Perilaku Janggal Teroris: Dari Tak Mau Shalat di Masjid Buatan Pemerintah Hingga Menikah Tanpa Wali

Ade Sulaeman

Editor

Muhammad Sofyan Tsauri alias Abu Ayass, mantan teroris Aceh.
Muhammad Sofyan Tsauri alias Abu Ayass, mantan teroris Aceh.

Intisari-Online.com - Menjadi polisi dan berada di lingkungan kepolisian ternyata tidak menjamin seseorang tidak terpapar paham radikal.

Sofyan Tsauri menjadi polisi selama 13 tahun. Ayah dan kakaknya juga merupakan anggota Polri.

Namun, paham radikal perlahan masuk ke kepalanya dan mengubahnya menjadi teroris dan bergabung dengan Al Qaeda.

Sofyan mengatakan, doktrin radikal mulai memengaruhinya setelah melihat adanya ketidakpuasan terhadap pemerintah dan konflik yang terjadi di negara-negara Islam.

"Penyerangan instansi di Iran, konflik Afghanistan, itu menggerakkan nurani daya sehingga punya simpati pada penderitaan muslim," ujar Sofyan, saat hadir pada acara Rosi bertajuk #MelawanISIS yang ditayangkan KompasTV, Kamis (8/6/2017) malam.

Bahkan, Sofyan menganggap serangan di World Trade Center, New York, pada 11 September 2001 sebagai aksi yang mengagumkan, bukan kejam.

(Baca juga: Ali Imron: ‘Hanya Perlu 2 Jam Memprovokasi Seseorang Hingga Siap Bunuh Diri’)

(Baca juga: Sejarah Aksi Bom Bunuh Diri: Ada yang Jadi Pahlawan, Ada Pula yang Mengganggu Ketenteraman)

Menurut dia, Amerika pantas menerimanya karena menerapkan kebijakan yang tidak adil terhadap Islam.

Sofyan semakin mantap menjadi teroris setelah menyambangi Bagus Budi Pranoto alias Urwah dan Deni, dua terpidana teroris, di penjara.

Keduanya merupakan anak buah Noordin M Top, pelaku pengeboman Hotel JW Marriot dan serangkaian aksi lainnya.

Sofyan mendapatkan cerita bagaimana kelompok mereka memperjuangkan Islam dan melawan pihak-pihak yang dianggap toghut.

Interaksi itu menimbulkan kesan bagi Sofyan.

"Bahkan saya kunjungi mereka dengan baju seragam. Saya mendalami logika pikir mereka. Saya saat itu betul-betul kagumi cara pikir mereka dengan sifat kepahlawanan mereka," kata Sofyan.

Akhirnya, Sofyan bergabung dengan Al Qaeda dan diutus ke Aceh untuk melakukan pelatihan militer.

Di sana, Sofyan memberi pelatihan dasar militer dan menyuplai senjata untuk kelompok teroris.

Ia akhirnya ditangkap pada 2010 dan dihukum enam tahun penjara.

Bertobat di penjara

Saat di tahanan, Sofyan mencoba mengevaluasi aktivitasnya selama menjadi pemasok senjata untuk kelompok teroris.

Ia bertanya-tanya, apakah sudah benar jalan yang dia pilih? Apakah dibenarkan dalam syariat Islam?

Di penjara, Sofyan bergaul dengan sejumlah napi teroris. Ada sejumlah kebiasaan aneh dari mereka yang tak bisa diterima di nalar Sofyan.

Para napi tersebut, kata dia, tidak mau shalat di masjid yang dibangun pemerintah dan orang-orang di luar kelompoknya.

Kemudian, mereka juga tidak mau makan daging yang disembelih orang-orang selain kelompok mereka karena diragukan kehalalannya.

Tak hanya itu, banyak teroris yang menikah tanpa wali karena menganggap anggota mempelai wanita yang bukan bagian dari anggota kelompok teroris adalah murtad.

"Ini di luar kesadaran saya, pasti ada penyimpangan," kata Sofyan.

(Ambaranie Nadia Kemala Movanita)

Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Cerita Mantan Polisi yang Jadi Teroris Setelah Sambangi "Tangan Kanan" Noordin M Top”.

Artikel Terkait