Find Us On Social Media :

Sakralnya Tradisi 1 Suro di Cirebon: Benda Pusaka Disucikan, Sang Kerbau Bule pun Ikut Kirab

By Ade Sulaeman, Rabu, 20 September 2017 | 18:30 WIB

Namun, menjelang 1 Suro, seperti sudah menghayati peran sejarahnya, mereka berkumpul kembali di alun-alun selatan Surakarta.

Suasana tak kalah sakral amat terasa di Keraton Yogyakarta.

Menjelang tengah malam, bisa disaksikan ribuan orang melakukan upacara mubeng beteng; mengelilingi benteng keraton tanpa berucap kata sepatah pun.

Sedangkan di alun-alun selatan, ratusan orang melakukan masangin, dengan mata tertutup berjalan di antara dua pohon beringin (kembar) yang ada di tengah alun-alun.

Upacara paling sakral, melakukan jamasan (pembersihan)  seluruh pusaka keraton, dilakukan 26 Suro.

Masa peralihan menuju penanggalan baru Jadwa (1 Suro) atau tahun baru Islam (1 Muharram) memang kerap dianggap mendatangkan berkah.

Bahkan berkembang kepercayaan, berdoa dan tirakat di tempat-tempat bersejarah dan keramat bisa membuat keinginan terkabul.

Sebuah fenomena (oleh Sumanto Al Ourtuby, peneliti Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, Semarang, disebut sebagai agama humanistik) yang mensahkan seseorang tampil modern dan logis di suatu waktu, namun sangat tradisional dan mistis di kurun waktu yang lain.

Berlainan akar

Gejala serupa bisa ditemui dalam peringatan 1 Suro atau 1 Muharram di Cirebon, bekas pusat Kerajaan Islam besar di perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah.

Bedanya, ritus yang melibatkan dua keraton utamanya, Kesepuhan (dari kata sepuh, maknanya lebih tua) dan Kanoman (dari kata anom, lebih muda) tak sebanyak di Solo dan Yogyakarta.