Advertorial

Mati Ketawa ala Kerajaan Singasari

Moh Habib Asyhad

Editor

wayang kulit, inti cerita atau goro-goro, dilontarkan oleh para pelawak, atau yang dikenal dengan punakawan yang terdiri atas tokoh Semar dan anak-anaknya: Gareng, Petruk, dan Bagong.
wayang kulit, inti cerita atau goro-goro, dilontarkan oleh para pelawak, atau yang dikenal dengan punakawan yang terdiri atas tokoh Semar dan anak-anaknya: Gareng, Petruk, dan Bagong.

Intisari-Online.com – Zaman sekarang, buku dan kartun humor memancing tawa, ditambah lagi sudah menjamurnya media sosial.

Dulu, orang bisa terpingkal-pingkal mengikuti gambar relief di candi.

Jauh sebelum munculnya buku-buku Mati ketawa ala ..., orang juga sudah mengenal tradisi tertawa.

(Baca juga:Bukannya Bikin Tegang, Video saat Polisi Merazia Pria ‘Manja’ Ini Justru Bikin Kita Ketawa Geli)

Tertawa memang menyehatkan, mengendurkan saraf-saraf yang tegang, serta dapat mengurangi stres yang berkepanjangan. Atau mungkin lebih tepat kalau dikatakan, bahwa tertawa itu perlu dalam hidup manusia.

Bukan hanya di lingkungan rakyat jelata, tetapi di kerajaan yang sangat tradisional pun dikenal adanya para penghibur.

Unsur hiburan tidak hanya terbatas pada nyanyian dan tarian saja, tetapi juga lawakan. Gejala ini terlihat lebih mencolok dalam cerita-centa wayang.

Baik wayang kulit maupun wayang lainnya, selalu menyelipkan bagian-bagian lucu dan mengandung humor.

Bahkan dalam wayang kulit, inti cerita atau goro-goro, dilontarkan oleh para pelawak, atau yang dikenal dengan punakawan yang terdiri atas tokoh Semar dan anak-anaknya: Gareng, Petruk, dan Bagong.

Punakawan dari Jawa Timur

Rupanya peran punakawan dalam cerita Jawa Kuno cukup penting. Terbukti dengan penampilan tokoh-tokoh ltu secara utuh di Candi Jago, di Malang.

Candi yang dibangun di masa Kerajaan Singasari mi, menurut Kitab Negarakertagama, aslinya bernama 'Jajaghu’. Kemudian untuk memudahkan sering disingkat menjadi 'jago'.

Candi Jago dibangun dengan tiga teras, dan seperti layaknya candi-candi Jawa Timur lainnya, garbhagrha atau bagian tersuci terletak di bagian belakang dan bangunan.

Candi ltu sendiri sebenarnya cukup menarik dan unik, karena pahatan pada dinding-dindingnya memuat sekaligus lima cerita yang berdiri sendiri.

Figur punakawan di Candi Jago diselipkan pada pahatan cerita Parthajajna.

(Baca juga:Punakawan, 'Board Game' Lokal Citarasa Eropa)

Dari sumber lain dapat pula kita ketahui bahwa tokoh punakawan juga terdapat dalam karya-karya sastra bahasa Jawa sehari-hari, karena bahasa Jawa Kuno sudah mulai kurang dipahami masyarakat.

Dalam era Jawa baru ini, tokoh punakawan disebut pertama kali dalam Kitab Manik Maya. Kitab ini terbit pada zaman Kartasura oleh Kartamursadah.

Dalam kitab ini jelas disebutkan nama Manikmaya. Manik adalah sebutan untuk Bhatara Guru, sedang Maya untuk 'si gendut' Semar.

Si tambun yang kocak

Di bagian tubuh Candi Jago terukir pahatan berupa petikan cerita dari Kitab Mahabharata. Kalau urutan panil-panil relief cerita ditelusuri dari awal, akan tampak seorang tokoh kesatria diiringi seseorang bertubuh pendek, tambun dengan perut buncit, rambut berkuncir dengan jambul mencuat ke depan.

Dia hanya memakai selembar kain di badan bagian bawah, dan badan bagian atas dibiarkan terbuka. Tangan kanannya menekuk ke arah pundak, menyandang suatu bawaan.

Tokoh ini tampak mengiringi tokoh kesatria tadi, yang ternyata adalah Raden Arjuna, kesatria penengah Pandawa.

Dari perbandingan dengan cerita-cerita wayang, lazimnya yang mengiringi Arjuna ialah Semar dan anak-anaknya. Para pengiring atau punakawan ini selalu digambarkan sebagai figur yang kocak, suka bergurau, setia dan patuh kepada junjungannya.

Adegan main dadu

Kisah Parthajajna di Candi Jago dimulai dari sudut barat daya, dengan adegan main dadu antara Pandawa dan Kurawa, sampai Arjuna mendaki puncak G. Indrakila untuk bertapa. Dalam perjalanan mendaki inilah Arjuna ditemani para punakawan.

(Baca juga:Membaca Cerita Ramayana Melalui Relief Candi Penataran, Sssttt… Jangan Salah Arah, Ya!)

Arjuna rupanya mendapat tugas paling berat dalam mempersiapkan diri untuk menggempur kekuatan Kurawa, dua belas tahun kemudian.

la harus bertapa di G. Indrakila agar mendapat petunjuk dan senjata dari para dewa. Dalam menjalani tapa, tokoh kesatria yang tampan dan sakti itu mendapat banyak godaan, baik dalam wujud binatang buas maupun wanita cantik.

Dengan bahu-membahu bersama para pengiringnya, Arjuna berhasil menyelesaikan misi tapa brata itu dengan sukses.

Konon, keberhasilan Arjuna itu tak lepas pula dari jasa para pengiringnya yang setia, yaitu para punakawan.

Pada teras pertama dari tingkat dua, digambarkan tentang kesengsaraan para Pandawa akibat kalah main dadu dengan Kurawa.

Pada teras ketiga terukir cerita Arjunawiwaha, dimulai dengan adegan para bidadari yang menggoda tapa Arjuna, diakhiri dengan tewasnya Niwatakawaca.

Kisah ini merupakan gubahan Empu Kanwa, sastrawan zaman Airlangga (1028 – 1035 M), dari episode Mahabarata ke-3, yang disebut Wanaparwa.

Kreasi asli

Uniknya, dalam kesusastraan maupun relief canti di India tidak pernah dijumpai tokoh punakawan.

Dengan demikian, tokoh-tokoh Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng merupakan hasil kreasi para seniman Indonesia sendiri.

Pahatan punakawan di Candi Jago merupakan bukti autentik tentang eksistensi tokoh ini dalam sastra kuno. Patut dicatat bahwa di candi inilah untuk pertama kali dijumpai adanya tokoh punakawan.

Perkembangan minat masyarat terhadap masalah humor dan urusan ‘tawa-tertawa’ ini berpengaruh pula pada perkembangan tontonan yang menampilkan empat sekawan punakawan ini.

Cerita punakawan kemudian juga ditampilkan tersendiri sebagai cerita utuh.

(Baca juga:Nasib Orang Siapa yang Tahu, Inilah 6 Hal yang Harus Diketahui Bila Kita Ingin Menikah dengan Anggota Keluarga Kerajaan Inggris)

Selain itu, ada pula perkembangan fungsi dan tamabahan-tambahan misi yang diselipkan dalam penampilan kisah mereka.

Contoh yang jelas dan dekat, adalah acara Ria Jenaka setiap Minggu siang di TVRI. Di samping menghibur pemirsa lewat lawakan, ‘Bagong-Ateng’, ‘Petruk-Iskak’, ‘Gareng-Slamet Harto’, dan ‘Semar-Sampan Hismanto’, juga menyampaikan pesan-pesan penyuluhan. (Budi T. Prasetyo/Citrakara)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1990)

Artikel Terkait