Baca juga: (Video) Pria Terkunci di Mesin Usang Selama 60 Tahun, Begini Awal Mula Kisah Tragisnya
"Kemarin saja ramai sekali, banyak yang mampir ke sini, tapi tidak ada yang beli sama sekali," tuturnya.
Namun, ia terdiam ketika ditanya untuk apa kacang dan salaknya jika tidak laku terjual.
Mbah Par hanya mengaku beli kacang mentah di Pasar Borobudur 20 kilogram seharga sekitar Rp 200.000.
Kacang itu ia rebus sendiri dan dijual rata-rata Rp 5.000 - Rp 10.000 per bungkus.
Mbah Par lantas bercerita jika suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Sejak itu dirinya harus menafkahi keluarga.
Meski kondisi ekonomi terhimpit, Mbah Par berhasil menuntaskan pendidikan tiga anaknya sampai tingkat menengah atas.
"Sejak Bapak meninggal, saya yang jadi tulang punggung. Sekarang anak-anak sudah mentas (bekerja) semua dan tidak tinggal dengan saya. Saya memang tidak mau (membebani) mereka, saya masih bisa bekerja sendiri," ucapnya.
Kondisi Mbah Par tidak lantas membuat dia patah arang, apalagi berpangku tangan mengarap belas kasihan orang lain.
Mbah Par pantang mengemis, dia lebih memilih menjadi buruh panen gabah (derep) di sawah.
Hasilnya berupa gabah yang kemudian diolah sendiri jadi beras untuk dikonsumsi sehari-hari.
"Kulo isih duwe isin, wong isih iso jagang kok njaluk-njaluk (Saya masih punya malu, masih bisa berdiri sendiri kok mengemis)," tegasnya sambil mengemas kacang dan salak-salaknya yang terlihat masih penuh itu.
Mbah Par kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut untuk menjajakan kacang dan salaknya di kerumunan orang yang hendak berbelanja di pusat oleh-oleh tidak jauh dari masjid.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Belajar Malu dari Mbah Par, Penjual Kacang Rebus di Pinggir Jalan"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adrie Saputra |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR