Find Us On Social Media :

Dokumen Diplomatik ‘Akui’ CIA Ingin Bunuh Bung Karno, Inilah Daftar Upaya Pembunuhan Terhadap Soekarno

By Ade Sulaeman, Kamis, 19 Oktober 2017 | 18:00 WIB

Intisari-Online.com - Operasi CIA di Indonesia dengan cara mendukung aksi pemberontakan PRRI/Permesta (1958) gagal dan salah satu anggota CIA, Allan Pope malah berhasil ditangkap pasukan TNI.

Namun demikian keinginan AS dan CIA untuk menggulingkan Presiden Soekarno yang telah diyakini telah berkiblat ke ideologi komunis melalui operasi rahasia ternyata masih terus berlanjut.

Tidak hanya operasi rahasia untuk menggulingkan Presiden Soekarno, CIA juga mendalangi upaya pembunuhan terhadap Presiden dengan cara merekrut kelompok tertentu dan salah satunya penerbang tempur AURI, Letnan Udara II Daniel Maukar.

Pada 9 Maret 1960, dengan menggunakan jet tempur MiG-17, Maukar sempat menyerang Istana Merdeka di Jakarta dan Istana Bogor serta menyerang kilang minyak di Tanjung Priuk, Jakarta Utara.

Tapi meskipun Istana Merdeka sempat diberondong tembakan, Presiden Soekarno luput dari serangan karena sedang tidak berada di tempat.

Upaya pembunuhan Presiden Soekarno terus berlanjut, sebulan kemudian (April 1960) ketika Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev berkunjung ke Indonesia ternyata terjadi upaya percobaan pembunuhan.

Hadirnya tokoh komunis Soviet nomor satu yang didampingi Presiden Soekarno dalam kunjungan di wilayah Jawa Barat itu ternyata dihadang kelompok bersenjata yang telah bersiap melakukan penyergapan di Jembatan Rajamandala.

Keberanian para penyergap yang kemudian diidentifikasikan sebagai anggota DI/TII itu jelas tidak akan muncul jika tidak didukung oleh para agen CIA mengingat salah satunya (Kruschev) merupakan tokoh dunia.

(Baca juga: Heboh! 39 Dokumen Rahasia Seputar Peristiwa 1965 Milik Kedubes AS Dibagikan untuk Umum)

Mujur para pengawal kunjungan kenegaraan dengan sigap bertindak sehingga baik Presiden Soekarno maupun Kruschev lolos dari upaya pembunuhan.

Pada 7 Januari 1962, Presiden Soekarno yang sedang berkunjung ke Makassar dan menghadiri acara di Gedung Olah Raga Mattoangin kembali menghadapi upaya percobaan pembunuhan.

Dalam perjalanan menuju Gedung Olah Raga seseorang melemparkan granat aktif tapi meleset dan justru mengenai mobil lainnya.

Salah satu penyerang ternyata anggota APRI sedangkan satu pelaku lagi warga sipil.

(Baca juga: Dibukanya Dokumen Rahasia Kedubes AS Tegaskan Bahwa CIA Memang Izinkan Pembantaian ‘Anggota’ PKI)

Empat bulan kemudian Presiden Soekarno kembali mengalami percobaan pembunuhan ketika sedang mengikuti sholat Idul Adha di Masjid Baiturahim, Jakarta.

Seorang penyerang, melepaskan tembakan dalam jarak dekat menggunakan pistol tapi tembakannya meleset.

Dari sejumlah upaya pembunuhan yang mengancam dirinya Presiden Soekarno telah menyadari adanya konspirasi untuk meyingkirkan dirinya.

Tanpa ragu-ragu Presiden Soekarno kemudian menuduh Pemerintah AS dan CIA berada di balik semua upaya pembunuhan itu.

Ketika Presiden Soekarno secara terang-terangan menyampaikan adanya konspirasi pembunuhan terhadap dirinya itu kepada Duta Besar AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, Dubes AS itu ternyata tidak menyangkalnya.

Demi membina hubungan diplomatik yang tetap baik, Dubes Jones atas perintah Presiden Johnson, bahkan menawari Soekarno berkunjung ke AS dengan jaminan “tidak akan dibunuh oleh CIA”.

Pernyataan itu dalam bahasa diplomatik justru makin jelas membuktikan bahwa CIA selama ini memang telah berupaya membunuh Presiden Soekarno.

Upaya pembunuhan terhadap Bung Karno itu diakui sendiri oleh CIA melalui dokumen rahasia yang sudah tersimpan selama 50 tahun dan baru dibuka pada 17 Oktober 2017 oleh Kedubes AS di Indonesia.

(Baca juga: Dibukanya Dokumen Rahasia AS Tunjukkan Betapa Buruknya Malapetaka Jika CIA ‘Bergerak’ di Suatu Negara)

(Baca juga: Dokumen Rahasia Kedubes AS: Jaminan CIA, Kunci Keberanian TNI AD Tumpas PKI)

Tawaran Dubes Jones pun ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno dan akibat kegagalan itu, Presiden Johnson kemudian memulangkan Jones.

Upaya-upaya CIA untuk membunuh dan menyingkirkan Presdien Soekarno memang telah gagal.

Presiden Soekarno sendiri akhirnya menjadi sangat marah.

Sebelum G-30-S-PKI meletus, ia bahkan sempat mengobarkan semangat anti-Amerika dan berakibat pada penyerbuan sejumlah gedung milik AS yang berada di Jakarta, Medan, serta Surabaya oleh masyarakat.

Hubungan RI dan AS pun menjadi sangat buruk Namun demikian tidak ada kata menyerah bagi para agen CIA dalam upaya menyingkirkan Soekarno mengingat Indonesia dari hari ke hari makin lengket dengan Soviet terutama saat muncul konflik mengenti status Irian Barat dengan Pemerintah Belanda.

Ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Belanda untuk memperebutkan Irian Barat (1962-1963),akibat hubungan buruk dengan AS, demi mendapatkan persenjataan, Pemerintah RI pun memilih Soviet.

Pada era itu Pemerintah RI banyak sekali membeli persenjataan dari Uni Soviet sehingga membuat AS makin khawatir.

Agen-agen CIA pun terus disebarkan untuk melaksanakan monitoring menggunakan pesawar pengintai U-2 dan telah berkali-kali terbang di atas Jakarta.

(Baca juga: KGB, Dinas Rahasia Rusia Sekaligus Kawah Candradimuka Vladimir Putin yang Lebih Kejam dari CIA)

(Baca juga: Tak Berdayanya Pasukan AS di Perbatasan Afganistan-Pakistan Makin Membuktikan Lemahnya Kinerja Agen CIA)

Berkat hasil intelijen CIA itu, militer Belanda kemudian memutuskan untuk tidak memilih opsi militer dalam penyelesaian Irian Barat, mengingat persenjataan yang dimiliki RI saat itu demikian mutakhir, salah satunya adalah pesawat pengebom antikapal induk, TU-16.

 Pada saat itu Pemerintah AS atas informasi CIA lebih memilih membujuk Belanda agar segera menyerahkan Irian Barat daripada harus menggunakan cara militer tapi AS tak bisa membantu mengingat pasukan AS yang sedang bertempur di Vietnam sedang keteter.

Sebagai sekutu AS, Belanda sebenarnya kecewa atas keputusan AS itu dan menganggap operasi CIA telah menggagalkan upaya militer Belanda yang ingin tetap mempertahankan Irian Barat melalui operasi militer.

Sebenarnya tidak hanya pihak Belanda yang kecewa. Pemerintah Soviet sendiri yang ingin melihat langsung keampuhan persenjataannya ketika digunakan oleh pasukan RI melawan pasukan Belanda juga turut kecewa.

Militer Soviet sebenarnya sangat yakin persenjataanya yang digunakan militer RI akan mampu menghancurkan persenjataan produk Barat.

Tapi keinginan Soviet ternyata gagal bukan karena pasukan RI tidak berani menyerang, bahkan sudah menggelar Operasi Jaya Wijaya untuk menggempur Belanda, namun gagal karena unsur ketakutakan yang telah diciptakan oleh CIA sendiri terhadap Pemerintah dan militer AS.

Meskipun operasi untuk memperlemah pemerintahan Presiden Soekarno dan upaya untuk melaksanakan operasi pembunuhan terhadap Presiden selalu gagal, operasi CIA terus berlanjut.

Ketika pada tahun 1965 di Indonesia meletus pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, CIA juga berusaha keras menjauhkan Presiden Soekarno dari pengaruh PKI tapi ternyata gagal.

Upaya menjauhkan Presiden Soekarno dari pengaruh PKI disponsori oleh Presiden AS saat itu, Lyndon Johson.

Melalui utusan Presiden Johnson, Ellsworth Bunker, pemerintah AS membujuk Presiden Soekarno agar menjauhi PK dan yang dibelakangnya telah di back up oleh komunis Uni Soviet serta China.

Tapi upaya pembujukan oleh Bunker yang juga agen CIA gagal.

Namun agen-agen CIA terus berusaha keras memerangi pengaruh komunisme di Indonesia dengan cara mendukung pihak-pihak tertentu yang gigih melawan komunisme seperti TNI-AD.

Salah satu dukungan yang diberikan adalah peralatan intelijen mutakhir yang bisa menyaingi peralatan intelijen milik PKI.

Dana dalam jumlah besar juga dikucurkan CIA bagi militer RI dengan tujuan dimanfaatkan untuk memerangi komunisme di Indonesia.

Tatkala pemberontakan G-30-S-PKI akhirnya berhasil ditumpas, Pemerintah AS merasa senang tapi tetap berusaha menyingkirkan Presiden Soekarno yang ternyata masih berhasil memegang kendali.

Namun setidaknya Bung Karno tidak meninggal karena dibunuh CIA tapi justru meninggal karena saat sakit tidak mendapatkan perawatan yang memadai di era kepemimpinan Presiden Soeharto.