Penulis
Intisari-Online.com - Pada 1 Oktober 1965 pagi, Presiden Soekarno (Bung Karno) yang sedang berada di rumah Ratna Sari Dewi Sukarno, Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala), Jakarta pada pukul 06.30 WIB sudah siap memasuki mobil dinas untuk menuju ke Istana Merdeka.
Para personel pengawal Presiden yang dikomandani Kompol Mangil pun sudah bersiap melakukan pengawalan.
Tapi sebelum berangkat Bung Karno sempat meminta penjelasan mengenai penembakan di rumah Dr.Leimena dan Jenderal AH Nasution.
Namun Mangil ternyata tidak bisa memberikan penjelasan sehingga membuat Bung Karno sempat marah-marah kepada Mangil.
Dari pertanyaan Bung Karno kepada Mangil yang merupakan orang kepercayaan Bung Karno itu, rupanya keduanya belum tahu jika pada malam 30 September 1967 telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan para Jenderal TNI AD oleh gerombolan bersenjata yang kemudian dikenal sebagai G30S.
Namun, berdasar situasi pada 1 Oktokber 1965 yang berkembang demikian cepat rencana perjalanan Bung Karno menuju Istana Merdeka dibatalkan.
Apalagi saat itu Istana Merdeka ternyata telah dikepung oleh “pasukan liar berseragam hijau” dari salah satu satuan TNI AD.
Demi keamanan dan keselamatan Bung Karno ketika sedang dalam kondisi darurat, Bung Karno kemudian dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Pasukan Pengawal Istana Presiden, Cakrabirawa memang sudah memiliki prosedur tetap jika Bung Karno keselamatannya terancam dan dalam situasi darurat, maka Presiden harus dibawa ke asrama militer terdekat atau ke lokasi yang telah ditentukan.
Lokasi untuk penyelamatan Presiden itu antara lain, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma mengingat di pangkalan ini sudah ada pesawat kepresidenan Jetstar yang selalu dalam kondisi siap terbang.
Dua lokasi lainnya yang selalu disiagakan untuk penyelamatan Presiden adalah pelabuhan Angkatan Laut Layar Berkembang di Tanjung Priuk karena di pangkalan laut ini selalu siaga kapal laut kepresidenan Varuna I-II.
Atau terbang menuju Istana Bogor menggunakan helikopter kepresidenan yang selalu siaga di lingkungan Istana Merdeka.
Jadi membawa Bung Karno ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965 pagi sudah merupakan prosedur yang benar bagi keselamatan Presiden.
Rombongan Bung Karno tiba Halim pada sekitar pukul 09.30 WIB dalam kondisi Halim masih sepi dan langsung menuju ke gedung Komando Operasi (Koops) AURI.
Di ruangan Koops telah menunggu Laksamana Omar Dhani dan Komodor Leo Watimena yang kemudian melaporkan situasi yang sedang terjadi.
Mangil dan anak buahya lalu keluar ruangan untuk mengatur penjagaan di seputar gedung tersebut.
Sewaktu Bung Karno sudah cukup lama berada di gedung Koops kemudian datang tiga perwira dari Angkatan Darat, yakni Brigjen Supardjo Panglima Komando Tempur Mandala Siaga, Mayor Bambang Supeno, dan Mayor Sukirno.
Masing-masing adalah Komandan Batalyon Dharma Putra Kostrad yang pasukannya waktu itu sedang mengepung Istana Merdeka.
Perwira yang kemudian masuk gedung dan menghadap Bung Karno adalah Brigjen Supardjo untuk melaporkan tentang peristiwa penembakan dan penculikan dengan korban para perwira tinggi.
Bung Karno kemudian memerintahkan Brigjen Supardjo agar segera menghentikan pertempuran.
Tapi pada saat itu, Brigjen Supardjo juga meminta agar Bung Karno mendukung G30S.
Namun, permintaan Brigjen Supardjo kepada Bung Karno agar mendukung Gerakan G30S ternyata ditolak dengan tegas.
Penegasan Bung Karno itu menunjukkan bahwa sebagai Presiden RI, ia memang bisa menerima PKI karena saat itu merupakan partai yang sah dan harus bekerja sama.
Tapi Bung Karno ternyata menolak mendukung G30S yang cara kerja kerjanya melanggar hukum dan mengedepankan aksi kekerasan serta anti Pancasila.
Saat berjalan keluar gedung, Brigjen Supardjo yang ternyata merupakan salah satu dalang G30S tampak lesu dan kecewa sekali.
Pasalnya dengan sikap Bung Karno yang menolak mentah-mentah untuk mendukung G30S, manuver PKI untuk mengambil kekuasaan jadi buyar.
Apalagi Brigjen Supardjo yang dalam Gerakan G30S merupakan wakilnya Letkol Untung (penanggung jawab G30S dari sisi militer) ternyata tidak memiliki “Plan B” demi mengantisipasi sikap Bung Karno yang ternyata tidak mau mendukung G30S.
Strategi G30S bahkan kemudian berhasil ditelikung oleh strategi Pangkostrad Mayjen Soeharto yang sukses membalikkan keadaan dan menumpas G30S.