur pun diam-diam melakukan rencana serupa. Ini tercermin dari pengalaman saya beberapa kali melakukan kontak dengan para anggota KGB.

(Baca juga: ‘Selangkah Lagi akan Diserang Korut’, Direktur CIA Minta Donald Trump Segera Ambil ‘Tindakan Nyata’)

Kami anggap upaya merekrut agen dari Blok Timur selama Perang Dingin ini akan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Sebagai gantinya kami mengalihkan perhatian dengan mendekati orang-orang yang sering berhubungan dengan para perwira Sovyet atau negara-negara Blok Timur.

Kebetulan di bulan November 1968, saya berkenalan dengan pasutri Wladyslaw dan Irina Adamski, karyawan Konsulat Jenderal Polandia di Istambul. Saat itu saya berada di sebuah feri yang sedang melayari Selat Bosporus, dari Yalova kawasan Turki yang masuk daratan Asia ke Sirkeci yang termasuk daratan Eropa.

Wladyslaw atau yang kerap dipanggil Slava ini adalah lelaki tampan yang fasih berbahasa Inggris dan Turki. Sementara sang istri, Irina, cukup cantik meski mode pakaiannya kuno seperti layaknyawanita Eropa Timur.

Dua anak mereka yang masih kecil ditinggal di Polandia. Ini sesuai dengan kebijakan intelijen negara Eropa Timur. Para diplomatnya hanya diizinkan berkumpul dengan keluarganya dua kali setahun selama liburan.

Artinya, anak-anak tersebut dijadikan semacam "sandera" untuk konduite orang tuanya selama bertugas di luar negeri. Sebagai pegawai urusan perdagangan mereka sering bepergian. Meskipun begitu karena tinggal di apartemen kompleks konsulat, setiap kepergian mereka pasti diketahui atasannya.

Pembicaraan di atas feri itu berlangsung ramah dan hangat. Kami saling bertukar kartu nama. Saya mencoba mengundang makan malam di akhir minggu kepada pasutri tersebut. Seperti dugaan saya, rupanya butuh izin dari atasannya.

Bagi saya, ini merupakan uji coba. Bila mereka menerima tawaran saya bisa jadi Adamski adalah agen rahasia atau atasannya justru sengaja mengumpankan pasutri ini sebagai agen ganda.

Kemungkinan lain, Slava akan bertindak untung-untungan. Memenuhi undangan saya tanpa izin, dan ini yang saya harapkan. Tapi beranikah Adamski; karena langkah ini berisiko tinggi bagi keselamatannya?

(Baca juga: Apes, Gara-gara Tak Mahir Manjat Pohon, Agen CIA Ini Ditangkap Militer Indonesia)

Segera saya memberitahukan markas CIA di Langley, AS, ikhwal perekrutan Adamski. Rupanya Langley pun berpikiran sama. Mereka setuju. Bahkan markas besar memiliki informasi menarik tentang diri Irina.

Dari catatan rahasia CIA diketahui, ibu Irina adalah asli Rusia dan sudah pernah menikah sebelumnya. Dari perkawinan itu lahir kakak tiri Irina, lelaki perwira militer Uni Sovyet berpangkat mayor yang kini bertugas di Staf Umum Angkatan Bersenjata Polandia. Informasi inilah yang membuat Adamski berharga direkrut.

Akhirnya Sabtu sore itu pasangan Adamski benar-benar datang. Dari perjumpaan di rumah ini saya tahu bidang pekerjaan yang digeluti Adamski. Mengingat kontak berikutnya tidak mudah Iantaran telepon di rumah pasangan ini disadap oleh kedutaannya, mumpung ketemu saya merencanakan janji ketemu selanjutnya.

Namun Adamski tidak memberi jawaban pasti. Kecuali hanya mengatakan bahwa dirinya sibuk. Sementara, hubungan kami hanya sampai di sini.

Tanpa putus asa, saya menyelidiki beberapa perusahaan yang diduga sering berhubungan dengan Adamski. Dari sini saya menemukan sebuah perusahaan mitra bisnis Adamski dan kebetulan seorang pegawainya saya kenal, Sebastian Wittel. Lewat informasi dari Wittel inilah saya bisa menjumpai Adamski lagi.

Pertemuan kedua didekat kantor Wittel berlangsung santai, meski semula Adamski ragu-ragu. Sengaja percakapan yang saya lakukan berkisar pada hal-hal yang ringan agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Adamski mengatakan bahwa ia akan memancing di Kucuk Cekmece kira-kira sepuluh hari lagi. Kucuk Cekmece adalah sebuah danau yang terletak di barat daya Istambul yang terkenal banyak ikannya.

Saya berbohong bahwa saya biasa mancing di sana. Itu artinya, suatu saat nanti kita pasti bisa bertemu di tempat tersebut. Sekali lagi, Adamski tidak menunjukkan reaksi.

"Umpan" yang ternyata tidak mendapat reaksi ini agak mengecewakan. Tapi saya tak boleh surut. Ini sekaligus merupakan ujian lanjutan, sampai berapa jauh Adamski diawasi oleh negaranya?

Kalau mau dijadikan sebagai agen ganda, pastilah mereka tidak terburu-buru memberi peluang Adamski untuk berhubungan dengan saya. Itulah sebabnya, momentum memancing ini harus benar-benar saya manfaatkan. Hari berikutnya, saya meminjam peralatan pancing dari seorang teman dan berlatih di Selat Bosporus.

Awal Februari 1969, cuaca begitu dingin. Pagi itu pukul 07.00 saya sudah berada di Danau Cekmece. Dengan speedboat sewaan saya meluncur ke lokasi yang sebelumnya telah saya survai.

Dari sini saya bisa leluasa melihat kedatangan para pemancing. Sambil berakting layaknya pemancing andal, diam-diam mata saya mengamati siapa saja yang datang.

Dua jam kemudian terlihat ia datang. Adamski ternyata tidak sendirian. Ada tiga orang lain menemaninya. Meski kecewa, saya ingin melihat apa reaksi Adamski bertemu lagi dengan saya di sini. Pelan-pelan perahu saya kayuh mendekati mereka.

Setelah dekat, ia tidak menyapa, juga tidak melambaikan tangan, meski jelas-jelas ia menatap saya. Rupanya ia tidak ingin teman-temannya tahu bahwa ia kenal saya. Fakta ini menarik. Itu artinya pertemuan-pertemuan kami selama ini sama sekali tidak diketahui konsulatnya.

Namun, proyek pemancingan ini tak membuahkan apa-apa. Setelah itu hubungan kami putus lagi.

Saya tidak tinggal diam. Agen kami yang ada di biro-biro perjalanan di Turki rmemberitahukan bahwa akhir bulan ini Adamski dan rombongannya mau berlibur ke Bursa, bekas ibu kota Kekaisaran Ottoman pertama yang terkenal dengan bangunan kuno, hasil kerajinan keramik dan sumber air panas.

Kota yang jadi pintu keluar Istambul ini setiap akhir minggu pasti ramai wisatawan. Informan kami juga memberi tahu di hotel mana Adamski menginap. Oleh karena itu saya memutuskan untuk menginap tak jauh dari penginapan Adamski.

Sempat terbersit kekhawatiran, jangan-jangan kemunculan saya di Bursa akan menimbulkan kecurigan Adamski. Tapi sebaliknya, langkah ini bisa dianggap ujian terakhir, akan berhasilkah rencana saya merekrut Adamski?

Sejak pukul 10.00 saya sudah nongkrong di lobi hotel tempat Adamski akan menginap. Menjelang tengah hari mereka muncul. Sengaja saat itu saya beranjak ke luar hotel untuk kembali ke penginapan.

Benar saja, begitu melihat saya, mereka amat terkejut, bahkan mungkin curiga. Benarkah semua ini "kebetulan" belaka? Mengapa saya bisa muncul di mana-mana? Di dekat kantor Wittel, di Danau Cekmece, dan sekarang di hotel ini?

Setelah lepas dari kekagetannya, ia tersenyum. Tawaran untuk bertandang ke hotel saya untuk sekadar minum bersama Irina, diterima. Tapi ia akan menemui saya sendirian saja. Dalam penantian ini saya bertanya-tanya.

Apakah ia masih terus diawasi atau ia mau datang atas kemauan sendiri. Saya waswas apakah rencana saya bisa terlaksana. Pukul 19.00 Adamski sendirian sedangkan Irina keluar bersama rekannya.

Ternyata setelah itu kami tak bisa berhubungan lagi. Apalagi Mei 1969, Adamski cuti pulang ke Polandia. Sejak itu kami sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan musim panas tahun 1970 Maggie bersama kedua anak kami pulang ke Amerika.

Dengan alasan tak tahan lagi mengikuti jalan hidup saya, Maggie mengajukan cerai. Sementara itu situasi dalam negeri Turki semakin memburuk. Konsul jenderal Israel terbunuh di flatnya, tak jauh dari tempat saya tinggal.

Akhir Maret 1971 perselisihan antara pemerintah sipil Turki dengan pihak militer memuncak dan akhirnya militer memegang tampuk pemerintahan Turki. Dalam situasi yang tak menentu saya bertemu dan jatuh cinta dengan wanita lain yakni Helga.

Seakan tak mau tahu dengan masalah keluarga yang saya hadapi, CIA tetap mendesak agar upaya perekrutan tersebut diteruskan.

Tahun 1972 sudah berjalan. Saya mencoba mencari informasi keberadaan Adamski tapi tak berhasil. Sampai pada Agustus 1972, dengan tak terduga saya menerima telepon dari Adamski. Dari suaranya terkesan ia sedang mengalami kesulitan.

Saya disuruh menemuinya di Hotel Buyuk, Ankara, sebuah hotel mewah milik pemerintah yang terletak di Boulevard Ataturk, berseberangan sudut dengan Kedubes AS dan persis di muka kantor misi dagang Uni Sovyet.

Pada prinsipnya ia memberi tahu bahwa Irina hamil. Padahal hal itu tidak mereka kehendaki lantaran dengan kehamilan itu, mereka bisa dipulangkan ke Polandia dalam waktu yang tak bisa ditetapkan. Itulah sebabnya ia minta tolong dicarikan obat untuk aborsi.

Tentu saja permintaannya ini menimbulkan dilema bagi saya. Apalagi setelah markas besar mengirimkan pesan kawat yang isinya, "Bagaimana pun Anda tidak bisa memberikan pil aborsi tersebut kepada FELIX" Felix adalah nama sandi Adamski yang kami gunakan untuk berkomunikasi dengan pusat.

Membantu Adamski melakukan aborsi sama saja kami melakukan tindakan kriminal. Meskipun sesungguhnya ini lebih merupakan persoalan moral ketimbang masalah medis. Padahal saya yakin bantuan ini merupakan kunci keberhasilan kami merekrut Adamski. Kalau tidak, pasutri ini akan dipulangkan ke Polandia dan sia-sialah usaha kami selama ini.

Mau tak mau, keputusan harus dibuat. Perhitungan saya tidak meleset. Setelah pemberian pil itu semuanya menjadi lancar. Adamski bersedia menjadi agen kami. Bahkan ia mau mengikuti tes uji kebohongan sebagai syarat dari CIA.

Dua pertemuan berikutnya saya manfaatkan untuk melatihnya memakai peralatan komunikasi sebagai alat kontak. Sebuah radio transistor gelombang pendek sudah dimodifikasi sedemikan rupa tanpa dikenali. Dengan radio ini Adamski bisa menangkap serangkaian nada suara yang dipancarkan pada gelombang yang akan kami berikan.

Selain itu kami berikan juga sebuah alat pengurai nada tersebut, mirip kalkulator, yang pernah saya pakai sewaktu bertugas di Nepal. Dengan alat itu Adamski bisa menerjemahkan nada-nada yang dipancarkan tersebut ke dalam huruf-huruf dan kata yang berisi pesan-pesan dari kami.

Ia harus memilih pada jam-jam berapa siaran itu dipancarkan, agar bisa didengarkan di rumah. Untuk mengetahui atau sebagai pertanda siaran mana yang diperuntukkan baginya, ia harus memilih lagu pembuka.

Nah, begitu terdengar lagu pembuka tersebut ia akan tahu bahwa pancaran nada-nada berikutnya itulah yang akan berisi pesan kami. Adamski memilih lagi Volga Boatmen’s Song, sebuah lagu Rusia sebagai tanda.

Semua komunikasi harus dilakukan lewat tulisan rahasia (SW). Kecuali dalam keadaan darurat, kami tidak akan pernah memakai fasilitas telepon. Setiap kali bertugas ke luar kota atau ke luar negeri, ia harus memberitahukan terlebih dahulu.

Lima hari sesudahnya kami harus bertemu. Lokasi dan waktu standar yang disepakati. Di kantor pos pusat dan pukul 12.00 di setiap kota tujuan.

Nah, pada akhir perjumpaan saya menyerahkan materi SW dan daftar informasi yang harus didapat dari saudara tirinya yang menjadi anggota militer Polandia. Sejak itulah Adamski menjadi “orang”CIA yang “bertugas” di Polandia dan sekitarnya.

Ditawar orang

Terkuaknya Skandal Iran-Contra awal tahun 1987 membuat pemerintahan Ronald Reagan mendapat kecaman baik dari Kongres, maupun dari Senat AS, Laksamana Muda John Poindexter, kepala Badan Keamanan Nasional (NSC) AS, mengaku telah melakukan operasi rahasia; mengirimkan uang hasil penjualan senjata ke Iran, untuk membiayai kegiatan gerilyawan Contra di Nicaragua.

Kongres menuntut diadakan penyelidikan dan pengadilan atas diri mereka yang terlibat dalam skandal itu. Selain Letkol Oliver North, termasuk pula jajaran CIA.

Saat itu sebagai kepala Pusat Penanganan Antiteroris (CTC), di markas besar CIA Langley, saya pun tak luput dari penyelidikan Komisi Walsh atas kasus Iran-Contra.

Sambil menunggu nasib, ada saja "cobaan" atas integritas pengabdian saya terhadap tugas selama ini. Suatu hari di bulan Mei, telepon di rumah berdering.

"Saya ingin memberikan tawaran menarik kepadamu," ujar suara dari seberang tanpa mau menyebut jati dirinya. Saya tidak mengenal suara tersebut. Tapi ia menganjurkan agar saya menunggu telepon berikutnya di sebuah telepon umum dekat rumah.

Entah kenapa saya tertarik. Yang jelas si penelepon tahu persis siapa yang sedang dihadapi. Paling tidak tahu kalau telepon rumah saya sedang disadap pemerintah lantaran saya sedang menghadapi penyelidikan dari Komisi Walsh. Terdorong rasa penasaran, saya ikuti saja instruksi telepon gelap ini.

Segera saya larikan mobil ke telepon umum terdekat, sekitar lima blok dari rumah. Benar. Tak lama kemudian telepon berdering. Suara yang sama memerintahkan saya menuju ke telepon umum berikutnya.

Proses sama diulangi pada tahap berikutnya. Kali ini dengan jarak waktu yang semakin pendek di antara dua panggilan telepon, bahkan barangkali terlalu pendek bagi seseorang yang tidak terlatih.

Suara yang saya dengar, "Saya tahu selama ini kamu diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan CIA khususnya. Bayangkan, setelah mengabdikan hidup selama 30 tahun di CIA, ibaratnya sekarang ini kamu ditusuk dari belakang. Apakah kamu tidak merasa dikhianati?"

"Apa maksud Anda? Apa yang Anda inginkan?"

"Sebenarnya kau bisa membalas pemerintahmu kalau mau!" -

"Oh, saya tidak begitu tertarik. Good bye!" kata saya sambil menutup telepon.

Rupanya permainan ini belum berakhir. Beberapa hari kemudian telepon kembali berdering. Taktik yang dipakai masih sama. Saya disuruh lari dari telepon yang satu ke telepon umum berikutnya. Kali ini mereka memakai jalur telepon umum yang berada jauh dari rumah saya.

Meskipun naluri awal tidak mau melayani “permainan" ini, rupanya saya tergoda ingin tahu lebih jauh.

Saya tanyakan apakah ia menyangka saya akan balas dendam kepada pemerintah AS. Suara dari seberang membuat saya semakin penasaran; "Kami akan segera memberitahukan kepadamu." Beberapa waktu kemudian muncul lagi panggilan telepon ketiga.

"Misalnya benar, saya marah karena perlakuan pemerintah kepada saya sekarang ini. Lalu mau apa?' saya sengaja memancing si penelepon.

"Tentu kamu sadar, selama ini kamu memegang kunci rahasia yang bisa membongkar elemen penting pada sistem dan peralatan pengumpulan data intelijen AS.”

Nah, benar ‘kan. Orang tersebut menginginkan informasi intelijen AS. Tak bisa dipastikan apakah ia tahu betul saya punya akses ini, atau hanya menduga saja lantaran posisi dan pengalaman saya selama di CIA.

“Misalnya saya mengetahui rahasia yang Anda inginkan. Lantas, saya akan melakukan balas dendam. Apa yang mesti saya lakukan?”

Jawaban yang saya terima begitu cepat, “Coba bayangkan kamu ‘kan memiliki akses ke banyak penerbitan di luar negeri atau jaringan informanmu yang luas. Kamu bisa membocorkan rahasia itu semuanya ke luar negeri tanpa diketahui orang.”

Yang mereka inginkan ternyata informasi-informasi yang amat sensitif. Karena takut terpancing, saya tidak mau berbicara lebih mendalam.

Prinsipnya, mereka menganjurkan saya menyiarkan semua rahasia intelijen yang top-secret ke luar negeri. Saya menduga penelepon terdiri atas lebih dari satu orang.

Tujuan mereka, menggunakan rahasia ini untuk menghancurkan reputasi CIA dan merusak hubungan AS dengan negara-negara lain, atau untuk mengancam pemerintah agar menghentikan penyelidikan Skandal Iran-Contra.

Tapi rasanya bukan profesional dari badan intelijen negara asing lantara mereka lebih tertarik untuk mengeruk informasi yang saya ketahui ketimbang mau membocorkan kepada dunia internasional. Apalagi tak terbersit isyarat mereka akan memberi imbalan untuk informasi dari saya.

Saya melaporkan hal ini kepada pengacara pribadi saya, Bill McDaniel. Selain itu juga menginformasikan kepada Barry Kelly mantan rekan kerja di CIA yang sekarang bertugas di NSC.

Dari Kelly informasi ini diteruskan kepada Jenderal Collin Powell yang saat itu adalah penasihat keamanan nasional presiden AS.

(Djs)

Artikel Terkait