Find Us On Social Media :

(Opini) Setya Novanto yang Kecelakaan, Bahasa Indonesia yang ‘Dicincang-cincang’

By Ade Sulaeman, Jumat, 17 November 2017 | 13:30 WIB

Keberadaan media sosial sebagai sarana komunikasi memang telah melompati tahapan-tahapan suatu proses apapun dan telah membuat para penggunanya memiliki mental serta budaya spontan dalam berekspresi.

(Baca juga: Dokter Tempel Pengumuman Khusus, Penyidik KPK pun Perlu Izin untuk Temui Novanto)

“Sialnya” Bahasa Indonesia yang bisa dicincang-cingcang merupakan bahasa yang sangat pas untuk mengugkapkan pikiran dan tindakan spontan itu baik berupa kata-kata untuk memuji maupun mencaci maki.

Maka tidak heran ketika ada “orang besar” yang tersangkut masalah hukum dan orang tersebut terlanjur dicap “ini dan itu”, orang-orang para penutur Bahasa Indonesia itu bisa berpesta pora dengan kata-kata apapun menggunakan Bahasa Indonesia di media sosial.

Apalagi Bahasa Indonesia juga sangat efektif untuk menciptakan humor dan juga sarkasme.

Seperti humor pengendara mobil Fortuner yang menabrak tiang listrik yang diributkan malah tiang listrik dan mobil Fortuner yang ringsek.

Itu sama saja menghumorkan dua pemain bola yang klenger akibat tabrakan “seperti adu banteng” tapi bukannya kedua pemain yang dievakuasi oleh para medis melainkan bolanya.

Meributkan tiang listrik dan mobil Fortuner yang penyok di media sosial menggunakan meme berbahasa Indonesia yang mudah dicincang-cincang sebenarnya tidak masuk akal.

Pasalnya berdasar fakta kejadian tiang listrik dan mobil Fortunernya memang penyok.

Pengendaranya yang sudah terkapar di rumah sakit karena bonyok-bonyok bahkan dianggap telah bersandiwara.

(Baca juga: Berdasarkan 7 Titik yang Ditandai Polisi, Seperti Inilah Urutan Kecelakaan Setya Novanto)

Akibatnya meme di media sosial yang berusaha mengungkapkan ekspresi beragam “orang yang tidak terima itu” makin membanjir tanpa terkendali.

Semuanya menggunakan Bahasa Indonesia yang dicincang-cincang seenak-enaknya karena umumnya tidak mematuhi pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untung si Bahasa Indonesia tidak protes apalagi para penggunanya.

(Agustinus Winardi alumni Sastra Indonesia UGM angkatan 1986)