Pantang menyerah
Kebiasaan Eman bermain sepak bola mulai bergeser. Saat makin dewasa, Eman bermain bola di lapangan besar.
Namun, saat masuk kuliah Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) 1945 dengan Jurusan Teknik Elektro pada tahun 2007, Eman mulai mengenal futsal.
Dia yang semula menjadi penyerang, kini menjadi kiper. Lagi-lagi, dia terus berlatih dengan otodidak.
“Kalau dulu Kang Jaja yang menjadi guru saya, sekarang dalam bermain futsal adalah teman-teman kuliah.”
“Saya juga sering belajar teknik cara orang bermain di TV juga video dan lainnya. Jadi kalau ada yang tanya, siapa pelatihnya, saya jawab video saja,” katanya sambil tergelak.
Tak puas dengan kategori bisa, Eman terus mengasah kemampuannya dengan mengikuti acara pertandingan pada tingkat kecamatan, kabupaten, hingga antar-kabupaten, mulai dari Kuningan, Sumedang, dan Cirebon.
Dia terus bertahan agar gawangnya tidak kebobolan dan menjadi juara. Kadang kalah, tetapi tak sedikit juga menang, terutama tingkat di kabupaten sendiri, Majalengka.
Tiap kali di tempat baru, tidak sedikit orang yang menilainya rendah dan kasihan, Eman selalu santai menanggapinya.
“Satu ketika saat turnamen sepak bola, pemain lawan mengasihani saya karena fisiknya. Saya diam saja, dan memberikan bukti nyata pada mereka. Saya bisa melakukan seperti mereka, seperti orang-orang normal. Saya sama dengan yang lain. Yang beda hanya fisik saja, tapi selebihnya sama,” ujarnya dengan tegas.
Dia menilai bentuk motivasi tertinggi adalah rasa percaya diri dan tidak pernah minder.
Dia menantang, meski disabilitas atau memiliki kekurangan, kemampuan bisa jauh melesat di atas kekurangan dan keterbatasan. (Muhamad Syahri Romdhon)
(Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul "Kisah Eman, Kiper Satu Kaki Terbaik Dunia: Diremehkan hingga Menangis Bukan Penghalang (2)")
Baca Juga : Penyanyi Era 70-an Titi Qadarsih Meninggal Dunia dalam Perjalanan Pulang ke Rumahnya
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR