Intisari-Online.com – Candi berukuran relatif kecil ini sejatinya memiliki lima arca. Namun yang tersisa cuma satu arca.
Itu pun dalam kondisi tanpa kepala. Sedihnya lagi, kondisi candinya juga tidak utuh lagi.
Keberadaan Candi Jago lagi-lagi terungkap berkat dua kitab kuno yang berisi catatan sejarah penting: Negarakertagama dan Pararaton.
Dari kitab itulah kemudian disimpulkan bahwa candi ini tuntas dibangun tahun 1268 M, bertepatan dengan meninggalnya Raja Wisnuwardhana.
(Baca juga:"Kekuasaan Majapahit di Nusantara itu Omong Kosong", Benarkah?)
Namun, Candi Jago baru resmi digunakan sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana pada 1280 M.
Saat itu bertepatan dengan upacara Sradha, upacara pelepasan roh dari dunia setelah 12 tahun meninggalnya sang raja.
Nama Candi Jago berasal dari kata “Jajaghu”. Candi berlokasi di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar 22 km dari Kota Malang.
Candi ini mula-mula didirikan atas perintah Raja Kertanegara untuk menghormati ayahandanya, Raja Wisnuwardhana.
Kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan menempatkan Arca Manjustri. Sekarang arca ini disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.214.
Di Candi Jago sebenarnya terdapat lima arca. Namun, empat arca di antaranya kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Satu-satunya arca yang masih tersisa di lokasi candi adalah Arca Amoghapaca. Arca ini berada di halaman candi. Amoghapaca adalah dewa tertinggi yang memiliki delapan tangan.
(Baca juga:Misteri Jam Raksasa di Candi Borobudur
Dalam Negarakertagama arca ini disebutkan sebagai perwujudan Raja Wisnuwardhana. Sayangnya, kepala arca utama di Candi Jago ini telah hilang.
Candi Jago tersusun atas bahan batu andesit serta memiliki dimensi panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan ini terdiri atas tiga tingkat teras.
Semakin ke atas terasnya semakin kecil sehingga menyisakan selasar untuk mengelilingi candi.
Kini kondisi Candi Jago sudah tidak utuh lagi. Menurut cerita, ketidakutuhan itu karena candi tersambar petir. Bagian yang masih tersisa hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi.
Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga.
Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui.
Dindingnya dihiasi relief yang dipahat secara rapi. Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel.
Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago seseorang mesti berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksina).
Di bagian bawah terdapat relief tantri (cerita binatang) yang bisa dibaca dengan berjalan berlawanan arah jarum jam (prasawiya) dari sudut barat laut.
Kisah yang diangkat adalah tentang seekor burung bangau dan dua ekor kura-kura yang mengandung pesan tentang seseorang yang menjadi korban akibat kesombongannya sendiri.
Relief kisah perjalanan Anglingdarma dapat dibaca dari sisi barat daya. Dari sudut timur laut dapat dibaca relief tentang Kunjakarna yang diutus oleh Dewa Wirawacana, untuk menyaksikan penyiksaan di neraka.
(Baca juga:Misteri Pilot Kapal Milik Makhluk Luar Angkasa, Benarkah Mirip Manusia?)
Dari teras kedua dapat dibaca relief Parthayajna yang diawali dengan peperangan Pandawa dan Kurawa. Naik ke teras ketiga, di dinding bawah dipahatkan cerita Arjuna Wiwaha yang dalam pewayangan dikenal dengan lakon Begawan Mintaraga atau Begawan Ciptaning.
Di teras yang sama, pahatan di bagian atas menggambarkan cerita peperangan antara Kresna dengan raksasa Kalayawana.