Ajaran Bung Hatta untuk Anaknya: Membantu Orang Lain Tak Harus Menjadi Jutawan Dulu

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kejujuran Bung Hatta sudah terkenal dan lewat kejujuran itu beliau menunjukkan integritasnya. Tetapi ini sering pula mendatangkan kerepotan.

Intisari-Online.com – Kejujuran Hatta sudah terkenal dan lewat kejujuran itu Hatta menunjukkan integritasnya. Tapi integritas sering pula mendatangkan kerepotan.

Salah satunya, ketika pemerintah RI memberlakukan sanering (pada 25 Agustus 1959 - Red.). Menurut penuturan Meutia, ibunya sempat “komplain” kepada suaminya, “Kenapa tidak bilang?” Maklum, Ibu Rahmi sedang menabung untuk membeli mesin jahit.

Hatta menjawab, “Tidak bisa, karena itu rahasia negara. Ya sudah, kamu menabung saja lagi. Nanti kan bisa (terkumpul lagi) ....”

Kenyataan bahwa sejak akhir tahun 1956 Hatta sudah bukan pejabat negara, ternyata tidak mengurangi integritasnya.

Baca Juga : Kesederhanaan, Sifat Bung Hatta yang Paling Banyak Dikagumi, Namun Justru Paling Sulit Ditiru

Tertib dalam penggunaan dana negara ditunjukkannya dengan mengembalikan sisa uang saku setelah kembali dari perjalanan tugas, termasuk ketika negara membiayainya untuk berobat ke Belanda pada tahun 1971.

”Ayah selalu melihat uang itu sebagai uang rakyat Indonesia dan masih banyak orang lain yang membutuhkan sisa uang itu,” tulis Gemala.

Sekretaris pribadinya, Wangsa Widjaja, yang harus mengurus pengembalian tersebut, bercerita kepada Gemala, “Saya jadi bahan tertawaan semua orang di Setneg.”

Gemala sendiri mengisahkan teguran yang pernah diterimanya dari sang ayah, saat ia berkuliah pencatatan medis di Sydney, Australia 1974 - 1976.

Baca Juga : Cucu Bung Hatta Berang: Sepatu Bally dan Kisah Kesederhanaan Sang Proklamator yang Mungkin Sulit 'Ditiru' Siapapun

Lewat surat-menyurat yang selalu dibuka dengan “Gemala yang manis” dan ditutup dengan “Peluk cium Ayah”, Hatta memberikan semangat, menghibur, bahkan mengirimkan materi untuk penulisan makalah anaknya.

Pada penutup surat bertanggal 26 Maret 1975, ayahnya menyelipkan teguran kecil kepadanya,

“ ... kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya janganlah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemalakan surat prive, bukan surat dinas.”

“Alamak, suatu teguran yang memalukan,” tulisnya.

Baca Juga : Antara Bung Hatta dan Zumi Zola, Sepenggal Kisah yang Mengiris Hati

Tak mengherankan jika di mata Meutia, ayahnya adalah istimewa. “Karena karakternya yang istimewa. Perjalanan hidupnya selalu menempatkan dia dalam posisi yang dihargai orang. Ayah menjaga martabatnya.”

Dalam soal etiket, ini berarti menjaga perilaku yang pantas. Dalam hal etika, ditampakkannya melalui kejujuran dan integritas yang tidak dapat ditawar.

Gemala juga mengingat, bagaimana ayahnya menyuruh dia tak berlama-lama sekolah di Australia.

Pada tahun 1928, dalam pledoinya di Pengadilan Pemerintah Kolonial di Den Haag, Belanda, Hatta mengutip puisi Rene de Clerq, pujangga Belgia, “Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”

Baca Juga : Sepenggal Kisah Bung Hatta, Garang Memimpin Revolusi tapi Takut Mengambil Buah Prune

Demikianlah Hatta menularkan cintan tanah air kepada puterinya.

Setelah mengundurkan diri dari jabatan wapres, Hatta ditawari untuk tetap tinggal di istana wapres.

Tetapi ia memilih pindah ke rumah pribadi di Jln. Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, yang dibelinya secara mengangsur.

Jejak ayah pada putri-putrinya

Baca Juga : Yang Dilakukan Para Pemuda Terhadap Soekarno-Hatta adalah Operasi militer, Bukan Penculikan

Pada saat itu, pemerintah RI belum memiliki aturan pensiun khusus bagi seorang mantan wakil presiden. Pensiun yang diterimanya sangatlah kecil, sehingga untuk menutupnya Hatta mencari tambahan penghasilan lewat karya-karya tulisnya.

Untuk memperbaiki rumah pribadinya, ia menggunakan sumber dana tabungan dari hasil menulis dan pinjaman yang dikumpulkan dari uang keluarga dan teman-temannya.

Bagaimana teladan dan didikan sang ayah tertanam pada diri putri-putrinya terlihat dari cara mereka menyikapi dunia keseharian.

Sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2004-2009), Meutia selalu memastikan dulu bahwa uang yang diterimanya adalah memang haknya.

Baca Juga : Wangsa Widjaya, Orang Kepercayaan Bung Hatta yang Uang Pensiunnya Cuma Rp200 Ribu

Di usia 69 tahun, pakar antropologi kesehatan ini terus berkarya sebagai guru besar di UI.

Gemala mendirikan lembaga pendidikan formal pertama untuk pencatatan medis yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia.

Ia berkontribusi dalam penyusunan buku Medical Record Manual in Developing Countries untuk WHO dan pernah menjadi Regional Director untuk International Federation Health Information Management Association untuk Asia Tenggara.

Penyandang gelar S-3 ini kini dosen di Politeknik Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Jakarta I.

Baca Juga : Dwitunggal yang Akhirnya Tanggal: Saat Bung Hatta Berpisah Jalan dengan Bung Karno

Halida berkarya sebagai Advisor Corporate Communication di sebuah perusahaan migas multinasional.

Ada satu ajaran penting orangtuanya yang ia ingin tekankan (karena semakin sering dilupakan), padahal penting sekali baik dalam kehidupan kerja maupun rumah tangga: yaitu: setialah pada komitmen.

Selama berkuliah, Halida selalu mendapat uang SPP dari ayahnya yang ia setorkan ke sekolah. Baru belakangan ia mengetahui, bahwa ayahnya sengaja tidak menggunakan fasilitas kuliah gratis bagi anak proklamator, agar jatah gratis bagi Halida dapat dimanfaatkan mahasiswa lain yang tak mampu.

Baca Juga : Bung Hatta Proklamator Sederhana yang Dipersatukan dengan Bung Karno karena Perbedaan, Berpisah pun karena Perbedaan

“Untuk membantu orang lain, ternyata tidak perlu menunggu menjadi jutawan atau konglomerat,” simpul Halida.

Bagaimana dengan main proyek? Ketiganya serentak menggelengkan kepala. Lalu ketiganya malah sambil tertawa saling mengingatkan, bagaimana mereka batal membeli ini itu, karena dananya terpakai untuk membantu orang.

Mengingatkan orang pada ayah mereka, yang diam-diam mengidamkan sepatu Bally, tapi tak kesampaian sampai meninggalnya. (Lily Wibisono – Intisari Agustus 2016)

Baca Juga : Meskipun Sudah 'Berpisah Jalan', Bung Hatta Tidak Pernah Punya Dendam pada Bung Karno

Artikel Terkait