Find Us On Social Media :

Letusan Gunung Agung 1963: Pengejawantahan Kemurkaan Dewa-dewa Karena Tanah Bali Kotor dan Penuh Dosa

By Ade Sulaeman, Sabtu, 23 September 2017 | 12:30 WIB

Intisari-Online.com - Kesaksian pasangan suami-istri warga AS, Dennis dan Anna Mathews, mengenai peristiwa meletusnya G. Agung, dalam bukunya The Night of Purnama menarik untuk disimak.

Desa Iseh, 10 km dari puncak ke arah selatan, tempat suami-istri ini tinggal, termasuk salah satu kawasan yang porak poranda karena amukan G. Agung.

Tanggal 3 Maret 1963, sejak sore sampai malam hari, masyarakat Bali sednag sibuk menyambut datangnya perayaan seratus tahun sekali, Eka Desa Rudra, suatu puncak upacara penting puji syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang dianugerahkan kepada umat manusia.

(Baca juga: Sajian Berbeda dari Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku)

Bentuknya antara lain dengan upacara sesaji dan penghormatan ke sebelas arah, yang dipercaya menyimpan kekuatan alam baik yang buruk, maupun yang jahat.

Dengan upacara ini diharapkan masing-masing kekuatan akan berjalan seimbang, sehingga umat manusia bisa hidup selaras dengan alam, damai, dan terhindar dari segala bencana.

“Namun, untuk menyambut upacara itu, setiap jengkal tanah di Bali mesti disucikan lebih dulu. Itu berarti selain penduduknya harus ‘menyucikan’ diri baik jasmani maupuan rohani, jasad-jasad yang terkubur di dalamnya harus segera diambil dan dikremasi (ngaben) atau dilabuh ke sungai/laut,” tambah Shadeg SVD.

Bagi kalangan berduit, hal ini tentu tidak akan menjadi masalah. Namun untuk sebagian besar masyarakat jelata, biaya ngaben yang minimal mencapai jutaan rupiah tak pelak menjadi kendala utama.

Meski mereka bisa secara bareng-bareng melakukan ngaben dengan cara patungan toh tidak semuanya mampu.

Kenyataan inilah yang menyiratkan persepsi “miring” atas bencana alam ini. Sekelompok orang mensinyalir, meletusnya G. Agung tersebut merupakan pengejawantahan kemurkaan dewa-dewa karena tanah Bali masih kotor dan penuh dosa.

Seorang saksi mata yang sampai sekarang masih hidup, Mangkubaru (67), penduduk Banjar Karangsari, Desa Dalah, Kec. Abang, sekitar 10 km dari puncak G. Agung, sempat mengisahkan pengalaman uniknya.

Beberapa hari sebelum Agung meletus dia bermimpi. Sepertinya ada suara yang mengatakan bahwa seminggu lagi pawon (dapur) milik sang penunggu G. Agung akan menyemburkan api karena marah.

“Namun ketika arti mimpi itu diceritakan kepada masyarakat sekitar, saya malah dianggap orang gila. Mereka tidak percaya kalau G. Agung akan meletus,” akunya ketika ditemui di desanya.