Penulis
Intisari-Online.com -Pengobatan kerap dianggap sebagai alernatif terbaik untuk mengatasi penyakit.
Meski begitu pasien tetap harus mewaspadai pemberian obat yang diresepkan oleh dokter.
Sebuah investigasi yang dilakukan CNN di Amerika Serikat tahun ini mengungkap adanya permainan antara produsen obat dengan dokter.
(Baca juga:Dalam Setahun, Dokter-dokter di Kanada Sudah Bantu 2000 Orang untuk Bunuh Diri)
Pil Nuedexta yang diklaim dapat mengobati kelainan yang ditandai dengan tawa atau tangis tiba- tiba dan tidak terkendali dari pasien. Kebanyakan penyakit ini diderita oleh orang-orang yang berusia lanjut.
Penjualan pil yang tercatat sejak 2012 itu meningkat 400 persen hanya dalam waktu empat tahun.
Total penjualannya mencapai 300 juta dolar atau setara dengan Rp4 trilun lebih.
Nuedexta nyatanya bahkan masuk ke panti jompo meski produsen obatnya sendiri, Avanir Pharmaceuticals, mengakui belum mempelajari efek obat ini secara luas bagi pasien lanjut usia.
Namun beberapa laporan cenderung memberi tahu bahwa penggunaan obat ini pada pasien berakhir dengan penurunan kesehatan bahkan hingga dua kali lipatnya pada penderita Alzheimer.
Dalam waktu dua tahun, seorang pasien demensia berusia 85 tahun, ketika dibebaskan dari pengaruh obat Nuedexta, kondisinya lebih baik, bahkan menjadi semakin sehat.
Sebelumnya pasien terus diberi obat tersebut namun tidak berangsur membaik, meski demikian dokter masih meresepkan dan memberikan obat tersebut.
Sebenarnya, rekomendasi obat untuk pasien Alzeimer dan demensia terkhusus pada lanjut usia seharusnya tidak perlu.
Namun obat ini terus diresepkan oleh dokter dan direkomendasikan untuk digunakan karena dokter atau pembuat obat akan menerima imbalan jika dapat menjual obat tersebut.
Tenaga medis seakan telah “dibeli” oleh produsen obat tersebut dengan keuntungan uang, paket liburan, dan lain-lain, jika berhasil “menjual” obat tersebut.
Bagai pil merah, Nuedexta yang seharusnya tidak perlu bahkan tidak aman digunakan menjadi boleh karena ada imbalan di baliknya.
Lon Schneider, direkur Pusat Penyakit Alzheimer California di Universitas California Selatan memperingatkan bahwa penggunaan obat yang diresepkan bagi pasien lanjut usia, meski hanya satu pil, bisa berbahaya terutama bila belum diuji secara ekstensif atau luas.
Mirisnya, dokter yang telah disumpah profesi masih saja ada yang bersedia menerima ajakan perusahaan farmasi nakal.
Tentu saja hal ini ilegal jika dokter meresepkan obat dengan iming-iming keuntungan yang akan diberikan oleh produsen obat.
Belajar dari kisah ini, pasien juga sebaiknya tidak pasif dalam menerima resep dari dokter.
Bukannya berpikir negatif soal dokter, namun kita juga setidaknya mengerti khasiat dan metode pengobatan yang dilakukan oleh dokter.
Bagaimana dengan di Indonesia?
(Natalia Mandiriani)