Intisari-Online.com – Kalau dua orang berselisih paham sampai kemudian terjadi perang mulut, orang Madura menyebutnya padu atau apadu.
Ketika suasana berkembang semakin panas, tak mustahil kedua belah pihak saling nokare (menantang berkelahi) atau langsung tokar (berantem).
Meski tak berlaku umum, orang Madura pantang nyelep (menyerang dari belakang).
Nah, kalau sudah berlanjut menjadi perkelahian satu lawan satu memakai senjata tajam, namanya carok atau acarok.
BACA JUGA: Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak
Kata-kata tersebut di atas tentu telah diakrabi penduduk pulau penghasil garam terbesar di tanah air itu.
Dilihat dari kacamata umum memang tidak ada sesuatu yang istimewa dari rentetan kata-kata tersebut.
Anehnya, justru kata carok yang mencuat ke permukaan dan lebih populer dari saudara-saudaranya bahkan kemudian mengalami distorsi arti dan konotasi.
Buktinya, sampai kini citra carok tetap terpatri sebagai fenomena khas dalam kehidupan masyarakat Pulau Madura yang seolah diidentikkan dengan sikap dan perilaku penduduknya yang sangar, pemberang dan gampang membunuh.
Omong-omong soal carok, tak akan lengkap bila tidak menyebut arek (clurit). Senjata tajam berlengkung khas ini terlanjur dikenal sebagai alat pembunuh yang kehadirannya tak bisa dilepaskan dari tindak kejahatan.
Praduga umum ini muncul karena di daerah asalnya, si bengkok (sebutan akrab untuk clurit) sering dipakai sebagai senjata untuk melakukan carok. Bahkan di alun-alun Pamekasan berdiri kokoh Monumen Clurit (lima bilah clurit jenis bulu ajam) yang setiap saat bisa mengingatkan orang akan benda tajam tersebut.
Sejarah dan pemeo
Secara historis perjalanan rakyat Madura memang banyak diwarnai dengan kekerasan. Pada tahun 1624 Kerajaan Mataram Jawa setelah melalui pertempuran sengit berhasil menguasai Madura.
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR