Penulis
Intisari-Online.com - Badannya masih tegap kendati usianya sudah 67 tahun. Demikian pula bahasa tubuhnya: sangat militer.
Dialah sosok legendaris sniper kelas dunia, Peltu (Purn) TNI Tatang Koswara, veteran perang Timor Timur ketika pertama kali bertemu penulis di bulan Januari awal tahun 2014.
Dalam misi tempur sebagai seorang sniper di medan tempur Timor Timur, salah satu tugas Pak Tatang adalah memburu pimpinan tertinggi Fretilin saat itu (1975), Nicalau Lobato.
Sebagai sasaran paling potensial yang bernilai tinggi, Pak Tatang melaksanakan perburun total terhadap orang nomor satu Fretilin ini secara maksimal. Kadang operasi perburuan Lobato sampai menggunakan helikopter.
(Baca juga: Sniper Jepang, Pantang Keluar dari Sarang Sebelum Dirinya Sendiri Jadi Mayat)
Tak hanya Pak Tatang yang ditugaskan secara khusus untuk memburu Lobato, tim dari Pasukan Khusus TNI yang saat itu dipimpin Kapten Prabowo Subianto juga turut diterjunkan dalam operasi tempur bersandi Operasi Nanggala 28 .
Butuh perjuangan keras untuk memburu Lobato karena tokoh nomor satu Fretilin itu dijaga secara berlapis. Dalam pertempuran sengit untuk mengejar Lobato, Pak Tatang bahkan tertembak di betis kaki kirinya.
Tapi setelah membebat luka tembak dengan bendera merah putih seukuran sapu tangan yang selalu dibawanya, Pak Tatang tetap melanjutkan pertempuran.
‘’Seorang sniper sejati sebenarnya yang bertempur hingga gugur di medan perang. Tapi saya bersyukur bisa selamat dari medan perang dan bisa pulang serta bercerita mengenai pengalaman tempur saya,’’ papar Pak Tatang.
Kisah Perang Pak Tatang
Ketika konflik bersenjata di Timor-Timur makin merugikan pasukan TNI, Tatang yang saat itu sudah selesai mengikuti pendidikan sniper dan kursus antiteror yang diselenggarakan oleh personel pasukan Baret Hijau militer AS (Green Beret) di Pusat Pendidikan Kopassus Batu Jajar, Bandung dengan hasil memuaskan benar-benar telah tercetak sebagai prajurit sniper yang siap tempur.
Namun, sebagai personel organik di satuannya, Tatang juga masih aktif bertugas di lingkungan Pussenif dan menjabat sebagai Bintara Komandan Peleton Komunikasi (Baton Tonkom) berpangkat Sersan Satu (Sertu).
(Baca juga: Chuck Mawhinney: Sniper Dahsyat Yang Sempat Terlupakan, Rekornya 103 Confirmed Kills)
Tugas utama Tatang di Pussenif adalah menguji persenjataan tempur ringan TNI AD setelah diperbaiki atau dikembangkan seperti senapan AK-47 dan G-3. Kadang Tatang menguji banyak senapan serbu dengan cara menembakkan ke sasaran sehingga melalui kesempatan uji senjata itu akurasi tembakan jitunya selalu terpelihara.
Tatkala tiba di Timor Timur pada tahun 1977, Tatang yang membawa lengkap perlengkapan tempur sniper seperti pakaian kamlufase, senapan andalan Winchester M-70 yang sudah dilengkapi peredam, teleskop untuk keperluan tempur siang dan malam, peluru-peluru kaliber 7.62 mm yang dibuat khusus oleh AS, dan senapan serbu AK-47 sebagai wahana untuk melancarkan raid, sudah gatal untuk segera bertempur bersama para sniper dari satuan Kopassus.
Tapi tugas awal Tatang, seperti diperintahkan oleh Kolonel Edi Sudarajat sendiri, ternyata hanya mengawal Dansatgas Pamungkas itu yang dalam perannya sebagai Dansatgasus juga harus turun ke medan tempur.
Pengawalan Tatang terhadap Kolonel Edi pun bersifat pribadi dalam artian jika Dansatgasus itu diserang musuh, Tatang harus siap sebagai tameng hidup dari terjangan peluru.
Tugas sebagai pengawal pribadi Dansatgasus itu lama-lama membuat Tatang kurang berperan maksimal sebagai seorang sniper yang baru lulus dari didikan Green Beret.
Apalagi sesuai dengan doktrin pendidikannya, seorang sniper bukan hanya bertugas melaksanakan pengawalan tapi harus mampu menembus wilayah musuh secara senyap untuk melaksanakan missi intelijen.
Selain itu, sniper yang berhasil memasuki jantung wilayah musuh tanpa terdeteksi juga bertugas menciptakan kekacuan dengan cara melumpuhkan sasaran terpilih, khususnya komandan tertinggi yang bertugas mengendalikan jalannya peperangan.
Demi bisa menjalankan fungsi sniper yang sesungguhnya di medan tempur, Tatang pun kemudian memberanikan diri untuk minta ijin kepada Kolonel Edi untuk masuk ke medan tempur lawan dan ternyata diperbolehkan.
(Baca juga: Demi Habisi Pasukan Nazi, Sniper Wanita Rusia Rela Berhari-hari ‘Tidur’ Bersama Mayat yang Membusuk)
Tatang terjun dalam pertempuran di kawasan Lautem, Lospalos Utara, dan masih menghadapi perlawanan sengit dari Fretilin. Melalui taktik perang gerilya yang dterapkan di kawasan pegunungan dan pantai, pasukan TNI harus bertempur mati-matian untuk menghancurkan kekuatan Fretilin.
Tatang untuk pertama kali menembak mati targetnya yang bertempur menggunakan senapan otomatis dalam pertempuran terbuka di Lautem.
Tembakan awal yang sempat mengguncang jiwanya karena dirinya ternyata telah membunuh manusia.
Tapi karena Tatang menyadari bahwa di medan perang seorang tentara hanya mengenal doktrin dibunuh atau membunuh, untuk menjatuhkan sasaran tembak berikutnya ia sudah merasa biasa.
Salah satu misi tempur Tatang yang menghasilkan kill hingga 49 korban adalah ketika Tatang bertempur untuk menghadang serangan pasukan Fretilin di kawasan Remexio (1977).
Medan tempur Remexio yang bergunung dan terletak di belakang kota Dili memang dikenal sebagai kuburan bagi pasukan TNI mengingat begitu banyak prajurit yang gugur.
Sebelum berangkat ke medan perang di pegunungan Remexio, yang terletak sekitar 30 km dari kota Dili, Tatang membekali diri dengan senapan Winchester M-70 berperedam suara lengkap dengan 50 butir peluru kaliber 7.62 mm berwarna putih.
Sesuai doktrin pelatihan sniper Green Beret, setiap sniper yang bertugas perang diperintahkan membawa 50 peluru. Sebanyak 49 peluru untuk musuh, sedangkan satu peluru yang tersisa untuk sniper-nya.
(Baca juga: Chuck Mawhinney: Sniper Dahsyat Yang Sempat Terlupakan, Rekornya 103 Confirmed Kills)
Melalui doktrin latihan sniper, Tatang ditekankan lebih baik seorang sniper mati bunuh diri daripada tertangkap musuh.
Prinsip menyediakan satu peluru untuk menembak dirinya sendiri itu sebenarnya tidak asing di kalangan pasukan khusus. Pasukan Legiun Asing Perancis misalnya, juga memerintahkan untuk menyisakan satu peluru untuk dirinya sendiri daripada menyerah lalu ditangkap musuh dan disiksa habis-habisan.
Pasukan Jepang pada PD II juga punya prinsip sisakan satu peluru untuk dirinya sendiri atau lebih ngeri lagi : sisakan satu granat untuk dirinya sendiri dan mati berkeping-keping bersma pasukan musuh yang mengelilingi.
Dengan missi tempur one way ticket itu, Tatang sudah paham apa yang harus dihadapi. Oleh karena itu ia sering membawa foto keluarga dengan alasan kalau harus gugur di medan tempur, ia merasa mati di tengah-tengah keluarganya.
Strategi Tempur Tatang Koswara
Perangkat tempur lain yang dibawa Tatang adalah teropong siang dan malam, radio komunikasi, senapan serbu AK-47 untuk kepentingan bela diri, obat-obatan sekedarnya, makanan tahan lama untuk dua hari berupa geplak (tepung padat), pakaian kamuflase.
Tapi dalam missi di daerah paling rawan ini, Kolonel Edi menyertakan seorang pengawal dari Kopassus, Letnan Ginting yang membekali diri dengan senapan serbu AK-47 dan teleskop.
(Baca juga: Demi Habisi Pasukan Nazi, Sniper Wanita Rusia Rela Berhari-hari ‘Tidur’ Bersama Mayat yang Membusuk)
Mendapat pengawalan dari seorang prajurit yang masih muda dan hanya mengenakan pakaian tempur warna hijau loreng itu, Tatang justru merasa terganggu karena bukan merasa sedang mengawal tapi justru harus melindungi pengawalnya.
Dalam missi tempur seorang sniper berdasar didikan dari Green Beret, sniper memang perlu ditemani seorang spotter. Peran spotter atau observer bertugas sebagai patner yang juga berkemampauan sniper dan dilengkapi senapan penembak jitu.
Antara sniper dan spotter juga harus sering latihan bersama sehingga kerja sama di medan tempur lebih mudah, termasuk ketika harus berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Seorang spotter yang dibekali senapan serbu juga harus siap melaksanakan raid dalam kondisi terdesak sehingga dukungan tembakan yang dilancarkan spotter bisa memberikan kemungkinan partnernya selamat.
Dalam kondisi paling mendesak, spotter bahkan harus bersedia mengumpankan dirinya sebagai sasaran tembak sehingga rekannya bisa menjalankan tugasnya secara maksimal.
Secara psikologis Tatang juga terganggu karena pengawalnya berpangkat lebih tinggi (Perwira) sedangkan dirinya berpangkat Sertu (Bintara).
Tapi dalam missi tempur yang harus bertaruh nyawa itu, Tatang terpaksa memerintah dan mengatur strategi tempur karena pengalaman tempur Letnan Ginting masih minim, khususnya dalam taktik tempur sniper.
Menurut Tatang, jika penembak jitu sudah mulai memakan korbannya, rekan-rekan korban yang panik biasanya akan mencari lokasi sembunyi Sniper di tempat paling tinggi lalu menghujaninya dengan tembak mortir atau senapan mesin.
Jika kedua senjata berat itu tidak ada mereka juga akan memuntahkan peluru senapan serbunya secara membabi-buta.
Dalam jarak tembak radius 300 meter senapan serbu yang ditembakkan secara serempak bisa membabat semua sasaran secara telak dan mematikan. Sulit menghindari siraman peluru senapan serbu yang ditembakkan serentak secara merata oleh puluhan prajurit sekaligus.
Untuk menghindari akibat vatal itu, Tatang lalu mengajak Ginting bersembunyi di pinggir tebing curam yang dari sisi lokasi sangat tersembunyi dan tidak mungkin didatangi pasukan musuh.
Lokasi itu harus dicapai meskipun dengan susah payah karena banyak semak berduri dan kemungkinan ada ularnya.
Untuk bertemu ular Tatang memang tidak masalah karena dirinya memiliki ilmu kebal semua bisa ular. Artinya ia bisa menyingkirkan ular itu dengan mudah tanpa harus membuat Ginting terganggu.
Setelah menemukan tempat yang dicari, Tatang pun menyiapkan senapan M-70-nya didampingi Ginting yang dari sisi teknik kamuflase kurang maksimal. Tatang hanya bisa berharap rekannya yang masih hijau itu tidak berbuat ceroboh, seperti menembak tanpa perintah, karena berbuat kecerobohan bisa berarti nyawa keduanya melayang.
Dalam situasi kritis itu Tatang memang terpaksa bertindak sebagai pengendali meskipun pangkat Ginting jauh lebih tinggi.
Penilaian Tatang ternyata tepat esok harinya posisi ketinggian yang disarankan Ginting untuk mengendap ternyata diperiksa patroli musuh yang jumlahnya puluhan.
Tak berapa lama kemudian ratusan pasukan Fretilin berkumpul di lokasi ketinggian itu dan tampaknya mereka sedang menyiapkan rencana untuk menyerbu pasukan TNI. J
arak mereka hanya sekitar 50 meter dan jika ditembak para gerilayawan itu akibatnya sangat riskan, posisi Tatang dan Ginting pasti ketahuan.
Tatang terkejut menghadapi musuh yang jumlahya ratusan itu tapi tugas untuk menghambat musuh atau bahkan memukul mundur harus dilakukan.
Untuk memecah perhatian lawan Tatang lalu mengontak Kolonel Edi Sudrajat dengan radio agar pasukan TNI yang sedang berpatroli menyerang pasukan Fretilin itu dari sisi timur.
Tak berapa lama tembakan gencar pun meletus dari arah timur dan kelompak pasukan Fretilin di depan Tatang mulai pecah perhatiannya.
Tatang lalu melakukan penilaian apakah tembakan senyap yang dilancarkannya aman bagi diri dan sekaligus pengawalnya.
Untuk menghindari malapetaka Tatang yang sudah memasang peredam memerintahkan Ginting agar tidak melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terdesak karena suara tembakan akan memberi tahu posisi mereka.
Setelah melakukan perhitungan cermat bahwa musuh sudah berada di atas 300 meter jaraknya, Tatang pun mulai membidik dan satu persatu menjatuhkan musuh potensial khususnya yang memegang senjata otomatis.
Tembakan jitu Tatang yang semuanya menghantam kepala musuh langsung menimbulkan suasana kacau musuh yang berada pada jarak tembak 300 hingga 600 meter itu. Musuh berusaha melepaskan tembakan balasan secara membabi-buta dan serentak tapi tidak pernah menyasar ke tempat Tatang dan pengawalnya bersembunyi.
Apalagi jarak antara Tatang dan Ginting dengan para gerilyawan di atas 300 meter sehingga akurasi lesatan arah peluru senapan serbu sudah tidak maksimal lag
Tembak Kepala Musuh
Letnan Ginting akhirnya baru sadar akan kemampuan Tatang ketika dalam jarak antara 300-900 meter, Tatang berhasil menumbangkan sasaran terpilih dengan tembakan jitu di kepalanya.
Diam-diam Letnan Ginting meneropong sekaligus menghitung sasaran yang berhasil dijatuhkan Tatang dalam missi tempur di Remexio dan sedikitnya, 49 musuh berhasil dirobohkan.
Ia juga menyaksikan bagaimana komandan musuh yang sedang naik kuda dan sibuk memerintah tiba-tiba terjatuh akibat tembakan jitu Tatang yang tepat menghantam bagian kepala .
Kekacauan komando pasukan musuh langsung terlihat akibat tewasnya sang komandan. Beberapa gerilyawan Fretilin menembakkan senjata secara membabi buta ke berbagai arah.
Seorang personel pembawa radio yang sedang berusaha melakukan komunikasi terpaksa ditembak Tatang di bagian dada karena jarak tembaknya sudah sekitar 900 meter.
Pelurunya menembus dada sekaligus merusakkan komunikasi yang dibawanya. Letnan Ginting hanya bisa geleng-geleng kepala melihat aksi tempur Tatang dengan mata kepalanya sendiri itu.
Hasilnya, hari itu misi tempur sukses karena musuh melarikan diri. Dari 50 butir peluru yang dibawa Tatang tinggal satu butir peluru yang tetap dibawanya kembali menuju ke markas.
Dalam setiap tugas pengendapan Tatang ternyata tak pernah membawa buku catatan yang biasa digunakan para sniper untuk mencatat jumlah kill. Tatang bahkan tidak begitu peduli terhadap jumlah musuh yang telah dirobohkannya.
Tapi diam-diam Ginting menghitungnya dan sekaligus menjadi saksi betapa piawainya Tatang saat itu bertempur sebagai sniper.
Kekaguman Letnan Ginting akan kemampuan menembak jitu Tatang kemudian dilaporkan kepada Kolonel Adi Sudrajat dan tercatat secara resmi sebagai confirmed kills.
Kolonel Edi Sudrajat yang selanjutnya mengetahui tentang kepiawaian Tatang hanya bisa berkomentar, ‘’Kamu benar-benar gila!’’
Berdasar bahan tercatat inilah ketika seorang penulis buku Sniper asal AS, Peter Brookesmith. Lewat bukunya bertajuk Sniper : Training, Techniques and Wapons, ST Martin Press, New York, tahun 2000 memasukan prestasi Tatang sebagai sniper kelas dunia dengan confirmed kills sebanyak 41.
Jumlah kills 41 yang dicatat Peter sebenarnya jauh dari hitungan sebenarnya karena Tatang sendiri dalam missi tempurnya di Timor Timur mengaku telah menumbangkan sasarannya lebih dari 100 orang.
‘’Hampir semua musuh bersenjata yang saya tembak kena di kepala. Semua sniper memang didoktrin untuk menembak musuh di bagian kepala karena langsung membuat korbannya mati tanpa merasakan apa-pa. Bahkan sama sekali tidak tahu siapa yang telah membunuhnya, ‘’ jelas Tatang.
Memburu Lobato
Tatang termasuk personel sniper yang ditugaskan memburu Lobato oleh Dansatgas Pamungkas ke daerah-daerah yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian Lobato.
Dalam upaya mengejar dan mendesak Lobato, Tatang yang memburu Lobato melalui operasi udara menggunakan helikopter Bell 412 Penerbad dan melaksanakan pertempuran di darat sempat mengalami luka-luka karena terkena pecahan peluru di betis kaki kanannya.
Tatang sendiri terluka setelah berhasil menghantam sejumlah musuh. Saat itu persembunyiaan Tatang rupanya terdeteksi dan para pasukan musuh pun menghujaninya dengan tembakan serampangan.
Kendati sejumlah peluru nyaris mengenainya, Tatang tetap diam tak bergerak. Akhirnya sebuah peluru yang memantul dari pohon menghantam betis kaki kanannya. Namun, Tatang tetap diam tak bergerak sambil menunggu keadaan aman untuk merawat lukanya.
Setelah keadaan kondusif Tatang baru merawat luka akibat peluru ricochet itu.
Ia mengambil semacam gunting kuku dari kantong medis, mengeluarkan serpihan peluru, membalut luka dan mengikat perban menggunakan semacam tali hasil rautan bambu dari bekas gubuk gerilyawan yang ditinggalkan.
Untuk membalutnya, Tatang cukup merobek kaus militer yang dipakainya dan kemudian mengikat bagian paha untuk menghentikan pendarahan menggunakan bendera Merah Putih yang selalu terikat di kepalanya.
Luka yang menganga akibat hantaman peluru bahkan secara serampangan ditaburi pil kina yang sudah diremas menjadi seperti serbuk dan kemudian disiram menggunakan obat luka cair.
Tatang mengaku meskipun hanya terluka karena terkena pantulan peluru rasa sakitnya sangat luar biasa.
Dari cara Tatang mengobati lukanya, peralatan medis yang dibawanya memang terkesan terbatas dan untung-untungan. Artinya jika tidak tertembak merasa sangat beruntung.
Tapi jika tetembak merasa beruntung juga karena membawa obat meskipun obat itu asal-asalan karena asal bawa.
Ada satu strategi yang diterapkan saat bertugas sebagai sniper. Untuk mengelabuhi pasukan patrol musuh yang kerap memburunya, Tatang sengaja menciptakan sepatu yang memiliki alas terbalik.
Kebetulan Tatang yang saat itu tinggal di Bandung keluarga besarnya merupakan pengajin sepatu di Cibaduyut.
Berkat pemahaman terhadap pembuatan sepatu, alas terbalik yang diciptakan Tatang ternyata bisa digunakan dengan nyaman.
Dengan sepatu yang alasnya sengaja diciptakan terbalik itu, jika Tatang sedang bergerak maju makan tapak kakinya justru bergerak ke arah sebaliknya.
‘’Alas sepatu terbalik merupakan hasil kreasi saya sendiri dan bukan karena mendapat ide dari pendidikan sebagai sniper,’’ jelas Tatang, ‘’Dan alas sepatu terbalik itu terbukti efektif.
Pernah saya dikejar-kejar lima personel pasukan musuh tapi mereka berhasil saya kecoh. Saya cukup melompat dan bersembunyi di semak sementara para pengejar saya berlari-lari menuju arah yang berlawanan,’’ tambahnya.
Di samping lihai bersembunyi alias menghilang, Tatang juga mahir melacak jejak. Khusus korban yang berhasil ditembak di kepala biasanya darah yang berceceran di tanah ada campuran warna putih karena berasal dari cairan otak.
Sedangkan, jika darah berwarna merah dan jumlahnya banyak, korban biasanya kena di bagian dada. Dalam tugasnya sebagai sniper, Tatang juga dikenal mahir menembak pada jarak 900 meter.
Sasaran pada jarak 1000 meter juga masih bisa dijatuhkan tapi targetnya bukan di bagian kepala. Dalam operasi gabungan TNI, Lobato akhirnya tertembak mati tapi sisa-sisa pasukannya yang dikenal sebagai Falintil terus melancarkan perlawanan secara gerilya.
Komando Operasi Keamanan Timor Timur
Pada bulan Juni 1986, pasukan gerilya Falintil mulai menunjukkan kekuatan dengan menyerang pasukan Zeni TNI AD yang sedang bekerja membangun infrastruktur sehingga menyebabkan 16 personel pasukan gugur.
Serangan gerilya Falintil pimpinan Gusmao langsung membuat Pemerintah Pusat RI marah dan segera menggelar Komando Operasi Keamanan Timor Timur untuk memulihkan keadaan.
Sebanyak 3.200 pasukan TNI dari sejumlah batalyon termasuk pasukan khusus diturunkan didukung oleh pesawat transport dan tank lapis baja.
Di Timor Timur,tugas utama para staf khusus adalah menyiapkan pasukan yang baru tiba untuk bertempur melawan pasukan gerilya Falintil yang berada di gunung dan hutan.
Semua pasukan yang baru tiba di Timor Timur diberi pelatihan teknik Operasi Lawan Insurgensi (OLI) terlebih dahulu sebelum berangkat bertempur.
Sebagai prajurit berkualifikasi sniper kelas dunia, Tatang memberikan pelatihan khusus teknik menembak mahir, antigerilya, teknik raid, dan lainnya.Kadang Tatang juga turun ke medan tempur sebagai sniper untuk menghantam sasaran-sasaran terpilih.
Komando Operasi Keamanan Timor Timur yang digelar TNI akhirnya berhasil melumpuhkan perlawanan Falintil dan menangkap Xanana pada 20 November 1992.
Xanana kemudian dipenjara di LP Cipinang Jakarta hingga tujuh tahun. Tapi perjuangan Falintil yang kemudian memilih jalur politik makin mendapat simpati dunia internasional.
Setelah Pemerintahan Orde Baru runtuh pada tahun 1998,setahun kemudian Timor Timur lepas dari RI setelah diadakan jajak pendapat. Xanana pun dibebaskan dan setelah Timor Timur menyatakan merdeka pada 20 Mei 2002, Xanana terpilih sebagai presiden.
Lepasnya Timor Timur jelas merupakan peristiwa pahit bagi pasukan yang pernah bertempur matian-matian sedikitnya selama ima tahun.
Sebanyak 2.292 pasukan TNI dari berbagai satuan telah gugur,ratusan prajurit hilang, ribuan lainnya terluka dan cacat.
Tatang sendiri mengakui bahwa lepasnya Timor Timur selain membuat dirinya kecewa juga mengakibatkan semua perjuangannya dengan para rekan yang telah gugur seperti sia-sia.
Tapi itulah perang, pasukan TNI boleh saja menang secara militer tapi akhirnya harus menerima kekalahan secara politik.
Pak Tatang sendiri merasa terpukul atas lepasnya Timor Timur sehingga sejumlah tanda penghargaan dan sertfikat sebagai veteran Perang Timor Timur yang jika diurus bisa menambah jumlah uang pensiun ternyata tidak pernah digubrisnya.
Sikap Pak Tatang yang cenderung mengabaikan serfikat veteran Perang Timor-Timur itu ternyata dibawanya hingga dijemput ajal.
Pak Tatang wafat pada 3 Maret 2015 akibat serangan jantung. Para rekan seperjuangannya yang melayat semua terkejut atas sikap Pak Tatang yang tidak mau mengurus sertifikat veteran Perang Timor-Timur mengingat pemerintah memberikan tunjangan veteran sekitar dua juta rupiah tiap bulannya.
Kepada penulis Pak Tatang memang selalu menekankan bahwa perjuangannya dalam perang di Timor Timur adalah demi tegaknya NKRI dan bukan untuk mencari pangkat dan penghargaan.
‘’Kebetulan tugas saya adalah sebagai seorang sniper yang telah dilatih oleh negara, ya, saya harus bertempur seperti seorang sniper profesional. Bertempur dengan cara menyusup di garis belakang musuh, di jantung lawan untuk membuat kekacauan,’’ tegas Pak Tatang,
‘’Pengalaman tempur sebagai seorang sniper ini harus saya tularkan ke prajurit sniper TNI berikutnya sehingga akan bermanfaat dalam pertempuran. Selamat dalam peperangan, bisa pulang dan bercerita mengenai kisah tempurnya ’’ tambahnya.
Pak Tatang memang telah hampir tiga tahun meninggal dan dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahnya karena ingin selalu dekat dengan keluarganya meskipun telah meninggal.
(Agustinus Winardi, penulis buku Satu Peluru Satu Musuh Jatuh Tatang Koswara Sniper TNI kelas Dunia diterbitkan Penerbit Buku Kompas 2015)