Detik-detik Jelang Terbunuhnya Che Guevara, Idealis yang Tak Henti Perjuangkan Nasib Rakyat Kecil

Ade Sulaeman

Penulis

Kita tidak setuju dengan paham komunismenya yang mengingkari Tuhan. Tetapi idealisme atau cita-citanya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil, adalah idealisme dan cita-cita kita pula.

Intisari-Online.com – Kematian ‘Che’ Ernesto Guevara, gerilyawan dari Kuba yang beroperasi di Bolivia, merupakan salah satu kejadian yang menimbulkan sensasi internasional dalam tahun yang lalu.

Gambar pada awal tulisan ini dilukis dari fotonya sesaat sesudah ia ditembak mati, sebuah foto yang dimuat dalam majalah Prancis terkenal “Paris Match".

Kita tidak setuju dengan paham komunismenya yang mengingkari Tuhan.

Kita tidak setuju pula dengan cara-cara perjuangannya.

Tetapi idealisme atau cita-citanya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil, adalah idealisme dan cita-cita kita pula. Idealisme yang tercermin pada lukisan di atas.

Perhatikan betapa tenangnya wajah gerilyawan ulung ini.

Matanya terbuka karena pada saat Che menghembuskan napasnya yang terakhir, tak ada orang yang menutupkannya.

Bibirnya merekah dalam senyuman memikat.

Dan keseluruhan wajah memberikan kesan seolah-olah idealis ini penuh kepuasan tentang hasil perjuangannya, sedang menatap orang-orang yang ia tinggalkan dan ia cintai.

Dibawah ini laporan kematiannya seperti ditulis oleh Michele Ray, seorang wartawati Prancis berdasarkan sumber-sumber terdekat.

Tanah berbukit yang sunyi dan tertutup hutan belukar itu dijaluri oleh jurang-jurang dalam.

Pada Sabtu malam tanggal 8 menjelang hari Minggu tanggal 9 Oktober (1967), gerilyawan “Ramon" alias Ernesto Guevara berada disalah satu jurang itu.

Lebar jurang 6 sampai 10 meter. Dengan 25 orang pengikutnya “Che" menyusuri tempat yang terlindung ini.

Pertempuran mereka yang terakhir terjadi 11 hari sebelumnya, yaitu di dekat desa La Higuera, beberapa kilometer dari tempat persembunyian yang sekarang.

Dalam pertempuran itu, tanggal 28 September, Coco Peredo pemimpin gerilyawan Bolivia gugur.

Sejak itu regu tempur yang dipimpin kapten Gary Prado, menjelajahi desa untuk mengejar para gerilyawan.

Ramon alias Che Guevara dan orang-orangnya sampai pada sebuah ladang kentang di pinggir sungai.

Ketika itu sudah lewat tengah malam. Para gerilyawan memutuskan untuk beristirahat dan tidur di situ, di bawah sebuah pohon beringin besar.

Seorang “campesino” (= petani) yang kebetulan tidur di ladang untuk menjaga tanamannya, mendengar mereka bercakap-cakap.

Tertngat akan premi sebesar 50 ribu pesos yang dijanjikan Gubernur bagi mereka yang berhasil menangkap Che, si petani buru-buru lari ke La Higuera untuk memberitahu kapten Prado yang malam itu juga terus bergerak.

Sementara itu Che dan anak buahnya turun ke jurang.

Pagi hari 4 peleton telah siap di kedua belah tepi jurang sedangkan 2 seksi memblokir jalan keluar.

Mereka bersenjatakan mortir dan mitralyur. Jam 1 terjadi tembak-menembak. Empat anak buah Prado gugur.

Dua puluh menit kemudian kontak senjata terjadi lagi. Kemudian suasana sunyi senyap yang mencekam.

Jam 3 siang tempat persembunyian “Che" digempur secara serentak dengan mortir, granat, dan mitralyur.

Padas-padas pecah, bata-bataan bergelindingan ke bawah. Satu-satunya jalan yang masih terbuka bagi para gerilyawan ialah mendaki tebing curam dan coba menerobos kepungan yang ketat.

Ramon jang terluka kakinya, dengan bantuan Willy, rekannya memanjat ke atas dengan berpegang pada belukar dan semak-semak berduri.

Karena sama sekali sudah tidak bisa menggerakkan kakinya dan kehabisan napas akibat serangan asma, maka Ramon terpaksa diangkat ke atas oleh Willy.

Tangan kedua gerilyawan itu berlumuran darah.

Dalam keadaan inilah, ketika sampai di atas, mereka dicegat oleh serdadu yang bersenjata lengkap.

Willy tak bisa melepaskan Ramon untuk menggunakan senjatanya. Mereka tertawan.

“Saya Che Guevara", kata Ramon kepada musuh-musuhnya. Begitu datang, kapten Prado segera mengeluarkan foto, dan mengamat-amati ciri-ciri khas “Ramon".

“Memang betul, dialah Che!" teriak Prado kegirangan.

Prado menyerahkan Che kepada bawahannya dengan larangan keras untuk mengajaknya berbicara.

Lima menit kemudian Prado mengirimkan kawat kepada atasannya, kolonel Joaquin Zenteno. Kawat itu berbunji “500 Canzada".

Kode 500 berarti “Guevara" sedangkan Canzada yang berarti lelah, merupakan kode kata “tertawan".

“Che" duduk di dekat Willy di bawah terik matahari di tengah hutan semak-semak. Napasnya terengah-engah karena mendapat lagi serangan asma.

Matanya memandang anak buah Prado yang menjaganya, tetapi rupanya tanpa melihat mereka.

Menjelang malam barulah kafilah kecil bergerak menuju La Higuera sebuah desa kecil yang terletak 2500 meter di atas permukaan laut.

Willy berjalan paling depan, kedua tangannya diborgol, bersama Guevara yang berjalan dengan satu kaki dan dipapah dua orang serdadu.

Sampai di La Higuera Che langsung dibawa ke gedung sekolah setempat. la dimasukkan ke dalam salah satu ruangan kelas disuruh duduk di atas bangku membelakangi dinding.

Kedua tangannya dirantai. Serdadu yang membawanya masuk, mengisi sebuah pipa, menyalakan dan memberikannya kepada Che sebelum meninggalkan tahanannya seorang diri.

Ruangan gelap gulita karena tak ada listrik ataupun lampu minyak tanah. Disitulah Che ditawan.

Perwira-perwira tinggi berganti-ganti datang pergi untuk mewawancarainya.

Sementara itu di luar Prado membagi-bagikan barang-barang milik para tawanan kepada anak buahnya untuk kenang-kenangan suksesnya operasi.

Yang paling laris dan menjadi rebutan, ialah benda-benda milik Che.

Diantaranya terdapat kotak kecil berisi kancing-kancing manchette. Letnan muda Perez dengan sikap kurang ajar masuk ruangan tempat Che ditahan.

“Ini milikmu?" ia bertanya. “Ya, dan saja menginginkan agar benda-benda ini dikembalikan kepada anak Iaki-laki saya,” jawab Che.

Perez tidak menanggapi permintaan ini dan terus keluar ruangan.

Opsir lain, Espinosa, ingin memperoleh pipa Che tetapi yang ditemukan di dalam kantong punggung gerilyawan itu sudah dikuasai orang lain.

Maka buru-buru Espinosa masuk kamar tahanan Che, memegang rambutnya dan menggontcang-goncangkan kepala orang yang sudah tak berdaya itu, untuk kemudian merebut pipa yang sedang akan dihisapnya.

“Ha, kau el famoso Che Guevara (Che Guevara yang terkenal itu)". "Ya'', jawab yang ditanya.

“Saja seorang menteri! Sungguh tak pantas tingkah-lakumu terhadapku!" Dan dengan kakinya yang masih sehat, Che mendepak Espinosa hingga opsir tak sopan ini tertubruk bangku.

Dengan pandangannya yang menghina dan ironis Che mencemoohkan opsir-opsir. Tetapi terhadap tentara-tentara biasa ia selalu bersikap baik dan penuh kelembutan hati.

Akhirnya dikirim seorang perawat untuk membersihkan Iuka-luka Che dan mengobatinya.

Sementara itu Che tetap tidak mau diajak bicara dengan opsir-opsir yang datang menemuinya.

Baru pada hari Senin ia mulai omong-omong, yaitu ketika Julia Cortez, seorang gadis umur 22 tahun, guru pada sekolah tempat Che ditahan, masuk ruangan kelas, rupanya untuk mengambil sesuatu.

“Saya takut masuk kelas, jangan-jangan akan bertemu dengan lelaki jalang...... Tapi ternyata saya berhadapan dengan seorang pria yang tindak-tanduknya memikat, pandangan matanya lembut dan suka bercanda. Saya tak berani menatap matanya,” cerita Julia.

“Ha, Nona adalah “maestra" (bu guru)! Tahukah Nona bahwa kata “ya se leer" tidak boleh ditekankan “se"-nya?” tegur Che untuk membuka percakapan sambil menunjuk pada salah satu gambar yang tergantung pada dinding.

Cara mengusiknya sopan dan matanya cerah gembira.

“Nona, di Kuba tak ada sekolah semacam ini. Di sana gedung seperti ini akan disebut penjara. Bagaimana anak-anak petani bisa belajar di sini. Sama sekali bertentangan dengan ilmu pendidikan!"

“Negara kami miskin" jawab Julia.

“Tetapi pejabat-pejabat pemerintah dan pembesar-pembesar militer pada mempunyai Mercedez dan Iain-lainnya. Buset! Itulah maka kami bertempur.”

“Anda datang dari begitu jauh untuk bertempur di Bolivia.”

“Saya seorang revolusioner dan saya telah menjelajahi banyak tempat".

"Anda datang untuk membunuh tentara-tentara kami.”

“Nona tahu bahwa dalam perang ada yang kalah dan ada yang menang.”

Demikian jalannya percakapan antara Che dan Julia Cortez seperti diceritakan sendiri oleh bu guru ini.

“Selama omong-omong itu saya memandang ke bawah,” tambahnya. “Pandangan Che tak tertahankan, seperti menembus jiwa dan begitu tenang.”

Menjelang tengah hari Che minta ketemu dengan Julia. Che tahu bahwa sebentar lagi ia akan dibunuh. Apa yang hendak dikatakannya sebelum meninggal? Tetapi Julia tak mau datang.

“Saya tidak tahu mengapa, mungkin karena saya tak berani menatap matanya. Saya menyesal sekali tak mengabulkan permintaannya yang terakhir,” tutur Julia.

Pada saat-saat terakhir ini helikopter angkatan darat terus menerus naik turun di La Higuera, membawa jenderal-jenderal, kolonel-kolonel, dan pejabat-pejabat penting lainnya yang ingin bertemu muka dengan Che dan coba memancing sesuatu dari mulutnya.

Satu per satu mereka berdefile di depan orang yang tak gentar menghadapi maut ini. Dan mereka semua tahu bahwa tak mungkin membuka mulut Che.

Yang dapat mereka harapkan hanyalah kata-kata pedas dan pandangan penuh cemooh.

Lama kelamaan perasaan menang pada para perwira berubah menjadi kemarahan yang tak berdaya.

Che duduk di atas bangku, kedua tangannya terbelenggu, punggung membelakangi tembok.

Usaha untuk membuka mulutnya diteruskan. Salah satu yang terakhir menemui Che adalah Laksamana Muda Hugarteche.

Begitu masuk ruangan, perwira tinggi ini segera mundur marah-marah. Mukanya diludahi Che.

Keputusan terakhir telah dijatuhkan oleh para atasan. Tinggal menunggu pelaksanaannya.

Jam 13 Che bangun. Ia mendengar suara gaduh di luar ruangan. Ternyata tentara-tentara yang sedang bertengkar.

“Saya yang pergi,” kata seorang di antara mereka. “Saya dulu,” tukas yang lain.

“Kau, kau mengerjakan Willy dan “El Maestro", teriak seorang lagi. “El Maestro" adalah salah seorang anak buah setia dari Che.

Pintu kamar Che terbuka. Opsir muda Mario Teran masuk, tangannya memegang karaben M2.

“Ayo duduk,” perintahnya. “Untuk apa,” jawab Che tenang, “aku toh akan kau bunuh.”

“Tidak, ayo duduk,” kata Mario.

Sambil memandang ke bawah untuk menghindari tatapan mata tawanannya, Mario berpaling, pura-pura hendak pergi.

Tetapi tiba-tiba ia berbalik sambil memberondongkan pelurunya. Che rebah. Dibelakangnya pada tembok peluru membuat dua lobang berdarah sebesar tinju.

Kemudian Perez masuk memegang revolver, untuk mengakhiri sakratul maut Che dengan tembakan ditengkuknya.

Sesudah itu masih masuk dua tiga orang yang ingin menembakkan peluru pula pada gerilyawan ulung yang lama tak terkalahkan itu.

Diperbolehkan Perez asal tembakan itu tidak di atas pinggang. Maka peluru diarahkan pada kaki almarhum. Che sudah tak bernyawa.

Seorang opsir membuka pantalon dan jasnya untuk menghitung Iuka-lukanya. Lima di kaki, satu di perut sebelah kiri, satu di kerongkong, satu di bahu kanan, dan satu lagi di lengan kanan.

Sesaat setelah Che Ernesto Guevara meninggal, seorang wanita datang membawa air untuk membersihkan muka almarhum.

“Alangkah indah wajahnya. Seperti seorang nabi,” gumam wanita yang memberikan jasa terakhir itu. (Paris Match 30 Des. 1967).

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1968)

Artikel Terkait