Find Us On Social Media :

Suasana di Penjara Madiun yang Dipenuhi para Tahanan Politik ‘Korban Orde Lama’ Ketika Terjadi G30S

By Ade Sulaeman, Rabu, 20 September 2017 | 13:30 WIB

Keadaan dan posisi kami sebagai orang tahanan tidak dapat berbuat secara leluasa. Kami berada dalam posisi yang sulit.

Asosiasi pemikiran selalu teringat kepada peristiwa pemberontakan PKI/Muso yang terjadi di kota Madiun pada tahun 1948.

Timbul pertanyaan: Apakah kaum pemberontak tidak merencanakan kota Madiun sebagai salah satu basis mereka, atau sekurang-kurangnya menjadi terugval basis?

Jarak antara Madiun dengan Solo – di mana stasiun radionya sudah dikuasai oleh kaum pemberontak – hanya lebih kurang 100 km.

Andaikata kekuatan-kekuatan kaum pemberontak sampai merembes ke daerah Madiun, maka sudah pasti penjara tempat kami ditahan itu akan menjadi salah satu sasaran dan kami akan “konyol” begitu saja.

Walaupun kami mengetahui bahwa pada waktu yang akhir-akhir ini kota Madiun sudah berangsur-angsur juga menjadi daerah minum bagi PKI, terbukti dari kekalahan calon-calon PKI dalam pemilihan untuk jabatan Lurah, yang telah berkali-kali dilangsungkan, tetapi hal itu tidaklah boleh dijadikan ukuran untuk memandang kecil kekuatan lawan.

Memang, tatkala terjadi pemberontakan PKI/Muso pada tahun 1948, salah satu kekuatan mereka di kota Madiun pada waktu itu ialah lantaran pimpinan kesatuan tentara setempat berada di tangan perwira-perwira yang berhaluan komunis.

Sekarang, 17 tahun kemudian, pimpinan dan kesatuan tentara di Madiun boleh dikatakan anti-komunis, sehingga keadaan itu  merupakan faktor yang dapat memberikan sedikit kelegaan.

Walaupun begitu, para tahanan politik sudah siap-siap juga dengan bungkusan-bungkusan kecil berisi pakaian yang diperlukan.

Sebab, kalau keadaan memaksa, tentulah akan lebih safe apabila kami menyingkir dari tempat tersebut, walaupun dekat-dekat di dalam kota.

Masih terngiang-ngiang di telinga kami cerita-cerita yang mengatakan, bahwa ketika pemberontakan PKI tahun 1948 itu, penjara di Jl. Wilis itu mereka jadikan sebagai tempat tahanan-tahanan mereka, yang akhirnya mereka “bereskan”.

“Coba kita setel stasiun radio Jakarta kembali,” demikian ujar Subadio, setelah habis sembahyang magrib. “Biasanya jam 7 ada siaran warta berita.”