Penulis
Intisari-Online.com - Gerabah adalah kerajinan yang populer di kawasan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Di tanah kelahirannya itu, tak heran jika Sidik Purnomo tumbuh menjadi pemuda yang gemar dengan seni mengolah tanah liat.
Kegemaran itu pula yang telah mengantarkan Sidik memenangi Kompetisi Pemuda Kreatif (Youth Creative Competition) yang digelar oleh UNESCO dan Citi Foundation di Yogyakarta belum lama ini.
Pemuda kelahiran 9 Juni 1994 itu mulai belajar serius tentang gerabah sejak duduk di bangku SMK Negeri 1 Rota, Bayat, Jurusan Kriya Keramik. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di jurusan yang sama di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta hingga sekarang.
(Baca juga: Santan Tidak Mengandung Kolesterol, Dokter Tegaskan Itu Hanya Mitos)
Ilmunya tentang gerabah juga diperoleh ketika berkesempatan magang di Jepang pada tahun 2013-2014. Dari negeri sakura itu, Sidik belajar bagaimana menghargai gerabah menjadi karya seni tinggi.
Bagi Sidik, gerabah memang tidak sekadar bisa dibuat peralatan rumah tangga maupun cenderamata, seperti kebanyakan gerabah yang dijumpai di kawasan Bayat.
Namun, gerabah bisa dikreasikan menjadi benda-benda dekoratif, tidak terkecuali peralatan rumah tangga yang memiliki nilai seni tinggi.
"Kalau lihat di Bayat, gerabah hanya dibuat benda-benda itu-itu saja, sejak dahulu sampai sekarang juga masih, harga juga relatif murah. Padahal, gerabah Bayat bisa dibuat dengan teknik tertentu sehingga punya ciri khas, bisa dijual lebih mahal," papar Sidik saat ditemui di studio Kresan Art di Dusun Pringgading RT 1, Desa Goasari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, belum lama ini.
(Baca juga: Pria Ini Gegerkan Warga karena Dikira Jenazah Korban Pembunuhan, Rupanya Kisah di Baliknya Bikin Ngakak!)
Kata Sidik, tanah liat khas Bayat memiliki keunikan tersendiri dibanding tanah liat dari daerah lain, yakni memiliki warna cenderung kecoklatan. Jika pada tahap terakhir (glasir) menggunakan teknik reduksi akan menghasilkan warna yang menarik dan alami.
"Saya pakai tanah liat dari Bayat, karakteristik beda, dari tekstur dan warna dasar coklat. Saya sering pakai teknik glasir reduksi sehingga ada efek gelap, hasil akhirnya terkesan handmade," ungkap putra dari pasangan Sadiyem dan Sagiman ini.
Kalau gerabah pada umumnya, lanjut Sidik, memiliki dasar warna merah dengan teknik glasir oksidasi akan menghasilkan keramik yang cerah dan bening. Sidik sendiri memakai tungku pembakaran sederhana yang dirakit sendiri.
(Baca juga: (Foto) Di Tangan Pria Ini, 2 Ton Limbah Elektronik Disulap Menjadi Studio Foto Menakjubkan, Lihat Hasilnya!)
Mengangkat gerabah Bayat
Mahasiswa semester VIII itu menambahkan, potensi Bayat tidak hanya terletak pada jenis tanahnya, tetapi juga cara pengolahan yang unik. Warga biasa menggunakan alat putaran dengan teknik miring. Teknik yang berbeda dengan pembuatan gerabah pada umumnya.
Konon teknik ini sudah ada sejak nenek moyang. Sidik ingin teknik putaran miring tetap bertahan di tengah perkembangan gerabah atau keramik era ini.
"Warga di Bayat biasa pakai putaran miring, kalau biasanya kan datar. Mungkin zaman dulu pembuat gerabah adalah para wanita yang pakai kain jarik untuk rok. Jadi kedua kakinya tidak bisa terbuka leluasa seperti kalau pakai celana," ucap Sidik.
(Baca juga: Jangan Sampai Lupa! 5 Makanan Ini Tidak Punya Tanggal Kedaluwarsa, Lho!)
Menurut dia, teknik ini sejatinya menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Bayat. Dia pun bermimpi, jika lulus kuliah nanti, akan kembali ke kampung halamannya itu untuk mengembangkan gerabah agar mempunyai nilai seni dan nilai jual yang tinggi.
Sejauh ini Sidik sudah menghasilkan ratusan karya keramik, selain dekoratif dan instalasi, Sidik juga mulai menerima pesanan peralatan makan (table ware), seperti mangkok, cangkir, dan gelas.
Sebelumnya Sidik sudah kerap mengikuti berbagai pameran fine art dan menjadi pemateri workshop.
"Saya memproduksi table ware, kadang-kadang fine art, dan akhir-akhir ini banyak mengerjakan order proyek limited edition, biasanya untuk kebutuhan kafe atau personal. Semua bahan glasir food grade, kecuali timbal, hanya untuk fine art," imbuhnya.
(Baca juga: Aneh, Puluhan Ribu Biota Laut Menyelimuti Pantai di Inggris, Fenomena Apakah Ini?)
Sidik menjual produknya dengan harga paling murah Rp 30.000 per buah. Meski pemasaran baru sebatas melalui media sosial, pesanan sudah datang dari berbagai daerah, seperti Bali dan Belanda.
Penghargaan UNESCO
Sidik bersyukur masuk kriteria UNESCO untuk mendapatkan pendampingan sebagai salah satu pemuda kreatif. Setelah menerima penghargaan itu, dia banyak dibantu dalam hal pengelolaan atau manajemen bisnis.
Terlebih lagi, sejauh ini Sidik masih terkendala dengan pemakaian tungku yang masih eksperimen sehingga kurang maksimal. Hasil gerabah akan lebih bagus jika menggunakan tungku konvensional, tetapi harganya mahal, sekitar Rp 20 juta per unit.
(Baca juga: Agar Otak Tetap Sehat dan Kinerjanya Terus Tajam Hingga Usia Senja, Ini Tipsnya untuk Anda Semua!)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat "Naik Kelas" dan Raih Penghargaan UNESCO")