Advertorial
Intisari-Online.com -Dalam proses untuk mengintegrasikan wilayah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) ke Indonesia (1975), pasukan ABRI (TNI) harus bertempur melawan pasukan antiintegrasi yang dikenal sebagai Fretilin.
Pada 1975 ketika pasukan RI melancarkan Operasi Seroja untuk membebaskan Tim-Tim, helikopter tempur jumlahnya masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi kekurangan itu, sejumlah helikopter milik penerbangan sipil atau swasta pun turut dikerahkan.
Tugas helikopter sipil yang ‘dimiliterkan’ itu antara lain untuk mengangkut pasukan dan logistik ke medan perang.
Dalam pertempuran menggunakan helikopter sipil sebenarnya sangat berbahaya.
(Baca juga:Operasi Seroja: Saat Pasukan Payung TNI Babak Belur Sebelum Berperang karena Salah Mendarat)
Pasalnya helikopter sipil tidak dilengkapi senjata dan mudah ditembak jatuh menggunakan senapan serbu, mengingat kurangnya lapisan baja pada bagian badannya (fuselage).
Suatu hari di awal September 1975, pimpinan operasi intelijen di Tim-Tim, Mayjen TNI Benny Moerdani, yang bermarkas di Motaain memanggil Kapten Laut Tonny Suwarno.
Kapten Tonny yang merupakan seorang pilot helikopter Penerbangan AL (Penerbal) kemudian mendapat tugas untuk mengevakuasi Xavier Lopes da Cruz, Ketua Partai prointegrasi Uni Demokrasi Timor (UDT) yang berada di benteng Batu Gede.
Xavier bersama keluarganya harus segera dievakuasi karena benteng Batu Gede sudah dikepung oleh pasukan Fretilin.
Di beberapa posisi ketinggian, seperti di sebelah barat dan selatan Batu Gede terdapat pasukan Fretilin yang bisa membahayakan bagi pendaratan helikopter.
Dalam menjalankan tugasnya menggunakan helikopter sipil milik Pelita Air, yang berjenis Bo-105C B Bolkow, Kapten Tonny disertai Kapten Marinir Athur Solang, komandan Tim Intai Amfibi.
Tantangan utama dalam misi untuk mengevakuasi keluarga Xavier itu bukan hanya karena target berada di tengah kepungan Fretilin.
(Baca juga:Pemulung Itu Ternyata Seorang Veteran Operasi Seroja yang Dulu Bertugas di Timor Timur)
Tapi sebagai helikopter sipil, Bolkow tidak memiliki senjata baik untuk menyerang lawan maupun untuk membela diri.
Untuk ‘mempersenjatai’ helikopter, Kapten Solang melakukan improvisasi dengan cara membawa beberapa granat tangan jenis manggis (M26).
Agar bisa dilempar dengan aman granat dimasukkan ke dalam gelas dan pennya dicabut.
Jika gelas itu pecah setelah dijatuhkan dari helikopter, maka pengungkit akan terbuka dan granat akan meledak dalam waktu 3,5 detik.
Cara menjatuhkan granat semacam itu sebenarnya telah dilakukan oleh pasukan AS dalam Perang Vietnam dan rupanya menginspirasi Kapten Solang.
Ketika penerbangan helikopter sudah sampai di atas Batu Gede, Kapten Tonny kemudian melaksanakan manuver terbang rendah sambil memiringkan heli ke kiri.
Dalam posisi manuver terbang miring itu, Kapten Solang kemudian bisa leluasa melemparkan sejumlah granat ke posisi Fretilin hingga tiga kali putaran.
(Baca juga:Narsis atau Totalitas? Pria Ini Rela Menyewa Helikopter Hanya Untuk Membuat Wanita Terkesan)
Mendapatkan serangan granat yang tak terduga itu, pasukan Fretilin hanya bisa lari menghindar dan tidak bisa memberikan perlawanan.
Situasi chaos itu dimanfaatkan oleh Kapten Tonny untuk mendaratkan heli di dalam benteng Batu Gede dari arah laut.
Xavier bersama istri serta putrinya yang baru berusia setahun tiga bulan pun berhasil dievakuasi dan diterbangkan menuju Motaain.
Keesokan harinya benteng Batu Gede ternyata jatuh ke tangan Fretilin dan perlu perjuangan keras bagi pasukan ABRI untuk bisa merebutnya lagi.