“Saya melihat anak terjatuh. Di bawah hujan peluru, saya mendatanginya dan mengambil gambarnya,” kata Nzima seperti tertulis dalam brosur atau di museum.
Baca juga: Tak Hanya di Indonesia, Kerusuhan Sepakbola yang Berujung Kematian Juga Terjadi Afrika Selatan
Polisi akhirnya mengejar Makhubo dan Nzima. Mereka kemudian lari menyembunyikan diri. Ibu Makhubo kepada Truth and Reconciliation Commision (lembaga yang dibentuk setelah apartheid runtuh), mengatakan bahwa anaknya pergi ke Nigeria.
Banyak kisah kepedihan dan luka menganga akibat kekerasan pada 16 Juni 1976 itu. Museum Hector Pieterson pun menjadi penanda kekejaman masa lalu. Selain setiap tahun menjadi lokasi perayaan Hari Pemuda, tempat itu juga banyak dikunjungi orang dari berbagai negara.
Sepanjang Juni sampai Juli, banyak pelajar bekunjung ke museum itu. Foto Pieterson digendong Mbuyisa paling sering dipelototi dan menimbulkan kesedihan serta haru. Tak jarang pengunjung tampak menahan tangis.
Begitu juga orang-orang dewasa yang menyaksikannya. Darah Peiterson dan ratusan anak sekolah lain pada 1976 seolah masih mengalir dan terasa anyirnya.
Museum itu bagian dari sejarah penting Afsel dan juga inspirasi besar buat kulit hitam, sekaligus pelajaran berharga bagi kemanusiaan. (Hery Prasetyo)
Baca juga: Protes Kekerasan Perempuan, Tiga Ribuan Celana Dalam Tergantung di Jalanan Afrika Selatan
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR