Kisah Pasukan Kostrad Selamatkan Tim Ekspedisi Lorentz di Belantara Papua yang Masih Perawan

Ade Sulaeman

Penulis

Tiba-tiba datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang berpakaian perang lengkap sambil membawa tombak. Komandannya bahkan membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan.

Intisari-Online.com - Tahun 1995 sebuah tim penelitian bernama Tim Lorentz ’95 dibentuk di Jakarta berdasarkan kerjasama Biological Science Club (BSsC) dari Indonesia dengan Emmanuel College, Cambrige University.

Lembaga BSsC merupakan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen yang didirikan pada 7 September 1969 oleh sekelompok mahasiswa ilmu Biologi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta.

Tim akan melakukan penelitian beragam jenis flora dan fauna di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya (Papua).

Tim yang terdiri dari 11 peneliti itu juga akan mengkaji keterkaitan objek penelitian mereka dengan kehidupan dan pola berfikir tradisional suku Nduga di sana.

(Baca juga: Seluruh Dunia akan Berakhir di Tahun 5079! Ini Ramalan tentang Perjalanan Manusia oleh Peramal Buta Baba Vanga)

Hasilnya diharapkan dapat menjadi masukan bagi usaha-usaha pelestarian dan pengembangan Taman Nasional Lorentz.

Juga menjadi langkah awal bagi peran serta masyarakat yang terletak di bagian timur laut Cagar Alam Lorentz itu.

Penelitian dilakukan antara bulan November 1995 hingga Januari 1996.

Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).

Sementara anggota tim dari Inggris terdiri dari Daniel Start (22), William “Bill” Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).

Tim dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi sumber daya alam (BKSDA) Kanwil Kehutanan Irian Jaya.

Ikut juga Jacobus Wandiko, putra daerah suku Nduga, yang juga antropolog lulusan Universitas Cendrawasih murid Markus Warip.

Tidak ada gangguan berarti yang dialami tim selama menjalankan misinya.

(Baca juga: Lupa Anaknya Ditinggal di Dalam Mobil, Ibu Ini Menyesal dan Menangis Melihat Kondisi Anaknya saat Kembali ke Mobil)

Walaupun sebelum keberangkatan ke tanah Irian Jaya, tim mengetahui kalau di sana kala itu terdapat kelompok-kelompok Gerakan Pengacau Keamanan – Organisasi Papua Merdeka (GPK-OPM) yang mengaku kecewa dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.

Tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka pun berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.

Di rumah nan asri yang menghadap ke sebuah landasan pesawat kecil itu, selama melakukan penelitian Tim Lorentz bertempat tinggal.

Hari itu Pendeta Bijl sedang tidak berada di rumah, ia tengah berkeliling di daerah Mbua dan Alama menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.

Tiba-tiba datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang berpakaian perang lengkap sambil membawa tombak.

Komandannya bahkan membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan ke udara.

Mereka kemudian mendobrak pintu yang dikunci Tim Lorentz, memaksa masuk, menyerang, menyandera tim, dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke hutan pedalaman.

Sejak tidak diketahui lagi jejaknya, berita penyanderaan Tim Lorentz mulai menghiasi media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.

Di Jakarta Pemerintah segera meminta ABRI (TNI) melakukan penyelamatan. Diputuskan, Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) memimpin misi penyelamatan.

Beberapa satuan TNI lainnya juga dilibatkan dalam misi penyelamatan ini.

Sekitar lima bulan berlalu, penyanderaan Tim Lorentz oleh GPK-OPM yang akhirnya diketahui dipimpin oleh panglima bernama Kelly Kwalik, belum juga membuahkan hasil.

Penyandera terus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.

Dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapnduma (Pusaka Sinar Harapan, 1997) disebutkan, pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang.

Namun kemudian ditambah lagi hingga menjadi 100 orang.

Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk menambah kekuatan.

Selanjutnya mereka persiapan dan koordinasi sebelum akhirnya mulai bergerak ke Daerah Persiapan (DP) di Kenyam.

Kompi di bagi dalam beberapa tim. Secara berangsur masing-masing tim dikirim ke daerah operasi.

Tim Pendawa I beranggotakan 25 orang mendapat giliran masuk tanggal 13 Mei 1996.

Tim ini juga dipimpin oleh Kapten Agus Rochim. Mereka berjalan menyusuri sungai Kilmik.

Namun akibat medan yang tidak tidak bisa lagi ditembus, akhirnya tim bermalam dan membuat bivak di pinggir sungai.

Keesokan harinya tim bergerak kembali ke posisi awal lalu berbelok ke arah kanan di cabang sungai Kilmik dengan harapan menemukan jejak para sandera di tempat baru.

Tim Pendawa bersenjata standar senapan serbu FNC, Steyr, Minimi tiga unit (tiap satu regu), serta GLM. Persenjataan yang sebenarnya lebih dari cukup untuk melawan GPK-OPM.

Tanggal 14 mereka bermalam lagi dan membiat bivak baru. Malamnya briefing dilakukan oleh Komandan Kompi.

Diputuskan mulai tanggal 15 tim dibagi dua. Separuh di bawah pimpinan Agus Rochim, separuh lagi dibawah pimpinan Sertu Pariki tinggal di Basis Operasi Depan (BOD).

Pukul 13.00 siang tim mendapat informasi dari jajaran Kopassus bahwa di situ terdapat banyak jejak.

Kompi Yonif Linud 330 Kostrad sebenarnya melakukan penyusuran di ring terluar, termasuk yang dilakukan oleh Tim Pendawa I.

Mereka menyusuri sungai mengingat lebatnya hutan yang masih perawan teramat sulit untuk ditembus.

Pukul 14.00 tim bergerak kembali ke pos di BOD. Pada saat itulah, mulai terdengar samar-samar suara orang dalam jarak tidak terlalu jauh.

Tim Pendawa segera merespon dengan melakuan penyisiran di sekitar lokasi yang dicurigai. Satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.30 ternyata ada seseorang berteriak, “Army!”

Rupanya, itulah teriakan Adinda Saraswati, salah satu anggota tim peneliti.

Sembilan orang peneliti turun dari tebing di pinggir sungai Kilmik.

Sersan Duha segera menyambut, dia orang pertama yang menyelamatkan Adinda, untuk kemudian diestafetkan ke prajurit lain untuk dievakuasi ke BOD.

Peristiwa itu terjadi tanggal 15 Mei 1996, tepat pukul 15.30 (atau 3.30 sore hari).

Sesuai tertulis dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapnduma yang ditulis Ray Rizal (alm) dan Nina Pane disebutkan, pada hari itu sekitar pukul 14.00 para sandera terus berjalan.

Setelah berjalan berputar-putar di antara kerapatan dan kelebatan pohon, tim peneliti mendapat perintah dari kelompok GPK-OPM untuk turun menuju sungai.

Namun tak berapa lama terdengar deru helikopter. Tim peneliti menduga ABRI sudah mulai mendekat.

Tapi bagi GPK-OPM, kehadiran ABRI yang mereka sebut Sanbo itu, membuat kepanikan dan tak jarang mereka menjadi beringas.

Itu pula yang terjadi saat itu. Salah satu personel GPK-OPM bermata satu mendadak kalap dan mengayunkan kapak ke punggung Navy Panekanan.

Navy roboh diiringi teriakan histeris Adinda Saraswati. Para peneliti segera berlari menuruni lereng.

Tak lama setelah itu kelompok GPK-OPM yang lain dengan senjata kapak, parang, dan panah menyerang Matheis dengan senjata-senjata tajam itu.

Matheis hanya mampu berteriak, “toloong.. toloongg,”. Navy dan Matheis akhirnya gugur di tangan keganasan para GPK OPM.

(Baca juga: Ketika Belanda Merasa Ketakutan dan Rela Memberikan Papua Tanpa Syarat, Pertumpahan Darah pun Terhindarkan)

Artikel Terkait