Advertorial
Intisari-Online.com - Dalam Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda (1960-1963), kapal-kapal selam Angkatan Laut RI (ALRI/TNI AL) banyak melakukan misi rahasia.
Selain melancarkan misi rahasia berupa pengintaian guna memperoleh keunggulan militer di lautan, kapal-kapal selam TNI AL juga melancarkan misi infiltrasi rahasia untuk mendaratkan pasukan di bumi Irian.
Untuk misi khusus mendaratkan pasukan secara rahasia menggunakan kapal selam, TNI AL menggelar operasi rahasia bersandi Operasi Lumba-lumba.
Kapal selam yang dikerahkan antara lain RI Candrasa dikomandani oleh Mayor (P) Mardiono, RI Nagarangsang dikomandani Mayor (P) Agus Subroto, dan RI Trisula di bawah komando Mayor (P) Teddy Asikin.
Tujuan operasi rahasia itu adalah mendaratkan tim khusus satuan RPKAD ke Teluk Tanah Merah, suatu pantai tersembunyi di dekat Kotabaru, Irian Barat.
Operasi yang akan dilaksanakan oleh pasukan terlatih itu merupakan tahap kedua operasi amfibi sesudah dilaksanakannya operasi tahap pengintaian.
Tugas pasukan khusus yang juga sudah mendapat pelatihan pendaratan amfibi adalah melaksanakan sabotase terhadap objek-objek vital untuk melumpuhkan pertahanan Belanda agar sejumlah besar pasukan dalam Operasi Jayawijaya tidak menemui banyak perlawanan.
Pasukan RPKAD juga mempersiapkan rakyat setempat untuk berlatih militer dan perang gerilya agar bisa secara aktif mengangkat senjata melawan pasukan Belanda.
Sesuai rencana, operasi tim khusus RPKAD untuk tugas sabotase didaratkan menggunakan RI Nagarangsang sedangkan tim khusus RPKAD untuk tugas pemerintahan sipil diangkut menggunakan RI Candrasa.
Selama masa persiapan infiltrasi, semua personel pasukan telah melakukan latihan mengeluarkan serta mengembangkan perahu dari kapal selam.
Baca juga:Operasi Cakra, Misi Senyap Kapal Selam Indonesia Saat Merebut Papua
Jumlah pasukan yang dikerahkan personel RPKAD dari tim-2 Detasemen Pasukan Chusus (DPC) di bawah pimpinan Lettu Dolf Latumahina.
Pasukan diberangkatkan menggunakan tiga kapal selam. Setiap kapal mengangkut 15 orang personel bersenjata lengkap.
Komandan pasukan RPKAD Lettu Dolf menumpang kapal RI Trisula yang dijadwalkan mendarat paling awal.
Untuk menjaga misi pendaratan pasukan dari serangan musuh, TNI AL juga mengerahkan dua kapal selam lainnya.
Dalam perjalanan menuju sasaran, rupanya AL Belanda yang melaksanakan patroli ketat dan terus menerus, sulit ditembus pertahanannya.
Konvoi kapal selam RI pun berhasil dideteksi oleh kapal-kapal perang Belanda.
Begitu memasuki Teluk Galvin yang memasuki perairan Irian Barat, kapal-kapal perang Belanda segera menghujani perairan menggunakan bom-bom laut.
Salah satu kapal selam (Nagarangsang) terkena ledakan bom, yang mengakibatkan kerusakan pada vertical stabilizer-nya.
Demi menyelamatkan kapal dan pasukan, kapal selam yang cedera itu pun terpaksa kembali ke pangkalan.
Meskipun Nagarangsang putar balik pulang ke pangkalan, RI Trisula dan RI Candrasa berusaha keras menembus pertahanan AL Belanda dan terus melanjutkan pelayaran menuju target.
Baca juga:AS- 1 Kennel, Rudal Terhebat yang Pernah Dimiliki AURI dan Pernah Bikin Kapal Induk Belanda Kabur
Ketika keduanya melakukan pengintaian untuk menilai keadaan pandangan sekitarnya ternyata terhalang oleh kabut dan sama sekali tidak terdeteksi adanya kapal perang musuh.
Berdasar perhitungan tidak adanya kapal perang musuh di permukaan, komandan RI Trisula berinisiatif untuk memunculkan kapal selam di permukaan.
Tapi di luar dugaan muncul kapal selam Belanda yang berlayar pada arah yang sama.
Belum hilang rasa kaget akibat berada pada posisi yang sejajar dengan kapal selam Belanda, tiba-tiba sebuah pesawat antikapal selam, Neptune, terbang melintas.
Manuver Neptune di atas RI Trisula yang bertujuan menakut-nakuti itu segera membuat RI Trisula menyelam kembali.
Kedua komandan kapal selam, Mayor Teddy dan Mayor Mardiono , menyadari upaya pendaratan pasukan di Teluk Tanah Merah sangat riskan akibat hadangan patroli kapal-kapal perang Belanda.
Dalam kondisi seperti itu, penentuan untuk meneruskan atau membatalkan misi pendaratan pasukan tergantung dari masing-masing komandan kapal selam.
Kesiapsiagaan kapal-kapal perang Belanda untuk menghadang upaya operasi pendaratan terbukti.
Begitu dua kapal selam memasuki perairan di kawasan Teluk Tanah Merah dan berusaha muncul di atas permukaan air, dari luar teluk telah dihadang kapal-kapal perang Belanda.
Dentuman suara meriam yang menembakkan peluru suar menggelegar disusul suasana sekitar dua kapal selam terang benderang.
Mengetahui perairan Teluk Tanah Merah telah dijaga ketat kapal-kapal perang Belanda, komandan RI Trisula memutuskan membatalkan operasi pendaratan pasukan.
Keputusan itu rupanya tidak diterima oleh Lettu Dolf dan kemudian mengajukan permintaan pendaratan ke Jayapura.
Dengan perhitungan pantai Jayapura telah mendapat penjagaan ketat, Mayor Teddy memutuskan membatalkan operasi pendaratan dan pulang ke pangkalan.
Tapi tidak demikian dengan RI Candrasa. Setelah tahap pertama gagal mendaratkan pasukan karena berhasil dipergoki pesawat Neptune, kapal ini terus berusaha keras mendaratkan pasukan keesokan harinya.
Pada operasi pendaratan kedua, RI Candrasa kembali mendaratkan pasukan di lokasi yang sama dengan perhitungan patroli kapal perang Belanda dipastikan tidak berjaga di tempat yang sama.
Taktik yang diterapkan oleh komandan kapal selam Mayor Mardiono itu ternyata berhasil mendaratkan ke-15 personel RPKAD ke bumi Irian Barat.
Seperti ditulis dalam buku Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa (Atmadji Sumarkidjo), atas keberhasilan melalui operasi pendaratan yang gigih dan penuh mara bahaya itu negara pun memberikan apresiasi.
Sekitar 60 awak kapal selam Candrasa kemudian mendapat anugerah penghargaan tertinggi “Bintang Sakti” dari Presiden Soekarno.