Intisari-Online.com - Sudah ketawa hari ini? Jika belum, tak apalah asalkan Anda sudah tersenyum.
Jika tersenyum pun belum, tampaknya Anda perlu sering-sering berlatih menarik otot bibir ke arah dua sisi. Kata para ahli humor, tertawa dan tersenyum membuat orang lebih bahagia.
Tentu bukan sebuah kebetulan belaka bahwa tradisi humor ada di setiap kelompok manusia.
Dari deretan humor Indonesia asli kita mengenal guyonan Madura, plesetan Yogya, lelucon antaretnis, parodi daripada Orde Baru, hingga senda gurau ala Nahdlatul Ulama (NU).
Dari beberapa misal itu, tampaknya khazanah humor NU-lah yang paling tak terkenal.
Maklum, meskipun perbendaharaannya sangat kaya, tapi lelucon NU sering kali hanya dipahami oleh mereka yang mengerti idiom-idiom pesantren.
Sedikit mirip dengan anekdot Madura, humor NU juga sering mengandung unsur keluguan dunia pesantren yang sederhana, polos dan apa adanya.
“Umumnya warga NU ‘kan orang desa. Jadi hidup mereka santai. Kalau ketemu, ya guyon,” ujar Gus Mus (KH Mustofa Bisri), pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang.
Berikut salah satu keluguan mereka.
Alkisah, di sebuah pesantren di Jawa Timur, diadakan seminar dengan pembicara KH Sahal Mahfudz dari Pati (sekarang Rais Aam Syuriah PBNU). Bagi para santri yang setiap hari membaca kitab kuning (literatur klasik), kata “seminar” masih sangat asing di telinga. Maklum, itu merupakan seminar pertama bagi mereka.
Selesai seminar, Kyai Sahal segera undur diri karena sebuah keperluan. Karena suatu halangan, sang kyai tuan rumah tidak ikut menghadiri seminar.
Ketika pulang, ia bertaya kepada santrinya, “Bagaimana seminarnya?” Dengan wajah tak berdosa, santri tersebut menjawab, “Seminarnya sudah pulang, Kyai! Sudah saya antarkan.”
Itu contoh keluguan santri, bagaimana dengan “kasta” kyai? Rupanya, mereka pun tak kalah konyolnya. Kita simak cerita Akhmad Fikri, penulis buku TawaShow di Pesantren (Penerbit LKiS, Yogyakarta).
Suatu kali, Gus Dur berkunjung ke sebuah pesantren di Probolinggo, Jawa Timur. Ia datang bersama AS Hikam.
Kisah ini terjadi sebelum Gus Dur menjadi presiden. Selesai ceramah, Gus Dur pamit kepada kyai tuan rumah untuk meneruskan kunjungan ke pesantren berikutnya. Sambil pamit, Gus Dur bilang, “Aku titip Hikam di sini.”
Waktu itu AS Hikam belum kondang. Sang kyai menyangka “Hikam” adalah nama sebuah kitab. Ia pun mengiyakan begitu saja pesan Gus Dur.
Begitu Gus Dur pergi, sang kyai segera mencari “kitab” itu.
Dicari-cari tak juga ketemu, akhirnya ia mengerahkan para santri untuk mencari di mana gerangan kitab itu diletakkan. Kekonyolan ini baru berakhir setelah ia diberi tahu oleh seorang santri yang kebetulan telah mengenal nama AS Hikam. “Oh… jadi Hikam itu nama orang.”
Masih tentang keluguan warga NU, kisah ini terjadi di gedung PBNU di Jln. Kramat Jakarta.
Serombongan pengajian ibu-ibu, mencoba lift untuk naik ke lantai atas. Saat hendak masuk lift, mereka melepas sandal seperti hendak masuk ke ruangan yang berlantai suci.
Ketika lift sampai di atas dan pintu terbuka, mereka panik, “Lho, sandalnya di mana?”