Penulis
Intisari-Online.com -Sabtu (28/10) kemarin, Menteri Pertahanan AS, Jim Mattis sengaja mengunjungi perbatasan Korut-Korsel, persisnya di Garis Demarkasi (Demarkasi Military Zone/DMZ) Panmunjom.
Kunjungan Menhan Mattis itu sebagai tanda bahwa AS masih berusaha memperjuangkan solusi damai untuk menyelesaikan konflik AS-Korut yang makin memanas.
Di kawasan DMZ markas pasukan Korut dan Korsel yang letaknya saling berseberangan serta garis perbatasannya bisa saling dilangkahi sebenarnya merupakan kawasan “paling berbahaya di dunia”.
Siapa pun yang berani melangkahi garis perbatasan yang tingginya hanya beberapa sentimeter itu dan posisinya membujur di antara markas militer Korut serta markas militer Korsel itu akan ditembak mati.
Sejumlah pejabat tinggi AS, seperti mantan Presiden AS Bill Clynton juga sudah mengunjungi DMZ pada Jumat (20/10). Mereka sedang berupaya membantu pemerintah AS menyelesaikan konflik dengan Korut secara damai.
Presiden AS Donald Trump sebenarnya juga telah ditawari untuk mengunjungi DMZ di Panmunjom. Hal ini dilakukan agar Korut “tertarik memilih solusi damai”. Tapi Trump ternyata menolak tawaran itu.
Hingga saat ini Presiden Trump memang sudah tidak percaya bahwa Korut mau melakukan solusi secara damai terkait ancaman serangan nuklirnya ke AS. Ia bahkan lebih suka “mengawal” penerapan sanksi ekonomi yang telah diterapkan PBB kepada Korut.
Presiden Trump berharap dengan sanksi tersebut—yang juga sudah mendapat dukungan China—Korut akan merasa jera dan kemudian membatalkan program nuklirnya.
Tapi Korut sesungguhnya berusaha tidak menggubris sanksi ekonomi dari PBB yang menurut Korut didalagi oleh AS. Negara komunis tersebut justru semakin giat melanjutkan program pembuatan senjata rudal nuklirnya.
Korut bahkan mengancam, waktu dekat akan melakukan uji coba peledakan bom hidrogen di lautan Pasifik.
Tujuan uji coba: untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Korut memang sudah memiliki senjata sangat mematikan dan siap menyerang AS.
Kunjungan Menhan AS, Jim Mattis bahkan langsung ditanggapi oleh Korut melalui reaksi “sangat serius”.
Pasalnya pada Sabtu (28/10) malam, Korut langsung melakukan latihan perang seolah sedang digempur militer Korsel-AS dari udara, dengan cara mematikan lampu di seluruh kawasan Korut.
Warga Korut juga berlatih untuk mengevakuasi diri menuju tempat perlindungan bawah tanah demi menghindari “serangan udara” dari militer AS dan Korsel itu .
Latihan perang yang dilakukan oleh Korut itu juga mengindikasikan bahwa Korut ternyata lebih suka memilih solusi peperangan alih-alih damai.