Advertorial
Intisari-Online.com – Mengunjungi rumah lama Mandela sama saja mengunjungi dua sejarah dramatis dalam perjuangan Afrika Selatan melawan apartheid. Sebab, sekitar 300 m dari rumah Mandela, terdapat museum Hector Pieterson.
Pieterson hanya bocah 13 tahun. Tapi, bocah yang tinggal tak jauh dari rumah Mandela itu juga menjadi ikon perlawanan terhadap apartheid.
Ia ditembak polisi di antara Jalan Moema dan Vilakazi dalam sebuah protes pelajar. Kabar kematiannya membuat kemarahan dunia dan menggetarkan jiwa Mandela yang mendengarnya di penjara Robben Island.
Peristiwa itu terjadi pada 16 Juni 1976 dan hingga kini tanggal dan bulan itu diperingati sebagai Hari Pemuda.
Baca juga: Nelson Mandela, Pemimpin Inspiratif Sejuta Nama Hingga Disebut Pembuat Onar Oleh Ayahnya
Dalam suratnya dari penjara Robben Island menanggapi insiden 16 Juni itu, Mandela menulis, “... Bersama kita menghargai mereka yang gugur oleh senapan dan tali gantung. Kita memberi penghormatan kepada Anda semua - baik yang hidup, terluka, dan mereka yang gugur - sebab kalian telah berani bangkit melawan kekuatan tirani...”
Pemerintah Afsel membangun museum dan monumen Hector Pieterson tak jauh dari rumah Mandela pada 2002. Museum itu juga selalu ramai dikunjungi wisatawan, terutama oleh pelajar. Banyak agenda tur sekolah-sekolah di Afsel yang mengunjungi museum ini dan rumah Mandela.
Siapakah Pieterson, hingga dianggap salah satu pahlawan anti-Apartheid dan kematiannya membuat Mandela terpukul?
Hari itu, 16 Juni 1976, sekitar 10.000 pelajar berkumpul di Jalan Moema dan Vilakazi, Soweto. Mereka memprotes penggunaan bahasa Afrikaans yang dasarnya bahasa Belanda di sekolah mereka. Aksi damai menjadi kerusuhan saat polisi tiba. Pelajar melempari mereka dengan batu. Sementara, polisi membalas dengan tembakan gas air mata.
Baca juga: Tak Hanya Suriname Jejak Peradaban dan Keturunan Indonesia juga Sampai ke Afrika Selatan
Tak lama kemudian, polisi dengan membabi-buta menembakkan peluru tajam. Sebanyak 500 siswa yang umurnya 12-18 tahun tewas, ratusan lain terluka.
Hector Pieterson (saat itu 13 tahun), menjadi korban tewas pertama. Ada pendapat lain bahwa yang tertembak mati pertama adalah Hastings Ndlou, hanya dia tak sempat diambil gambarnya oleh wartawan. Pieterson pun dijadikan ikon perlawanan pemuda kepada apartheid.
Rekan Pieterson, Mbuyisa Makhubo (saat itu 18 tahun), langsung menggendong Pieterson. Dia didampingi kakak perempuan Pieterson, Antoinette (saat itu 17 tahun). Mereka bersama melarikan Pieterson ke rumah sakit tapi ia mengembuskan napas terakhir. Aksi itu dipotret oleh wartawan Sam Nzima. Foto itu kini dibesarkan dan menjadi salah satu koleksi Museum Hector Pieterson.
“Saya melihat anak terjatuh. Di bawah hujan peluru, saya mendatanginya dan mengambil gambarnya,” kata Nzima seperti tertulis dalam brosur atau di museum.
Baca juga: Tak Hanya di Indonesia, Kerusuhan Sepakbola yang Berujung Kematian Juga Terjadi Afrika Selatan
Polisi akhirnya mengejar Makhubo dan Nzima. Mereka kemudian lari menyembunyikan diri. Ibu Makhubo kepada Truth and Reconciliation Commision (lembaga yang dibentuk setelah apartheid runtuh), mengatakan bahwa anaknya pergi ke Nigeria.
Banyak kisah kepedihan dan luka menganga akibat kekerasan pada 16 Juni 1976 itu. Museum Hector Pieterson pun menjadi penanda kekejaman masa lalu. Selain setiap tahun menjadi lokasi perayaan Hari Pemuda, tempat itu juga banyak dikunjungi orang dari berbagai negara.
Sepanjang Juni sampai Juli, banyak pelajar bekunjung ke museum itu. Foto Pieterson digendong Mbuyisa paling sering dipelototi dan menimbulkan kesedihan serta haru. Tak jarang pengunjung tampak menahan tangis.
Begitu juga orang-orang dewasa yang menyaksikannya. Darah Peiterson dan ratusan anak sekolah lain pada 1976 seolah masih mengalir dan terasa anyirnya.
Museum itu bagian dari sejarah penting Afsel dan juga inspirasi besar buat kulit hitam, sekaligus pelajaran berharga bagi kemanusiaan. (Hery Prasetyo)
Baca juga: Protes Kekerasan Perempuan, Tiga Ribuan Celana Dalam Tergantung di Jalanan Afrika Selatan