Find Us On Social Media :

(Opini) Setya Novanto yang Kecelakaan, Bahasa Indonesia yang ‘Dicincang-cincang’

By Ade Sulaeman, Jumat, 17 November 2017 | 13:30 WIB

Intisari-Online.com - Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat mujur karena sudah memiliki bahasa resmi sebelum Indonesia merdeka sehinggga dalam sejarah perjuangan kemerdekaan tidak perlu ribut-ribut ketika harus menentukan Bahasa Nasional.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia setelah proklamasi hingga saat ini Bahasa Indonesia juga telah membuktikan sebagai bahasa persatuan yang efektif dan digunakan oleh lebih dari 260 juta orang.

Tidak ada satu pun suku yang tinggal di Indonesia merasa keberatan menggunakan Bahasa Indonesia sehingga kemana pun pergi asal masih di Indonesia, setiap orang bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia dan langsung menjadi saudara.

Bahasa Indonesia memang memiliki fungsi yang luar biasa karena bisa menyerap bahasa apa saja tanpa mengalami perubahan bentuk kata yang maknanya menjadi berbeda.

(Baca juga: Jangan Salah, Ringseknya Mobil yang Ditumpangi Setnov Justru Pertanda Suksesnya Teknologi Ini)

Sebagai bahasa yang digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu penutur Bahasa Indonesia bisa menyisipkan kata-kata dari bahasa apapun tanpa kesulitan baik dalam bentuk kalimat pendek maupun panjang.

Bak makanan, Bahasa Indonesia bahkan bisa dicincang-cincang mejadi menu apapun demi mengekspresikan pikiran, niat, dan keinginan seseorang atau sekelompok orang dengan mudahnya serta tanpa diprotes oleh para penuturnya.

Fungsi Bahasa Indonesia yang begitu mudah dicincang-cincang demi memuaskan para penggunanya baik dalam bentuk tuturan maupun kalimat itu makin menemukan wadahnya ketika muncul media sosial.

Para penutur Bahasa Indonesia dengan cepat menjadi penutur bahasa pesan (message) secara tertulis menggunakan perangkat gadget dan umumnya tidak menggunakan aturan berbahasa yang baik serta benar.

Peristiwa-peristiwa yang sedang menimpa seseorang, lembaga, atau bahkan negara ini dengan cepat mendapat respon dari para pengguna gadget dan para penutur Bahasa Indonesia tanpa melalui analisa mendalam dan konfirmasi.

Apalagi didorong keinginan untuk tahu atau bahkan sok tahu, ekspresi spontan yang pada masa sebelum munculya gadget umumnya dibicarakan sebagai gosip itu kini telah berubah menjadi “opini” lewat media sosial.

Maka suatu kasus atau peristiwa yang seharusnya memerlukan waktu untuk diputuskan secara hukum atau secara medis oleh dokter, membuat para pengguna sosial menjadi tidak sabar dan akhirnya mereka menjadi hakim serta opini jalanan.

Keberadaan media sosial sebagai sarana komunikasi memang telah melompati tahapan-tahapan suatu proses apapun dan telah membuat para penggunanya memiliki mental serta budaya spontan dalam berekspresi.

(Baca juga: Dokter Tempel Pengumuman Khusus, Penyidik KPK pun Perlu Izin untuk Temui Novanto)

“Sialnya” Bahasa Indonesia yang bisa dicincang-cingcang merupakan bahasa yang sangat pas untuk mengugkapkan pikiran dan tindakan spontan itu baik berupa kata-kata untuk memuji maupun mencaci maki.

Maka tidak heran ketika ada “orang besar” yang tersangkut masalah hukum dan orang tersebut terlanjur dicap “ini dan itu”, orang-orang para penutur Bahasa Indonesia itu bisa berpesta pora dengan kata-kata apapun menggunakan Bahasa Indonesia di media sosial.

Apalagi Bahasa Indonesia juga sangat efektif untuk menciptakan humor dan juga sarkasme.

Seperti humor pengendara mobil Fortuner yang menabrak tiang listrik yang diributkan malah tiang listrik dan mobil Fortuner yang ringsek.

Itu sama saja menghumorkan dua pemain bola yang klenger akibat tabrakan “seperti adu banteng” tapi bukannya kedua pemain yang dievakuasi oleh para medis melainkan bolanya.

Meributkan tiang listrik dan mobil Fortuner yang penyok di media sosial menggunakan meme berbahasa Indonesia yang mudah dicincang-cincang sebenarnya tidak masuk akal.

Pasalnya berdasar fakta kejadian tiang listrik dan mobil Fortunernya memang penyok.

Pengendaranya yang sudah terkapar di rumah sakit karena bonyok-bonyok bahkan dianggap telah bersandiwara.

(Baca juga: Berdasarkan 7 Titik yang Ditandai Polisi, Seperti Inilah Urutan Kecelakaan Setya Novanto)

Akibatnya meme di media sosial yang berusaha mengungkapkan ekspresi beragam “orang yang tidak terima itu” makin membanjir tanpa terkendali.

Semuanya menggunakan Bahasa Indonesia yang dicincang-cincang seenak-enaknya karena umumnya tidak mematuhi pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untung si Bahasa Indonesia tidak protes apalagi para penggunanya.

(Agustinus Winardi alumni Sastra Indonesia UGM angkatan 1986)