Advertorial
Intisari-Online.com - Masih ingat kasus persekusi yang pernah menimpa dua sejoli di Kabupaten Tangerang, Banten?
Setelah diselidiki, ternyata sepasang kekasih itu, RN (28) dan MA (20), tidak bersalah. Artinya mereka tidak terbukti berbuat mesum.
Sebaliknya, para pelaku persekusi di Kampung Duku, Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten yang terjadi pada hari Sabtu (11/11/2017) itu yang akhirnya menerima vonis berat.
Pengadilan Negeri Kabupaten Tangerang menjatuhkan vonis paling ringan 1,5 tahun dan paling berat 5 tahun.
Baca Juga:Dianggap Tidak Becus Menangani Kasus Persekusi, Kapolres Solok pun Dicipot
Vonis paling berat dijatuhkan kepada Komarudin, Ketua RT yang menjadi aktor utama persekusi itu.
Ketua majelis hakim Muhammad Irfan dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (12/4/2018) menyatakan, terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka.
Selain itu, terdakwa juga divonis sudah menyebarkan pornografi.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan Komarudin divonis cukup berat.
Salah satunya, jabatan Ketua RT seharusnya bisa menengahi kerusuhan warga.
"Seorang Ketua RT yang seharusnya menjadi panutan tetapi malah menjadi pelaku utama main hakim sendiri sehingga membuat korban menjadi malu," kata hakim Irfan.
Hakim juga menolak pledoi yang diajukan terdakwa.
Sebab, semua unsur sudah memenuhi dengan adanya tindak pornografi serta, kekerasan dengan adanya luka yang disebabkan para terdakwa.
Keenam terdakwa dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 39 Undang-Undang nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
Baca Juga:Bukan Cuma Selamatkan Bumi, 7 Hal Sehari-hari Ini Juga Bisa Selamatkan Hidup Kita
Sebelum vonis dibacakan, Komarudin menyatakan pasrah dan berharap hakim dapat menerima pledoinya.
"Saya pasrah semoga majelis bisa terima pledoi mengingat alasan keluarga saya dan perilaku saya yang khilaf," katanya.
Sedangkan, Ketua RW Gunawan divonis 1,5 tahun penjara.
Pelaku lain, Iis Suparlan, Anwar Cahyadi, Suhendang, Gunawan Saputra, dan Nuryadi, divonis masing-masing 3 tahun.
Kasus ini mencuat setelah video persekusi korban beredar di media sosial.
Kapolresta Tangerang, AKBP Sabilul Alif saat itu menjelaskan, sepasang kekasih itu dipaksa mengaku berbuat mesum oleh warga yang menggerebeknya.
Sebab setelah diperiksa polisi, sepasang kekasih berinisial RN (28) dan MA (20) itu tidak terbukti berbuat mesum.
Kronologinya pukul 22.00 pacarnya menelepon minta dibelikan makanan.
Setelah itu datang nasi bungkus.
"Yang perempuan di kontrakan makan, pacarnya di kamar mandi," ujar Sabilul kepada awak media, Senin (13/11/2017).
Kamar kontrakan lalu didobrak para pelaku dan sejoli itu dianiaya dan diarak hingga sejauh 400 meter.
Baca Juga:Mengunjungi Kuil 'Porno' di Konarka yang Reliefnya Menggambarkan Kamasutra
Dikutip dari Facebook Kapolres Tangerang Sabilul Alif lewat akun Facebooknya:
"Menyikapi vonis terhadap para pelaku persekusi di Cikupa, ada beberapa hal yang dapat kami sampaikan.
Pertama, kita semua wajib menghormati putusan majelis hakim.
Ada asas hukum res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar.
Kedua, sebagai sesama manusia kami turut prihatin dan menyesalkan adanya peristiwa itu. Kami mafhum, mugkin ada semacam niat baik dari para pelaku saat melakukan aksi itu.
Namun, dilakukan dengan cara yang salah dan melawan hukum sekaligus menerabas hak-hak privat orang lain.
Kami senantiasa berdoa, semoga para pelaku diberi kekuatan menjalani hukuman.
Sebab, biar bagaima pun, mereka tetap berhak melanjutkan hidup usai mempertanggungjawabkan perbuatan.
Apalagi, mereka semua sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Serta, semoga keluarga mereka diberi ketabahan.
Semoga, para pelaku, korban, keluarga, dan kita semua dapat memetik hikmah dari peristiwa itu.
Ketiga, peristiwa itu benar-benar harus kita jadikan pelajaran. Mencegah kemunkaran jangan dengan kemunkaran.
Apa pun alasannya, persekusi, main hakim sendiri, tidak dibenarkan.
Serahkan segala persoalan terkait itu ke penegak hukum.
Keempat, dua dari beberapa pelaku diketahui sebagai oknum ketua RT dan oknum ketua RW. Ini ironi.
Sebab, jabatan yang melekat pada keduanya seharusnya membawa pada sikap bijaksana dalam menyikapi permasalahan.
Sebab, dalam pranata sosial, keduanya ada dalam lingkup figur tokoh yang ucapannya didengar masyarakat.
Disesalkan, keduanya justru menjadi semacam pemantik aksi massa.
Sikap dan ucapan keduanya yang harusnya menyejukkan, mendinginkan, malah membuat gaduh, panas keadaan.
Sebagai pemimpian, keduanya tak memberi contoh teladan. Malah provokatif dan merasa benar sendirian.
Sikap dari keduanya itulah yang memunculkan bystander effect yakni fenomena sosial di mana semakin banyaknya saksi atau 'penonton' dari sebuah kejadian darurat membuat orang-orang justru memilih untuk mengabaikan atau tidak menolong korban dari situasi darurat tersebut.
Dapat kita ketahui, korban menjadi bulan-bulanan. Banyak saksi, banyak "penonton". Namun tak satu pun yang turun tangan menolong.
Hal itu salah satunya dipicu provokasi dari orang yang memiliki pengaruh di lingkungannya.
Dalam konteks inilah, perlu diresapi oleh para tokoh-tokoh terutama tokoh nasional agar berhati-hati dalam bertindak dan berkata.
Sebab, apa yang dilakukan dan dikatakan dapat dijadikan semacam legitimate oleh masyarakat wabil khusus para pengikutnya.
Tokoh mestinya menebar kebaikan, persaudaraan, dan penghormatan atas hak dan jalannya pemerintahan.
Selanjutnya, lost time is never found, waktu yang hilang tak akan pernah kita temukan. Maka berhati-hatilah dalam belaku dan berucap.
Indonesia negara hukum, maka ada norma yang mengatur, ada proses hukum, bukan proses fatwa jalanan.
Semoga, Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita semua agar terhindar dari perbuat yang dapat merusak harmonisasi kehidupan. Salam."