Utang Indonesia Terus Bertambah Hingga Mencapai Rp3.589 Triliun, Benarkah Masih Aman?

Ade Sulaeman

Penulis

Boleh Memiliki Utang, Asal ?
Boleh Memiliki Utang, Asal ?

Intisari-Online.com - Utang Pemerintah sampai dengan Februari 2017 adalah sebesar Rp3.589,12 triliun. Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, utang Pemerintah Pusat ini meningkat sebesar 1,13% atau secara neto meningkat Rp39,95 triliun.

(Ingin Beli Smartphone yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)

Kenaikan itu berasal dari kenaikan SBN neto Rp33,09 triliun dan bertambahnya pinjaman Rp6,86 triliun.

Penambahan utang neto pada 2017 sampai Februari mencapai Rp122,16 triliun yang berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp114,97 triliun dan bertambahnya pinjaman sebesar Rp7,19 triliun.

(Benarkah Utang Indonesia yang Mencapai Rp3.549 Triliun Masih Dalam Batas Normal?)

Meski jumlah utang terus menggunung, Ekonom SKHA Institute Eric Sugandi melihat rasio utang PDB masih di bawah 30%. Dengan demikian, nilai utang tersebut masih aman, tetapi harus diwaspadai tren rasio yang meningkat.

Tren naiknya rasio ini karena pemerintah berupaya kejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di antaranya dengan membangun infrastruktur yang butuh pembiayaan jangka panjang.

Sementara pembiayaan jangka pendek kebanyakan untuk pembiayaan defisit APBN lewat penerbitan SBN.

(Ini 17 Negara dengan Utang Pemerintah yang Paling Besar di Dunia)

“Kenaikan utang dalam bentuk SBN adalah untuk biayai defisit APBN, dan naik karena memang pemerintah pakai strategi front loading,” kata dia kepada Kontan, Senin (20/3).

Adapun ia mengatakan dengan kenaikan Fed Fund Rate, imbal hasil atau yield dari SBN akan cenderung naik sehingga beban utang SBN yang baru dan yang akan dikeluarkan akan naik.

Suku bunga utang jangka panjang dalam bentuk dolar AS juga bisa naik, tapi biasanya pinjaman multilateral atau bilateral bunganya cenderung lebih rendah dari suku bunga pasar, “Dan tidak serta merta naik akibat kenaikan Fed Fund Rate,” ucapnya

Ia melanjutkan, ada aspek politis yang diperhitungkan dalam pinjaman luar negeri bilateral dan multilateral, sehingga terms pinjamam cenderung relatif lebih lunak daripada pinjaman komersial.

Misalnya, pinjaman dari AS, China atau, Jepang yang juga menyertai aspek kepentingan geopolitis negara-negara tersebut.

“Misalnya untuk amankan akses ke sumber-sumber daya alam ke Indonesia atau masalah keamanan. Beda dengan pinjaman komersial b to b yang murni profit oriented,” ujarnya.

Meski demikian, menurut dia sebenarnya tidak ada batasan yang pasti mengenai rasio aman utang publik terhadap nominal PDB. Beberapa negara, menurut Eric seperti Jepang rasionya di atas 200% dan Amerika Serikat (AS) di atas 100%.

Ia menilai, rasio yang lebih besar dari 100% mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi suatu negara tidak cukup digunakan untuk membayar seluruh utang sekaligus pada suatu waktu.

“Utang pemerintah Jepang mayoritas kepada masyarakat Jepang sendiri sehingga relatif aman terhadap tekanan eksternal, berbeda dengan utang pemerintah kita yang share utang luar negerinya masih signifikan,” ujarnya.

(Ghina Ghaliya Quddus)

Artikel Terkait