Find Us On Social Media :

Yuk Belajar dari Letusan Gunung Sinabung: Bencana Alam Berkepanjangan yang Seolah Telah Terlupakan

By Moh Habib Asyhad, Senin, 25 September 2017 | 19:40 WIB

Intisari-Online.com - Gunung Agung di Bali yang sudah ditetapkan dalam status “awas” (level IV) menandai bahwa gunung yang aktif itu akan segera meletus.

Oleh karena itu penangangan bencana secara profesional perlu dilakukan mengingat letusan gunung bisa berlangsung cukup panjang.

Berdasar pengalaman dari Gunung Sinabung, penanganan bencana yang melibatkan semua unsur secara terpadu ternyata sangat diperlukan sehingga para korban bencana akibat letusan gunung bisa ditangani dengan baik.

Gunung Sinabung yang berada di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, meletus pada 2010 lalu setelah sekitar 400 tahun dikenal sebagai gunung api yang pasif.

(Baca juga: Foto Letusan Gunung Sinabung Jadi Photo of The Day The New York Times dan Reuters)

Letusan Sinabung yang membawa bencana bagi warga desa yang tinggal di lereng dan kaki gunung bahkan terus berlanjut hingga saat ini sehingga menjadi bencana alam yang berkepanjangan.

Demikian lama bencana alam Gunung Sinabung ini seolah menjadi bencana alam yang sudah terlupakan. Padahal hingga saat ini kerugian materi dan korban jiwa masih terus berjatuhan.

Sepanjang tahun 2010 telah terjadi beberapa kali letusan disertai lava dan awan panas yang jarak luncurannya mengancam warga desa yang tinggal tidak jauh dari puncak Gunung Sinabung.

Demi menghindari bencana sebanyak 12 ribu warga yang tinggal di sekitar puncak gunung dievakuasi dan kemudian berstatus pengungsi.

Sampai bulan Agustus dan September 2010, Gunung Sinabung terus meletus dan  suara letusannya terdengar dari jarak 8 km. Debu vulkanik yang menyembur hingga ketinggian 5 km terus menyebar sejauh 25 km.

Memasuki tahun 2011 hingga pertengahan 2013, Gunung Sinabung kembali tenang tapi pada bulan September, Sinabung meletus lagi sebanyak empat kali.

Letusan yang menimbulkan awan panas dan abu vulkanik membuat ribuan warga yang tinggal pada jarak 5 km dari puncak gunung kembali mengungsi ke tempat-tempat aman.

Abu vulkanik yang dihasilkan dari letusan membumbung tinggi ke udara sejauh 8km dan penyebaran debu vulkanik bahkan mencapai kota Medan yang berjarak 80 km dari Sinabung.

Memasuki tahun 2014, Gunung Sinabung tampak kembali normal sehingga para pengungsi kembali ke rumahnya masing-masing terutama yang tinggal di luar radius 5 km.

Tetapi baru sehari menempati rumah terjadi bencana luncuran awan panas yang mencapai wilayah bahaya zona 1 sehingga menimbulkan korban tewas dan luka-luka.

(Baca juga: Letusan Gunung Agung 1963: Pengejawantahan Kemurkaan Dewa-dewa Karena Tanah Bali Kotor dan Penuh Dosa)

Hingga satu tahun kemudian Gunung Sinabung kembali tenang namun pada Januari 2015, Sinabung meletus lagi dengan ketinggian kolom debu vulkanik mencapai ketinggian 3 km dan luncuran awan panas sejauh 4 km.

Letusan itu bahkan disertai erupsi besar berupa runtuhan lava dan debu vulkanik yang menyebar hingga jarak 10 km serta awan panasnya meluncur sejauh 4,7 km.

Warga yang berada di kaki gunung pun kembali diungsikan  ke kawasan Brastagi.

Tapi letusan Sinabung ternyata terus berlanjut hingga tahun 2016 dan sempat menimbulkan korban jiwa akibat banjir lahar dingin yang terbawa hujan lebat.

Bulan Mei tercatat sebanyak 7 orang tewas dan tiga orang lainnya kritis akibat terkena luncuran awan panas.

Para penduduk pun kembali menuju tempat pengungsian dan pemerintah mulai melaksanakan program relokasi terhadap para korban letusan Gunung Sinabung.

Penanganan Bencana

Atas bencana letusan Gunung Sinabung yang terus melanda hingga saat ini itu, pihak Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) telah melakukan berbagai langkah untuk menangani korban.

Salah satunya adalah merelokasi korban yang kini masih tinggal di tempat pengungsian ke pemukiman baru yang lebih aman.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo meminta kepada pengungsi yang berada di lokasi penampungan agar tetap mewaspadai luncuran awan panas erupsi Gunung Sinabung setelah akhir-akhir ini  menunjukkan peningkatan yang  cukup tinggi.

Warga juga dihimbau untuk tidak nekat kembali ke desa yang masih masuk dalam zona berbahaya.

Pemkab Karo bahkan melarang keras warga yang desanya menjadi lintasan awan panas (zona merah) untuk tidak kembali lagi. Beberapa desa yang termasuk dalam kategori zona merah itu hanya berjarak lebih kurang 6 hingga 7 km dari puncak Gunung Sinabung dan daerah tersebut harus dikosongkan.

(Baca juga: Berbuka Puasa Sambil Memandangi Candi Prambanan dan Gunung Merapi)

Dalam catatan petugas PVMBG, selama bulan Agustus-Septemper 2016, dalam satu hari saja tercatat telah terjadi 19 kali luncuran awan panas dan 137 kali guguran awan panas.

Kondisi itu mengindikasikan aktivitas vulkanik Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan yang tinggi, terutama peningkatan gempa hybrid yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kubah lava.

Demi menangani korban bencana alam Gunung Sinabung hingga saat ini pemerintah terus berupaya melakukan relokasi meskipun upaya  itu cukup sulit mengingat banyaknya penduduk yang masih menolak.

Bantuan dari luar juga sudah berjalan seperti  pemerintah Amerika Serikat yang pernah  menyerahkan bantuan finansial dan teknis.

Bantuan itu diserahkan melalui Kantor Urusan Bantuan Bencana Luar Negeri (Office of Foreign Disaster Assistance/OFDA), yang berada di bawah naungan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID).

Palang Merah Internasional dan Masyarakat Bulan Sabit, Palang Merah Indonesia (PMI) telah  menggunakan dana bantuan tersebut untuk membeli, membagikan, dan memenuhi kebutuhan bantuan seperti masker wajah, alat-alat kesehatan, wadah penyimpanan air bersih, selimut, plastik, dan matras.

Bantuan itu juga sudah  digunakan untuk memperbaiki sanitasi dan layanan kebersihan sekaligus memberikan bantuan psikososial bagi para korban bencana.

Lembaga USAID/OFDA juga menyerahkan bantuan teknis dan peralatan melalui Program Bantuan Bencana Gunung Berapi (Volcano Disaster Assistance Program/VDAP) kepada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Center of Volcanology and Geological Hazard Mitigation/CVGHM) guna memperkuat pemantauan dan kesigapan terhadap kegiatan gunung berapi di wilayah setempat.

Peralatan senilai 3.500 dolar AS itu akan menciptakan sebuah jaringan pemantauan seismik di dekat Gunung Sinabung untuk memberikan data yang lebih baik mengenai gempa bumi akibat gunung berapi. Sistem itu  akan menjadi peringatan awal jika akan terjadi letusan.

Sementara itu, VDAP juga sudah mendirikan tiga stasiun lapangan seismik dan sebuah stasiun pangkalan di dekat Gunung Sinabung.

Stasiun-stasiun ini akan memberikan data ke sebuah observatorium CVGHM baru, yang memungkinkan pemantauan gunung berapi secara langsung (real-time) dan memberikan informasi terkini kepada masyarakat di sekitarnya.

(Baca juga: Soal Penyelamatan Bencana Alam, Yuk Berkenalan dengan Tim SAR Tertua di Dunia Ini)

Sejak 2004, VDAP USAID telah bekerja sama dengan Badan Survei Geologi AS untuk memperkuat kapasitas pemantauan gunung api, mitigasi serta upaya respon secepat mungkin.

Pada intinya korban bencana alam Gunung Sinabung yang menjadi bencana alam berkepanjangan hingga saat ini memang harus menjadi perhatian pemerintah pusat.

Langkah penganganan secara profesional dan berkesinambungan harus segera dilakukan  mengingat bencana alam Sinabung sudah berlangsung cukup lama dan seperti korban bencana alam yang terlupakan.

Pengalaman menangani korban bencana akibat letusan Gunung Sinabung itu jelas sangat berharga dan bisa menjadi masukan untuk menangani korban letusan gunung api lainnya, khususnya Gunung Agung yang sudah diprediksi akan segera meletus.