Find Us On Social Media :

Ketika Rupiah Masih ‘Enak’, Gaji Pegawai Negeri Masih Bersisa Banyak meski Sudah untuk Bersenang-senang

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 24 Agustus 2018 | 15:30 WIB

Kedua, kebutuhan hidup masih sedikit. Pesawat TV, tape recorder, dan radio kaset tidak ada, sehingga tidak mendorong orang untuk membelinya secara kreditan.

Baca juga: Waspada Inflasi Jika Harga BBM Naik!

Hiburan saya sehari-hari hanya radio roti yang harganya cuma Rp 75,-. Radio ini radio juga, kecil, bentuknya seperti roti tawar yang besar.

Ketiga, distribusi barang lancar. Sampai ke desa-desa di luar batas ibukota kabupaten pun ada toko pedagang P & D (provisien en dranken) yang kemudian menjadi M & M (makanan dan minuman). Sekarang orang menyebutnya Waserba (warung serba ada) meski isinya banyak yang tiba-tiba tidak ada.

Pengusaha toko P & D itu kebanyakan orang Cina, atau orang Indonesia keturunan. Cara mereka berdagang jujur sekali, dengan harga eceran yang kompetitif. Tidak ada yang menaikkan harga EZ yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi rakyat konsumen.

EZ kependekan dari Departement van Economische Zaken warisan Belanda. Walau kementeriannya sudah berubah menjadi Kemakmuran, harga itu masih disebut harga EZ.

Tetapi menjelang Pemilu I tahun 1955, inflasi mulai karena gejolak politik berkepanjangan sampai memacetkan produksi dan distribusi barang.

Perdagangan kacau, sehingga gaji rupiah saya sebagai pegawai negeri tidak enak lagi.

Baca juga: Tarif Pulsa Ponsel Jadi Salah Satu Penyumbang Inflasi Januari 2017