Advertorial
Intisari-Online.com- Siapa yang tak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)?
Ya, dialah sastrawan Indonesia yang terkenal mencurahkan pemikirannya di bawah bendera humanisme.
Bumi Manusia, salah satu karya Pram (begitu dia akrab disapa) kini tengah digarap oleh Hanung Bramantyo untuk menjadi film.
Figur Minke, tokoh utama dari karya yang pernah dilarang di Indonesia ini akan diperankan oleh aktor Iqbal Ramadhan.
Baca Juga:Ketika Pak Harto Dikunjungi Mahasiswa Setahun Setelah Dirinya Lengser
Namun terlepas dari segala tetek bengek persoalan teknis perfilman.
Termasuk pembicaraan yang tengah ramai mengenai cocok tidaknya si aktor memerankan tokoh utama, sebenarnya sosok seperti apa Minke ini?
Minke adalah seorang pribumi asli dari keluarga priayi yang mendapat pendidikan Eropa HBS (Sekolah Menengah Belanda) Surabaya.
Mengambil latar belakang era kolonialisme, Minke digambarkan sebagai pemberontak.
Baca Juga:Misteri Gaun Pengantin Putri Diana, Begitu Dilihat Sketsanya Langsung Dihancurkan
Tak hanya terhadap kolonialisme itu sendiri, Minke juga berontak terhadap feodalisme, warisan bangsa yang dianggap kaki tangan kolonial.
Minke yang secara warisan turun-temurun adalah calon bupati pun menolak mentah-mentah menggantikan kedudukan ayahnya kelak.
Melalui pendidikan dan pergaulan dengan orang-orang yang berpandangan liberal dan rasional, Minke berusaha mengatasi masalah bangsa yang bersumber dari tradisi ini.
Latar belakang keturunan Jawa tradisional ini bertentangan dengan latar belakang pendidikan Eropa yang liberal pada diri Minke.
Baca Juga:20 Tahun Reformasi: Inilah Kisah-kisah yang Tak Diberitakan Di Balik Suasana Gedung MPR/DPR
Inilah yang menjadikan Minke sosok yang kontradiktif karena berdiri pada dua kebudayaan, tentu saja ini membuatnya teramat risau.
Seperti yang dikatakan Koh Young Hun dalam bukunya Pramoedya Menggugat (2011), jiwa Minke sangat tersiksa ketika dia hendak melepaskan diri dari adat bangsanya.
Terlebih, ibu kandungnya selalu mengingatkan supaya Minke tidak lupa kepada adat istiadat dan keyakinan diri sebagai priayi terhormat.
Desakan ini membuat Minke berhadapan dengan konflik.
Baca Juga:Putri Diana Pakai Lingeri Seksi Demi Pertahankan Cinta, Reaksi Charles Bikin Emosi
Karena pendidikan sistem Barat telah menyadarkannya bahwa tradisi budaya bangsanya itu adalah penghalang kemajuan.
Kenyataan ini menunjukkan konlik Minke dalam persimpangan jati diri yang berdarah daging Jawa dan cita-cita tinggi beorientasikan ilmu pengetahuan Barat.
Kritik Terhadap Budi Utomo
Lebih jauh, dalam tetralogi Bumi Manusia atau tetralogi Pulau Buru ini, nampaknya Pram membuat pembuat membuat penafsiran baru tentang sejarah nasional Indonesia.
Baca Juga:Begini Gambaran Garis Tangan Orang yang akan Kaya Raya di Masa Depannya. Coba Cek Milik Anda!
Dia mengesampingkan peran Budi Utomo (1908) sebagai pelopor kebangkitan nasional.
Hal itu karena Budi Utomo adalah kesinambungan pemerintahan kolonial yang menguntungkan penjajah daripada kepentingan kaum pribumi terjajah.
Terlebih karena Budi Utomo adalah organisasi priayi di Jawa, dan dia tidak setuju bahwa kesadaran nasional dimulai dari mereka.
Sebagai gantinya, Pram dalam novelnya menunjukkan Syarikat Priayi (1906) dan Syarikat Dagang Islam (1909) yangjuga dirintis oleh Minke sebagai organisasi modern pribumi bercorak nasional.
Baca Juga:Ditinggal Mati Orangtua, Kakak Beradik di Bali Ini Tidur Hanya Beralas Tikar
Tak seperti Budi Utomo yang hanya beranggotakan orang-orang Jawa dan Madura serta berbahasa Jawa dan Belanda.
Syarikat Priayi tidak membatasi suku keanggotaannya dan menggunakan bahasa Melayu (induk bahasa Indonesia).
Ini membuktikan bahwa dengan menggunakan segala kekritisan nalarnya, Minke yang berusaha menegakkan jati diri sebagai Jawa telah menjadi pemberontak untuk merintis gerakan nasional yang memihak rakyat pribumi.
Baca Juga:Ini Definisi 'Terorisme' yang Akhirnya Disepakati dalam RUU Antiterorisme