Penembakan Las Vegas: Senapan Mesin Seharusnya untuk Berperang Bukan Membantai Penonton Konser

Moh Habib Asyhad

Penulis

Ketika senapan mesin berada di tangan orang yang gatal menembak seperti Stephen Paddock, maka yang terjadi adalah pembantaian massal.

Intisari-Online.com -Senapan mesin mengubah wajah pertempuran darat yang melibatkan pasukan dalam jumlah besar.

Kemampuan menjaga wilayah yang luas dari jarak di luar jangkauan senapan serbu yang umumnya berjarak tembak 300 meter adalah kelebihannya.

Senjata ini juga jadi alat utama untuk menyapu gelombang serbuan manusia terutama di medan yang terbuka.

Apalagi jika operator senapan mesin berada di posisi ketinggian, ia benar-benar seperti malaikat pencabut nyawa.

(Baca juga:Gaya Hidup Anak-anak Orang Kaya di Arab Saudi: Antara Mobil Mewah, Binatang Buas, Hingga Senapan Serbu)

Pada Perang Dunia I umumnya serangan infanteri dilakukan secara serentak dengan mengerahkan ribuan pasukan yang maju menyerbu sambil berteriak histeris.

Serbuan macam itu bukannya tak bisa diatasi. Mula-mula dibuatlah parit-parit penghalang untuk menghambat serangan berupa gelombang manusia yang tampak seperti rombongan orang kalap itu.

Tapi dikemudian hari taktik semacam ini terbukti kurang efektif. Lawan bisa saja menguasai sasaran dengan merebut parit demi parit.

Misalnya, ketika pasukan Sekutu menggelar operasi lompat kodok (leap frogging)untuk memerangi pasukan Jepang demi menguasai Iwojima dan Okinawa sebelum mencapai Tokyo.

Banyak halang rintang, diterjang serdadu Jepang dengan berani mati.

Apa boleh buat, harus ada cara lain untuk mengatasi kelemahan taktik pertempuran parit: dengan senjata pembendung serbuan massal.

Para ahli taktik perang pun berpikir keras untuk mencari solusi buat membendung serbuan massal pasukan lawan. Jalan keluar yang paling tepat untuk mengatasinya adalah dengan memanfaatkan kedahsyatan senapan mesin.

(Baca juga:Bukan Pistol, Polisi Gunakan Senapan Serbu SSI-V2 saat Berondong Mobil Satu Keluarga di Lubuklinggau)

Namun, pada awal penerapannya, senapan mesin dianggap sebagai bagian dari elemen artileri. Walau memang ukurannya lebih kecil.

Akibatnya aturan penggelarannya (rules of engagement) juga mesti sesuai dengan meriam-meriam lapangan (artileri medan).

Jadi bukan disertakan dalam taktik tempur pasukan infanteri. Tapi demi menghadapi serbuan massal senapan mesin akhirnya disatukan dalam pertempuran bertaktik infanteri.

Ada beberapa keampuhan yang membuat model ini bisa diadopsi dalam taktik tempur infanteri.

Pertama kemampuan menyemburkan peluru secara beruntun yang ketika itu belum dimiliki oleh senapan serbu.

Sementara jarak jangkau untuk menghantam target yang lebih jauh jadi alasan kedua. Selain itu mobilitasnya (gerak) juga bisa lebih cepat ketimbang meriam-meriam medan.

Kemunculan senapan mesin sebagai senjata penumpas juga melahirkan taktik baru. Dicetuskan oleh seorang Pewira Jerman, Von Hutier, senapan mesin dipakai sebagai bantuan tembakan bergerak (mobile firepower). Taktik seperti ini pertama kali digelar dalam Pertempuran Riga di Front Timur (PD I).

(Baca juga:Siapakah Sebenarnya si Pencabut Nyawa Dalang Penembakan Las Vegas Itu?)

Karena dianggap berhasil, Jerman kemudian menjadikan unit bantuan tembakan bergerak sebagai satuan mandiri.

Unit Stoss-truppen (shock troops) atau “pasukan penggertak” namanya.

Mereka bermodalkan senapan mesin Madsen hasil rampasan Rusia yang telah dimodifikasi, satuan ini kembali beraksi di Front Somme dan Verdun.

Masih berlatar belakang PD I, soal kedahsyatan senapan mesin memang tak sebatas isapan jempol.

Inggris pernah punya pengalaman buruk ketika melancarkan serbuan pembuka ke Somme pada 1 Juli 1916.

Lebih dari 57 ribu pasukan kerajaan habis disapu senapan mesin Maxim MG 08 Tentara Jerman.

Pasca- PD II Senapan mesin multiguna (GPMG) jadi tren seluruh AB dunia.

Umumnya basis yang dipakai untuk mengembangkannya adalah senapan seri MG Jerman.

Tapi tak jarang, senapan-senapan mesin peninggalan PD II juga masih dipakai. Contohnya Bren L4A2 yang terakhir diproduksi di Inggris pada tahun 1971.

Tapi ada perkembangan baru dalam perjalanan pengembangan senapan mesin bagi keperluan perang modern.

Dari sisi kaliber peluru, ada pergeseran. Selaras dengan tren kaliber 5,56mm yang kini dipakai senapan serbu (assault rifle) maka muncul juga senapan mesin berkaliber sejenis.

(Baca juga:Media Australia Sebut Kekasih Pelaku Penembakan di Las Vegas Merupakan Keturunan Indonesia)

Dengan penurunan kaliber yang dipakai berati bobot serta hentakan senjata jadi minim.

Meski demikian kalau disimak lebih teliti lagi ada sejumlah perbedaan dibanding senapan serbu biasa.

Laras yang lebih panjang dan berat serta tambahan bipod, itulah pembedanya.

Tapi perbedaan itu bukan dibuat tanpa alasan. Pasalnya walau berkategori ringan, senjata ini tetap diwajibkan punya jarak jangkau dan daya tembak lebih tinggi ketimbang senapan serbu biasa.

Sebagai gambaran, senapan mesin ringan minimi bikinan Belgia dirancang agar bisa menyapu target pada jarak 400-500 meter.

Angka ini merupakan patokan jarak efektif senapan serbu M16.

Saat ini populasi senapan mesin ringan berkaliber 5,56 mm memang cukup beragam.

Mulai FN Minimi yang mengadopsi peluru senapan serbu FNC, turunan Steyr AUG yaitu Steyr LSW (Light Support Weapon) higga L86AI sang turunan senapan serbu bullpup Inggris SA 80.

Kehadiran mereka mau tak mau membuka kategori baru dinasti senapan mesin, yaitu senpan mesin berkaliber 5,56 mm.

Intinya pemakaian senapan mesin di medan perang adalah untuk membunuh musuh sebanyak mungkin dalam waktu secepat-cepatnya.

(Baca juga:Gara-gara Senapan Mati, Perempuan Ini Selamat dari Serangan Paris)

Tapi ketika senapan mesin itu berada di tangan seorang yang gatal menembak (trigger happy) seperti Stephen Paddock, yang baru saja menembaki kerumunan ribuan orang di acara konser musik Las Vegas, AS Senin (2/10), maka yang terjadi adalah pembantaian massal.

Pasalnya senapan mesin seharusnya digunakan untuk berperang dan bukan untuk membantai ribuan orang yang sedang bersenang-senang.

Artikel Terkait