Penulis
Intisari-Online.com – Rumah penjara yang terletak di Jl. Wilis, dipinggir bengawan Madiun di kota Madiun adalah suatu penjara kecil dimana “disimpan” tahanan-tahanan politik di zaman rezim Sukarno.
Penghuninya hanya terdiri dari 9 orang saja, yaitu sdr. Mohammad Rum, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito, Subadio Sastrosatomo, Mochtar Lubis, K.H. Isa Anshary, E.Z. Muttaqien, Muchtar Gazali, dan penulis kenang-kenangan ini.
Hari Jumat, tanggal 1 Oktober 1965, kira-kira jam 1 siang para tahanan sedang istirahat di kamar masing-masing.
“Ada kup di Jakarta. Saya dengar sepintas lalu dari siaran warta berita radio Malaysia,” demikian Muchtar Gazali datang berlari-lari menyampaikan berita tersebut ke kamar kami masing-masing.
Dengan segera kami menyetel pesawat radio di kamar masing-masing, diputar ke garis gelombang radio Jakarta.
Akhirnya, terdengar pengumuman-pengumuman yang ditandatangani eks. Letkol.
Untung mengenai tindakan-tindakan G-30-S itu, yang kemudian disusul dengan pengumuman-pengumuman tentang susunan nama anggota-anggota Dewan Revolusi ciptaan G-30-S tersebut.
Sudah menjadi satu kebiasaan, apabila terdengar sesuatu kejadian atau berita penting, para tahanan terus berkumpul.
Kami yang 9 orang itu segera berkumpul di kamar Agung. Kami mencoba menilai dan membuat analisa mengenai peristiwa dan situasi baru itu.
Pertanyaan yang menonjol pada saat itu ialah: Apakah situasi baru itu akan membawa akibat baik atau buruk untuk negara pada umumnya dan untuk kami sebagai tahanan-tahanan politik pada khususnya? Bahan-bahan untuk menilainya sangat kurang.
“Siapa ex. Letkol Untung? Masuk dalam kesatuan manakah dia, dan bagaimana orientasi politiknya? Siapa ex. Brigjen Supardjo dan nama-nama lainnya yang diumumkan sebagai pimpinan Dewan Revolusi itu?”
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang timbul ketika itu. Tidak seorang juga di antara para tahanan yang mengenal pribadi dan riyawat hidup nama-nama yang disebutkan itu.
Padahal pengetahuan tentang soal itu merupakan faktor yang penting untuk membuat suatu evaluasi yang tepat.
Kami mencoba meninjau persoalan itu dari susunan dan nama-nama anggota Dewan Revolusi yang disiarkan itu.
Sebagian kami ketahui sekadar yang perlu tentang riwayat hidup masing-masing, orientasi politiknya, peranannya dalam sejarah revolusi, dll.
Perimbangan susunan anggotanya jelas condong kepada lairan kiri. Akhirnya kami menarik kesimpulan: kup itu pasti dilakukan oleh kaum komunis.
Apalagi gejalagejala, kegiatan-kegiatan, dan perkembangan situasi politik sebelum peristiwa itu memperkuat kesimpulan yang demikian.
Sejak dari waktu itu sampai sore, kami sibuk menyetel radio, menghubungkannya dengan stasiun berbagai-bagai radio, baik di luar maupun di dalam negeri.
Di samping itu kami menghubungi pimpinan RTP (Rumah Tahanan Perwira, nama yang dipakai bagi penjara tersebut), yang pada waktu itu diwakili oleh Letnan Subandio, sebab komandannya sendiri Kapten Sumarjo, pada saat itu sedang berada di Jakarta untuk keperluan tugas.
Dengar Letnan Subandio, yang segera muncul di tempat kami itu kami membicarakan tentang tindakan-tindakan preventif yang perlu dilakukan, terutama mengenai pengamanan.
Demikian juga tindakan-tindakan selanjutnya apabila situasi bertambah gawat.
Dari stasiun radio Yogyakarta dan Solo terdengar siaran-siaran yang menyokong gerakan kaum pemberontak.
Rupanya kedua stasiun radio itu sudah dikuasai oleh pengikut-pengikut G-30-S. Bagaimana halnya dengan stasiun radio Madiun dan situasi di kota itu pada umumnya?
Ketika salah seorang para tahanan melihat-lihat ke depan penjara, maka disekitarnya kelihatan kesibukan-kesibukan.
Hanya lebih kurang 300 meter di Jln. Wilis itu juga ke arah barat terletak markas PKI kotapraja Madiun.
Banyak kelihatan pemuda-pemuda berkumpul di sekitar markas itu, sampai ke pinggir bengawan Madiun yang terletak di depan kantor PKI tersebut. Mereka terang adalah anggota-anggota Pemuda Rakyat.
Setelah matahari terbenam, kelihatan di sepanjang Jl. Wilis itu kesatuan-kesatuan CPM mengadakan patroli.
Tatkala petugas-petugas CPM kabarnya menanyakan kepada anggota-anggota Pemuda Rakyat itu, untuk keperluan apa mereka berkumpul-kumpul, diperoleh jawaban bahwa mereka mendapat “info”, bahwa kantor PKI akan diserbu oleh pasukan pemuda-pemuda dari luar kota, yang sedang dalam perjalanan menuju kota Madiun.
Lihatlah, bagaimana lihainya gembong-gembong PKI menciptakan satu psywar dengan “memutarbalikkan” keadaan yang sebenarnya.
Tetapi, alat-alat negara lebih lihai dan tidak dapat dikelabui. Akhirnya konsentrasi Pemuda-pemuda Rakyat itu dibubarkan oleh CPM.
Wakil Komandan RTP sudah mengakan kontak dan hubungan dengan instansi-instansi yang berwenang, terutama mengenai keamanan.
Sore itu juga penjagaan di depan rumah penjara itu diperkuat dari yang biasa. Pada malam harinya terdengarlah pidato-pidato Komandan resimen Madiun, Letkol Willy Sudjono, yang menyatakan dengan sikap yang tegas akan menghancurkan setiap tindakan yang menyokong atau berpihak kepada kaum pemberontak.
Dalam pada itu, info-info yang sampai kepada kami menggambarkan bahwa tentara setempat sudah mengatur persiapan-persiapan pengamanan yang diperlukan.
Bahkan dikabarkan bahwa pasukan panser dari Malang malam itu juga sudah masuk kota Madiun.
Keadaan dan posisi kami sebagai orang tahanan tidak dapat berbuat secara leluasa. Kami berada dalam posisi yang sulit.
Asosiasi pemikiran selalu teringat kepada peristiwa pemberontakan PKI/Muso yang terjadi di kota Madiun pada tahun 1948.
Timbul pertanyaan: Apakah kaum pemberontak tidak merencanakan kota Madiun sebagai salah satu basis mereka, atau sekurang-kurangnya menjadi terugval basis?
Jarak antara Madiun dengan Solo – di mana stasiun radionya sudah dikuasai oleh kaum pemberontak – hanya lebih kurang 100 km.
Andaikata kekuatan-kekuatan kaum pemberontak sampai merembes ke daerah Madiun, maka sudah pasti penjara tempat kami ditahan itu akan menjadi salah satu sasaran dan kami akan “konyol” begitu saja.
Walaupun kami mengetahui bahwa pada waktu yang akhir-akhir ini kota Madiun sudah berangsur-angsur juga menjadi daerah minum bagi PKI, terbukti dari kekalahan calon-calon PKI dalam pemilihan untuk jabatan Lurah, yang telah berkali-kali dilangsungkan, tetapi hal itu tidaklah boleh dijadikan ukuran untuk memandang kecil kekuatan lawan.
Memang, tatkala terjadi pemberontakan PKI/Muso pada tahun 1948, salah satu kekuatan mereka di kota Madiun pada waktu itu ialah lantaran pimpinan kesatuan tentara setempat berada di tangan perwira-perwira yang berhaluan komunis.
Sekarang, 17 tahun kemudian, pimpinan dan kesatuan tentara di Madiun boleh dikatakan anti-komunis, sehingga keadaan itu merupakan faktor yang dapat memberikan sedikit kelegaan.
Walaupun begitu, para tahanan politik sudah siap-siap juga dengan bungkusan-bungkusan kecil berisi pakaian yang diperlukan.
Sebab, kalau keadaan memaksa, tentulah akan lebih safe apabila kami menyingkir dari tempat tersebut, walaupun dekat-dekat di dalam kota.
Masih terngiang-ngiang di telinga kami cerita-cerita yang mengatakan, bahwa ketika pemberontakan PKI tahun 1948 itu, penjara di Jl. Wilis itu mereka jadikan sebagai tempat tahanan-tahanan mereka, yang akhirnya mereka “bereskan”.
“Coba kita setel stasiun radio Jakarta kembali,” demikian ujar Subadio, setelah habis sembahyang magrib. “Biasanya jam 7 ada siaran warta berita.”
Mulai dari jam 7 itu sampai setengah jam kemudian, radio Jakarta ternyata tidak ada di udara. Kami saling bertanya-tanya apa sebabnya? Mungkin keadaan di Jakarta semakin gawat.
Tetapi yagn sudah jelas dan pasti tidak adanya radio Jakarta di udara merupakan indikasi bahwa stasiun radio tersebut tidak dikuasai oleh kaum pemberontak lagi.
Sebab kalau masih berada di tangan mereka, tentulah akan mereka pergunakan untuk kepentingan siaran-siaran mereka sendiri.
Kami masih terus berkumpul mengikuti berita-berita. Akhirnya kira-kira jam 9 malam, terdengarlah pidato Pak Harto dari corong radio Jakarta, yang mengungkapkan dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi itu.
Dijelaskan, bahwa keadaan telah dapat dikuasai oleh alat-alat negara yang sah. Gambaran situasi sudah semakin jelas, situasi yang memberikan pengharapan.
Pada malam itu juga, Komandan RTP, Kapten Sumarjo, sudah sampai di Madiun dari Jakarta. Menurut dugaan kami, tentulah beliau membawa berita-berita yang lebih jelas, sebab beliau meninggalkan Jakarta pada tanggal 1 Oktober pagi-pagi dengan menumpang kereta api.
Tetapi, ternyata beliaupun tidak banyak mengetahui keadaan yang sebenarnya.
“Memang, saya melhat kesibukan-kesibukan pada pagi-pagi itu,” demikian ceritera Kapten Sumarjo. “Tentara-tentara ada yang dipusatkan di sekitar istana, dan ada pula yang ditempatkan di sekitar kantor RRI. Desas-desus yang terdengar ialah bahwa ada sesuatu gerakan yang sedang berlaku. Tetapi, tidak jelas siapa yang melakukannya dan terhadap siapa ditujukan.”
Setelah komandan RTP kembali di Madiun, dan walaupun keadaan baik di Jakarta maupun di tempat-tempat lain sudah mulai sepenuhnya dikuasai oleh ABRI, kami berpendapat sebaiknyalah kalau kami dipindahkan ke tempat lain.
Dengan persetujuan Komandan RTP kami memajukan permohonan kepada Kejaksaan Agung untuk dipindahkan dari Madiun.
Permohonan itu dibawa oleh seorang kurir yang ditugaskan oleh Komandan RTP. Permohonan tersebut kemudian diperkenankan oleh Kejaksaan Agung.
Pada tanggal 25 Oktober 1965, kami meninggalkan penjara Madiun, dipindahkan ke RTP Jakarta, setelah lebih kurang 3 tahun lamanya meringkuk di tempat yang bersejarah itu.
Tatkala kami meninggalkan rumah penjara yang terletak di tepi bengawan Madiun itu, beberapa orang tahanan-tahanan G-30-S sudah mulai masuk menggantikan tempat kami itu, untuk menunjukkan kebenaran ucapan seorang pahlawan, “Kemarin dia; hari ini saya; besok engkau.”
Satu kenang-kenangan yang tak mudah kami lupakan….
Artikel ini ditulis oleh M. Yunan Nasution, anggota DPR RI masa jabatan 1956–1960.
Ia masuk penjara Pada Masa pemerintahan Orde Lama,16 Januari 1962 dan di bebaskan 17 Mei 1966.
Ia di tangkap tanpa alasan yang jelas dan di masukkan ke penjara tanpa melalui proses Pengadilan.