Intisari-Online.com – Tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional.
Apa dasarnya tanggal 17 Mei ditetapkan sebagai Hari Buku Nasional? Karena pada tanggal 17 Mei 1980 didirikan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Meski sekarang era digital, buku masih menjadi komoditi yang laku. Masyarakat dari beragam usia masih mendatangi toko buku dan membeli buku, meski tiap tahun rata-rata hanya ada 18 ribu judul buku yang dicetak.
Angka itu sangat jauh dibandingkan dengan Cina, yang berada di angka 140 ribu judul buku dicetak per-tahun. Gelaran Beijing Book Fair pun disebut-sebut sebagai yang terbesar se-Asia, serta menyaingi kiprah Frankfurt Book Fair yang digadang sebagai tertua di dunia.
Ironisnya, gaung Hari Buku Nasional tidak sebesar Hari Musik atau Hari Film Nasional. Padahal, angka minat baca di Indonesia masih sangat minim: 0,01 persen.
Data yang lebih mengenaskan, berdasarkan hasil kajian Most Littered Nation In the World 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.
Tidak wajib setor
Dengan kondisi seperti itu, maka upaya yang dilakukan oleh Raden Roro Hendarti (43) ini menjadi seperti cahaya lilin yang diharapkan akan menyinari angka minat baca yang rendah tadi.
Apa yang dilakukan Arti – begitu Raden Roro Hendarti dipanggil - merupakan sebuah terobosan dan pengaplikasian ATM dalam dunia bisnis: Amati, Tiru, Modifikasi.
Berbeda dengan pemberdayaan sampah yang bermuara pada Bank Sampah, Arti memberdayakan sampah untuk membangun budaya literasi di Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah.
Ia mengumpulkan sampah dari anak-anak yang menunggunya di tepi jalan desa, lalu memberi kesempatan kepada mereka untuk meminjam buku yang dibawa menggunakan motor roda tiga pemberian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Purbalingga.
Limbah Pustaka, begitu warga sekitar menjuluki motor roda tiga yang selalu dinanti-nanti itu.
Source | : | kompas.com,detik.com |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR