Intisari-Online.com – Permainan "bermandi darah" ini amat dekat hubungannya dengan judi. Meski juga melibatkan dua pihak yang saling bertarung, yang ini bukan pertandingan tinju.
Itulah tajen, adu jago khas Bali.
Sabung ayam, alias tajen, sudah lama tumbuh dan berkembang di Pulau Dewarta. Sejak belasan generasi sebelumnya hingga kini, tajen telah merasuk ke sebagian worga, terutama laki-laki.
Dulu tajen biasa dilakukan di tempat khusus, yakni di wantilan yang umum ada di setiap desa.
(Baca juga: Kisah Unik Para Sopir, Mulai dari Jadi Pialang Ayam Hingga Jadi Agen Ganda Rumah Tangga Majikan)
Gedung beratap "bertumpang" (kubah ganda) itu, bagian lantainya terdiri atas beberapa undak, mengerucut miring ke pelataran, yang jadi arena adu ayam.
Dengan demikian, semua pengunjung dalam wantihn dapal dengan jelas menonton pertarungan tersebut.
Tapi sejak ada larangan pemerintah terhadap segala bentuk perjudian di tahun 1981, tajen tak lagi bertempat di wantilan.
"Adu jotos" ayam jago pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rerimbunan kebun kopi, ladang jagung, tumpukan jerami usai panen, bahkan ... sudut pekuburan.
Datangnya era reformasi memberi angin segar. Tajen tak lagi perlu "mengungsi". Malah, belakangan tajen menjadi sarana untuk menggalang dana.
Godek di kaki
Sebagaimana tak sembarang jagoan bisa terjun di ring tinju, demikian pula ayam aduan. la harus memiliki ciri dan syarat khusus.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR