Find Us On Social Media :

AS yang Sibuk ‘Perang Mulut’ dengan Korut, Korsel yang Kecolongan Data Militer Penting

By Ade Sulaeman, Kamis, 2 November 2017 | 15:00 WIB

Intisari-Online.com - Ketika pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump disibukkan oleh perang kata-kata yang juga belum berakhir para cyber army Korut diam-diam terus melaksanakan serangan agresif ke data-data militer yang dimiliki Korsel.

Serangan para cyber army Korut yang dipimpin langsung oleh Kim Jong Un itu lagi-lagi membuat Korsel kelabakan.

Pasalnya data-data rahasia yang merupakan cetak biru Korsel untuk pembuatan kapal-kapal perangnya, khususnya, kapal selam berhasil dicuri oleh Korut.

Keberhasilan pencurian data militer berkualifikasi tingkat tinggi milik Korsel oleh para hacker Korut itu juga bukan yang pertama kalinya.

(Baca juga: Bom Nuklir yang ‘Doyan’ Diuji oleh Korut Jadi Senjata Makan Tuan, 200 Pekerja Tewas)

Pasalya pada awal bulan Oktober 2017 lalu, para hacker Korut sukses mecuri dokumen rahasia Korut yang berisi tentang rencana serbuan militer AS-Korsel ke Korut dan rencana melakukan pembunuhan secara rahasia terhadap Kim Jong Un.

Pada tahun 2013, hampir semua bank yang berada di Korsel juga mengalamui kekacauan data akibat serangan yang dilancarkan para hacker Korut.

Kemampuan para hacker Korut bisa menembus “benteng” cyber Korsel itu memang diluar dugaan mengingat di Korut orang-orang yang bisa mengakses internet sangat terbatas.

Dengan kondisi pemakaian internet yang begitu ketat itu maka pihak lawan Korut, khususya Korsel dan AS serta negara-negara sekutunya kemudian mengira jika korut juga ketinggalan dalam teknologi cyber war.

Tapi anggapan negara-negara lawan Korut yang menganggap korut lemah dalam soal cyber war teryata keliru.

Untuk keperluan cyber army Korut ternyata telah membentuk Unit 180 yang memiliki tugas melakukan kegiatan mata-mata di seluruh dunia melalui jaringan internet.

Salah satu keberhasilan Unit 180 adalah ketika melancarkan serangan elektronik menggunakan virus WannaCry pada tahun 2017 ini sehingga mengakibatkan lebih dari 300.000 komputer di 150 negara mengalami kekacauan.