Penulis
Intisari-Online.com – Satu catatan yang tidak bisa saya tinggalkan adalah tentang kunjungan ke Stratford Upon Avon (Inggris)., Stratford adalah kota kelahiran William Shakespeare dan di sana pula ia dimakamkan.
Avon (kata kuno dalam Bahasa Inggris yang berarti sungai) adalah sungai kecil yang dengan tenangnya mengalir membelah kota itu.
Airnya bersih dan bisa dilayari dengan perahu-perahu kecil yang didayung atau dijalankan dengan layar. Di sana sini ada kawanan itik berenang berkelompok-kelompok di bawah teduhan pohon-pohon.
Ada anak-anak yang belajar memancing, diawasi orangtuanya dari jauh. Ada lagi kelompok-kelompok turis yang duduk-duduk berjuntai di pinggir kali. Kaki mereka terendam air. Entah apa yang mereka perhatikan.
Baca Juga : Dari Shakespeare Hingga Pythagoras, Siapa Sangka 5 Tokoh Terkenal Ini Tidak Pernah Benar-benar 'Ada'?
Stratford adalah kota yang mungil dan indah. Suatu pusat turisme yang selalu menarik. Ada rumah-rumah tua yang konon sudah ratusan tahun umurnya, terbuat dari kayu eik. Rumahnya bertingkat dua dan sudah miring-miring, tetapi kelihatan dijaga dengan baik.
Diberi cat putih dengan bis-bis hitam. Jalan-jalannya tidak lebar tapi bersih. Taman bunganya tersebar di mana-mana. Secara keseluruhan, kota ini penuh dengan tanda-tanda kebanggaan karena memiliki seorang putera yang agung seperti Shakespeare.
Rumah tempat kelahiran pujangga besar itu dipelihara dengan cermat dan merupakan obyek turisme. Di mana-mana dapat dijumpai tempat-tempat penjualan souvenir, yang dengan sendirinya berkisar pada kebanggaan mereka akan Shakespeare juga.
Saya mengunjungi Stratford dua kali. Pertama kali dengan mobil, berdua. Melalui motorway yang licin mulus, kami sampai di sana kira-kira jam 10 pagi.
Baca Juga : Salinan Pertama Karya Langka William Shakespeare Ditemukan di Skotlandia
Dalam bukunya "Shakespeare the Man", Dr. A.L. Rowse menulis: "Seandainya Shakespeare bisa kembali lagi sekarang, niscaya ia masih dengan mudah mengenal kota kelahirannya.
Stratford rupanya masih tetap mempertahankan keasliannya, walau pun sudah ada banyak bagian yang runtuh dan banyak pula yang dibangun kembali.
Acara kami pagi itu adalah melihat-lihat kota kecil itu, terutama mengunjungi tempat kelahiran Shakespeare dan makamnya. Penyair agung itu dimakamkan dalam sebuah gereja Anglikan tua. Di samping gereja ada kuburan umum yang tidak terpakai lagi.
Ini kelihatan dari batu-batu nisan yang miring-miring, retak atau bergelimpangan penuh lumut, tidak dirawat. Dalam salah satu karyanya, Shakespeare menulis:
Baca Juga : Para Arkeolog Menemukan Dapur Williams Shakespeare Gara-gara Tersandung
Kini tibalah waktunya malam turun. Dan makam-makam menganga lebar. Setiap orang mati membiarkan rohnya. Berkeliaran di jalan-jalan kuburan.
Tetapi pohon-pohon di sekitar itu-membuat lingkungan gereja tersebut amat tenang dan tenteram. Halamannya berumput hijau, terpangkas di sana-sini. Jalan masuknya berlapis batu-batu alam yang pipih, rapi dan bersih.
Biar demikian, setiap pengunjung niscaya dapat merasakan apa yang dilukiskan Shakespeare dalam "Romeo and Juliet":
Aku hampir selalu takut berdiri sendirian. Di sini di pekuburan; tapi akan kucoba.
Baca Juga : Shakespeare First Folio yang Langka Ditemukan di Perancis
Gereja itu rupanya masih dipakai sebagai tempat ibadat. Di pintu masuk halamannya terpancang sebuah papan pengumuman tentang jam-jam ibadat.
Melalui pintu samping yang rendah, tua dan berat, kami masuk. Suatu analogi yang sangat berarti, bahwa untuk memasuki rumah Tuhan orang harus membungkuk. Pada daun pintu, ada pemberitahuan yang agaknya ditujukan kepada para pengunjung.
Isinya kira-kira mengatakan bahwa "di sini Anda berada dalam rumah Tuhan, maka hendaknya Anda berlaku secara pantas.'' Di dalam, kecuali bangku-bangku ibadat, dekat pintu ada sederetan tempat penjualan souvenir. Ada penjaganya, seorang lelaki dan seorang wanita.
Seperti kebanyakan gereja-gereja tua, gereja ini pun dihiasi jendela-jendela kaca berwarna, yang sekaligus mencipta suasana khusus.
Baca Juga : Bagai Romeo Sungguhan, Katak Ini Mencari 'Julietnya' di Dunia Maya untuk Melestarikan Spesiesnya
Kami beranjak lebih jauh ke dalam, melewati batas sanctuarium (tempat kudus). Ada peringatan tertulis dipancang di sana, yang melarang orang membuat potret. Di sebelah kanan, dalam sebuah almari kaca tua, terpajang akte kelahiran dan pembaptisan Shakespeare.
Kertasnya sudah kuning dan usang, tulisannya berhias-hias, dengan tinta hitam. Di sebelah kiri, ada bejana baptis dari marmer yang tak jelas lagi warnanya dan sudah sumbing karena aus. Kata orang, di sinilah Shakespeare dibaptis dengan nama William.
Seluruh tempat di depan altar dipenuhi tumpukan karangan bunga. Indah sekali dan mengharukan. Jelas, orang ini begitu dihormati. Masih sempat terbaca pada pita-pitanya, siapa atau kelompok-kelompok mana yang mempersembahkan karangan-karangan bunga itu.
Ada yang dari Liberia, New Zealand, Jamaica, Moskow, Australia, Zaire, Amerika Selatan, Muenchen dan Iain-lain. Saya cari-cari, tapi tidak ada karangan bunga dari Indonesia.
Baca Juga : Simak 3 Kisah Cinta Kuno Sebelum Era Romeo dan Juliet, Ceritanya Tak Kalah Menyentuh dan Tragis
Pada lantai sebelah kiri di depan altar, ada satu bidang persegi empat yang bersih dari karangan bunga. Lantai itu bukan marmer. Lantai semen belaka. Itulah makam penyair besar William Shakespeare. Sangat sederhana. Tanpa hiasan.
Hanya ditandai sebuah nisan kecil hitam, dengan tulisan emas: Makam Penyair William Shakespeare, 1564-1616.
Karena dilarang membuat potret, maka saya minta teman saya, Walter untuk membantu saya melakukan "pencurian". Ia harus memperhatikan agar jangan ketahuan oleh penjaga.
Setelah diperhitungkan baik-baik, maka Walter berdiri tegak sebagai tembok penghalang, dan saya berjongkok di depannya untuk membuat foto. Satu kali, dua kali.
Baca Juga : Seperti Romeo dan Juliet Pasangan Lansia Ini Meninggal Sambil Berpegangan Tangan, Oh So Sweet!
Siang itu kami melanjutkan perjalanan ke Hadzor, sebuah kota kecil di sebelah barat, untuk menghadiri suatu pertemuan. Sorenya baru kembali dan mampir lagi di Stratford.
Kami makan dulu di sebuah restoran Cina dan malamnya menonton pementasan Romeo & Juliet dalam Royal Shakespeare Theatre. Teater ini mengkhususkan diri dalam pementasan karya-karya Shakespeare.
Letaknya persis di tepi sungai Avon. Saya sudah beberapa kali menonton Romeo & Juliet, baik pementasannya maupun filmnya. Tapi menontonnya di kota kelahiran Shakespeare tentu meninggalkan kesan tersendiri.
Baca Juga : Romeo dan Juliet ala Toraja yang Tak Terpisahkan Hingga di Alam Kematian