Advertorial

Tahun Baru Islam: Mengapa Kalender Hijriyah Berbeda dengan Kalender Masehi?

Intisari Online
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com -Beragam cara dilakukan masyarakat Indonesia dalam rangka memperingati tahun baru Islam, 1 Muharram 1440 Hijriyah yang jatuh pada 11 September 2018.

Mulai dari pawai obor, karnaval kendaran hias, bahkan ada pula pawai lampion cantik.

Ya, tahun baru Islam memang nyaris selalu berbeda dengan tahun baru pada kalender Masehi (1 Januari).

Namun, tahukah Anda sejarah dari kedua kalender yang bersama dengan kalender China, digunakan oleh masyarakat Indonesia?

Baca Juga : Hidup Sendiri di Lautan Selama 133 Hari, Caranya Bertahan Hidup Sungguh Gila

Sistem penanggalan pada kalender Hijriah didasarkan pada perubahan fase Bulan, dari bulan penampakan hilal atau bulan sabit tipis ke hilal berikutnya.

Satu periode hilal sama dengan satu periode sinodis Bulan, lamanya 29,5306 hari.

Berbeda dari kalendar Masehi yang digunakan di seluruh dunia untuk kepentingan administrasi, kalender Bulan umumnya digunakan untuk keperluan ritual agama dan tradisi.

Kedua kalender, satu tahun sama-sama terdiri dari 12 bulan. Satu tahun Hijriah memiliki 12 periode sinodis Bulan atau 354,366 hari. Dibulatkan jadi 354 hari atau 355 hari untuk tahun kabisat.

Baca Juga : Ditagih Kembalikan 3.226 Barang Milik Negara, Begini Jawaban Roy Suryo Lewat Pengacaranya

Kalender Masehi didasarkan atas peredaran Bumi mengelilingi Matahari dari satu titik tertentu yang disebut solstis atau equinox kembali ke titik itu.

Lama perjalanan Bumi mengelilingi Matahari 365,2422 hari—disebut satu tahun tropis, dibulatkan menjadi 365 hari atau 366 hari untuk tahun kabisat.

Perbedaan jumlah hari dalam satu tahun Hijriah dan Masehi menyebabkan pelaksanaan ibadah Ramadhan, perayaan Idul Fitri, dan Idul Adha selalu maju 10-12 hari dari tahun sebelumnya.

Selisih 10 hari lebih maju terjadi jika tahun kalender Hijriah adalah tahun kabisat dan tahun Masehi-nya adalah tahun biasa atau tahun basit (pendek). Sedangkan selisih maju 12 hari terjadi jika tahun Hijriah-nya tahun biasa dan tahun Masehi-nya termasuk tahun kabisat.

Baca Juga : Pasukan Israel yang Perkasa Ternyata Pernah Dibikin Babak Belur Tentara Suriah dan Mesir

Sederhana

Menurut peneliti Observatorium Bosscha dan pengajar Sistem Kalender pada Program Pascasarjana Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (9/8), sistem penanggalan Bulan banyak dipakai karena konsisten dan teratur.

Fase Bulan terjadi berulang: bulan baru-bulan sabit muda-bulan separuh awal-bulan purnama-bulan separuh akhir-bulan sabit tua-bulan mati dan kembali ke bulan baru secara periodik.

”Perubahan wajah Bulan secara teratur di langit malam itu dicatat nenek moyang kita dan terciptalah penanggalan Bulan,” katanya.

Sistem penanggalan memakai Bulan sebagai acuan disebut penanggalan Bulan (lunar/qamariyah). Kalender Jepang juga menggunakan periodisitas penampakan Bulan.

Penanggalan yang menggunakan Matahari sebagai patokan, yaitu kalender Masehi atau kalender Kristiani atau penanggalan Matahari (Solar/Syamsiyah).

Sedangkan kalender China dan Yahudi memadukan sistem penanggalan Matahari dan Bulan secara bersama-sama atau menggunakan sistem penanggalan Matahari-Bulan (Luni-Solar).

Kalender Bulan lebih sederhana dibandingkan kalender Matahari. Sebelum ditetapkan sebagai kalender Hijriah, masyarakat Arab dan umat Islam di masa Nabi Muhammad telah menggunakan sistem ini, tetapi belum dibakukan.

Baru pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem penanggalan itu dibakukan. Titik awal yang dipakai adalah masa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, bertepatan dengan tahun 622 Masehi. Karena itu, tahun kalender Islam disebut tahun Hijriah.

Kalender Masehi

Kalender Masehi dikembangkan dari sistem kalender Julian pada masa Julius Caesar—tahun 45 sebelum Masehi.

Dalam kalender ini, satu tahun tepat 365,25 hari, dibulatkan menjadi 365 hari. Empat tahun sekali jumlah hari menjadi 366 hari—disebut tahun kabisat.

Namun, panjang satu tahun tropis sebenarnya adalah 365,2422 hari. Akibatnya, setiap 128 tahun kalender Julian maju satu hari dari seharusnya. Hal itu berakibat pada mundurnya waktu Paskah.

Sesuai ketentuan, Paskah jatuh hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama sesudah Matahari ada di titik vernal equinox—titik musim semi—pada 21 Maret.

Untuk mengatasi itu, titik musim semi harus dikembalikan agar tepat pada 21 Maret. Maka, perlu dilakukan pengurangan hari pada kalender Masehi. Pada 1582 dilakukanlah koreksi.

Dengan mengacu ke Konsili Nicaea yang menetapkan titik musim semi pada 21 Maret 325, maka untuk mengembalikan 21 Maret 1582 tepat pada titik musim semi, jumlah hari pada tahun itu harus dipangkas 10 hari.

Akibatnya, sesudah tanggal 4 Oktober 1582 langsung melompat ke tanggal 15 Oktober 1582. Artinya, tanggal 5-14 Oktober 1582 tidak pernah ada.

Koreksi juga dilakukan terhadap panjang satu tahun tropis kalender Julian. Perbaikan itu diajukan ahli fisika asal Naples, Aloysius Lilius, dengan menggunakan panjang satu periode tahun tropis adalah 365,2425 hari.

Perbaikan juga dilakukan pada tahun kabisat, yaitu tahun yang habis dibagi empat dan tahun yang habis dibagi 400. Tetapi, tahun yang habis dibagi 100 tidak disebut tahun kabisat.

Sistem ini diadopsi Paus Gregorius XIII. Karena itulah sistem penanggalan itu disebut sebagai sistem kalender Gregorian—yang kini paling banyak digunakan untuk kepentingan administrasi publik di seluruh dunia hingga kini.

Bisa disatukan

Guru Besar Riset Bidang Astronomi dan Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama, Thomas Djamaluddin mengatakan, sebuah sistem kalender akan bisa diterima publik jika memenuhi tiga faktor, yaitu kriteria yang digunakan dalam penanggalan, wilayah keberlakuan kalender, serta ada otoritas yang menetapkan kalender tersebut.

Di Indonesia, faktor wilayah sudah disepakati dan pihak yang berwenang adalah Kementerian Agama. Namun, kriteria awal bulan masih berbeda antara pendapat Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan pemerintah.

Muhammadiyah memakai kriteria wujudul hilal, NU menggunakan kriteria tinggi hilal minimal dua derajat di atas ufuk, sedangkan Kementerian Agama menggunakan kriteria MABIMS, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat, jarak Matahari dan Bulan minimal 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam.

”Metode hisab dan rukyat sebenarnya bisa digabungkan,” tegasnya. Dia mengusulkan Kriteria hisab-rukyat Indonesia, yaitu hilal dapat teramati jika ketinggian minimum hilal 4 derajat dan jarak minimal Bulan dari Matahari adalah 6,4 derajat.

Kriteria itu didapat berdasar data hisab dan rukyat Indonesia dan internasional yang dipadukan dengan pengamatan astronomi—selama ini hilal sulit diamati jika di bawah 4 derajat dan jaraknya terlalu dekat dengan Matahari.

Kriteria usulan itu sudah memasukkan kemungkinan cahaya hilal yang redup yang bisa kalah oleh hamburan sinar matahari di atmosfer bumi. (M Zaid Wahyudi)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kalender Bulan Vs Matahari".

Baca Juga : Rahasia Kenapa Hanya Brasil Negara Amerika Latin yang Berbahasa Portugis

Artikel Terkait