Petani biasanya memperbanyak carica dengan cara stek batang. Di tanah Dieng yang subur dan gembur, potongan batang pohon carica gampang tumbuh menjadi tanaman baru.
Tidak membutuhkan perawatan khusus. Tinggal tancap di tanah basah, ia akan mencari makanannya sendiri. Kadang carica juga berkembang biak secara alami dari biji.
Karena gampang ditanam, sebagian besar penduduk di puncak Dieng punya pohon carica. Entah di pekarangan rumahnya atau di ladang.
Biasanya hanya sebagai tanaman sampingan. Tanaman utamanya kentang atau kubis.
Dibandingkan dengan kedua tanaman utama itu, carica kurang memiliki nilai ekonomis. Permintaan kubis dan kentang tak pernah berhenti.
Sementara permintaan carica hanya berasal dari industri kecil pembuat manisan di Kota Wonosobo. Penjualannya hanya mengandalkan produksi manisan.
Buah ini tidak dijual sebagai buah segar yang bisa langsung dihidangkan di meja seperti pepaya. Maklum saja, meskipun aromanya sangat menggoda, buah ini cukup merepotkan untuk dikonsumsi.
Terutama untuk menghindari getah serta memilih daging buahnya di antara bijinya yang sulit dipisahkan.
Harganya pun tergolong murah. Paling mahal hanya Rp 2.500,- per kg. Biasanya mahal pada saat kemarau, ketika produksi carica turun.
Jika sedang musim hujan, di mana produksi carica melimpah, harganya bisa anjlok hingga Rp 1.000,- per kg.
Jika harganya sedang anjlok, kadang buah carica dibiarkan begitu saja matang di pohon sampai jatuh berceceran di tanah. "Daripada tanahnya nganggur, enggak ada tanaman, ya ditanami carica saja," aku Pawit.
Buahnya juga tidak tahan lama. Setelah dipetik, jika dibiarkan begitu saja tergeletak di rumah, ia bisa busuk mubadzir.
Satu-satunya jalan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan membuatnya menjadi manisan.
Daging luarnya yang hambar itu dipotong-potong lalu direbus dengan gula, bersama daging bagian dalamnya yang manis dan harum.
Setelah dikemas dalam wadah beling atau plastik, manisan carica dijual di toko-toko penjual makanan khas Wonosobo, bersama keripik jamur dan kacang dieng.
Penjualannya tidak hanya di Wonosobo, tapi juga sampai di kota-kota besar macam Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Sayangnya, proses perebusan itu menghilangkan sebagian besar aroma carica yang khas. Daging buahnya memang menjadi manis karena tambahan gula, tapi aroma manisan tidak seharum buahnya saat masih segar.
Meski demikian, manisan carica tetap terasa segar. Sesegar udara Dieng saat cuaca cerah. (M. Sholekhudin)
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2007)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR