Intisari-Online.com -Jika sekarang orang mengenal Taman Ismail Marzuki sebagai gudangnya seniman dan budayawan Jakarta, maka dulu posisi itu ditempati oleh Pasar Senen. Benar, Pasar Senen yang baru saja mengalami kebakaran hebat tadi malam itu.
(Pasar Senen Kebakaran: Waktu Pasar Senen Masih Disebut Vinckepasser)
Lebih dari itu, seturut kisah yang dituturkan Ajip Rosidi di Intisari edisi Februari 1968, Pasar Senen dan tempat-tempat di sekitarnya, terutama kawasan Kramat Bunder, adalah tempat yang menyenangkan dan penuh cerita.
Dahulu Ajip sering masuk ke pasar sayur di Pasar Senen tapi bukan untuk beli sayur melainkan beli buku kiloan. Dahulu, tulis Ajib, ada tempat-tempat penjualan kertas-kertas lama dan kadang-kadang di situ terdapat buku-buku berharga. Ia pernah menemukan buku karangan (Honore de) Balzac dan (Leo) Tolstoy yang dibeli menurut beratnya.
“Karena ukuran buku-buku itu kecil-kecilan, sehingga sulit digunakan buat bungkus, harganya per kg lebih murah daripada kertas koran bekas!” tulis Ajip.
Dulu di Senen juga ada tempat yang oleh Ajip disebut sebagai “pulau”. Selain berfungsi sebagai lokasi toko-toko, tempat itu disebutnya sebagai pusat keramaian Senen. Ada toko kelontong, ada rumah makan, ada toko obat, ada juga toko buku.
“Saya mengira, untuk sebagian besar seniman dan budayawan Indonesia yang pernah mengembara di Jakarta sekitar tahun limapuluhan, Kramat Bunder akan menjadi tempat yang mengesankan,” lanjut Ajip.
Beberapa tempat di sana, tutur Ajip, pernah menjadi tempat-tempat pertemuan tak resmi seniman-seniman dan budayawan-budayawan Indonesia. Mulai dari calon-calon seniman yang baru belajar sampai seniman-seniman dan budayawan terkemukan yang telah mendapat pengakuan nasional.
Ia juga pernah mendengar bahwa sastrawan legendaris Chairil Anwar selagi hidup sering nongkrong dan “bermukim” di sana. Oleh sebab itu, pada 1957, Rivai Apin yang waktu itu menjadi DPRD Kota Praja Jakarta Raya (sekarang DPRD DKI Jakarta) mengusulkan supaya di tengah Medan Senen didirikan Monumen Chairil. Ajip sendiri tidak tahu di mana persisnya tempat Chairil dan kawan-kawannya biasa nongkrong.
“Yang jelas, mencari Rivai APin lebih mudah di los tempat jahitan kalau malam hari dibanding di mana pun jua di siang hari, bahkan lebih mudah menemuinya di rumahnya di Jl. Malabar dan di kantornya di Jl. Gunung Sahari,” tulis Ajip lagi. Rivai Apin adalah sastrawan angkatan ’45, bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani menulis “Tiga Menguak Takdir”.
Selain Rivai Apin, di los jahitan yang kalau malam hari ramai menjadi tempat orang-orang dipijit dalam sinar yang remang, Ajip juga kerap menjumpai Alex Wetik (pelukis), A. Wakidjan (pelukis), dan seniman lainnya.
Ajip sendiri mulai masuk ke lingkungan Senen pada 1953 dibawa oleh Soekanto S.A (penulis cerita anak legendaris)., S.M. Ardan (sastrawan dan tokoh betawi), Sjuman Djaya (sutradara), Sobron Aidit (penulis penyair), dan lain-lainnya. Mereka biasa nongkrong di area yang sekarang menjadi menjadi Bioskop Kramat.
Tak hanya para seniman dan penulis, di Senen juga tempat berkumpul para pemain film, sutradara, dan orang-orang panggung. Mereka kerap nongkrong di sebuah depot yang tak jauh dari bioskop itu. “Di situ bisa pula memesan bir dan makanan-makanan lainnya. Tak lama kemudian depot itu ditutup, diubah menjadi foto studio karena terlalu banyak dibon oleh seniman,” tulis Ajip lagi.
Lebih lanjut, Ajip menyebut peran Senen dalam perkembangan kebudayaan Indonesia bisa disandingkan dengan Quartair Latin di Montparnasse, Paris, tempat berkumpul para seniman dan budayawan Prancis. Di Senen pun para seniman tidak hanya berbicara. Dalam remang-remang lampu dan di balik kepul asap kopi yang masih panas ternyata ada juga yang bekerja, ada juga yang berkarya.
Salah satu contohnya adalah Misbah Jusa Biran. Ia pernah menulis skenario film di sana. Misbah bahkan pernah secara tetap mengisi salah satu kolom di majalah Aneka tentang kehidupan sehari-hari para seniman di Senen.