Advertorial
Intisari-Online.com – Sepuluh tahun yang lalu, Wesley Wee, mencoba bunuh diri.
Bukan tanpa alasan Wee melakukan tindakan yang dianggap sebagai “hal berdosa” tersebut.
Dilansir dari tnp.sg, Wee terlahir dengan cerebral palsy, kondisi di mana ada gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau perkembangan abnormal di otak. Paling sering terjadi sebelum kelahiran.
Wee tidak bisa mengendalikan gerakan di anggota tubuhnya. Sehingga ia menjalani prosedur pembedahan saat masih kecil.
Namun prosedur ini membuatnya kehilangan kemampuan untuk berjalan.
Wee putus asa. Puncaknya pada 2007. Dia mencoba bunuh diri dengan segala hal. Namun dia gagal dan dirawat di rumah sakit.
Pasca insiden tersebut, Wee mulai mendalami ajaran agamnya.
Akhirnya, Wee mampu bangkit. Sedikit demi sedikit.
“Saya selalu percaya Tuhan ada bersama saya. Meski terkadang saya merasa ingin menyerah, saya selalu berpikir bahwa matahari akan bersinar setelah hujan,” ucap Wee.
Tahun 2010, Wee bertemu seorang wanita bernama Lorena Buan, yang menjadi istrinya dua tahun kemudian.
(Baca juga: Perempuan Penderita Cerebral Palsy ini Merajut Kristik Menggunakan Mulutnya)
Dengan cinta kasih dari Lorena, Wee mulai tahu bagaimana cara dia mengubah hidupnya.
Pria berusia 38 tahun ini akan bekerja serta meluncurkan buku!
Pada siang hari, Wee mencari nafkah dengan menjual kertas tisu dari kursi rodanya di Orchard Road.
Sementara setiap malam, selama tiga sampai empat jam, Wee akan mengetik dengan susah payah di iPad-nya dengan jempol kaki kanannya.
Butuh waktu lima tahun sampai akhirnya dia berhasil menyelesaikan sebuah buku berjudul Finding Happiness Againts the Odds.
Buku 68 halaman tersebut menceritakan perjuangannya dengan cerebral palsy saat kecil, kecenderungan ingin bunuh diri, dan bagaimana dia mengubah hidupnya.
Dengan buku ini, Wee berharap bisa mendorong orang lain untuk tidak menyerah.
“Saya berharap, ketika mereka membaca buku dan cerita saya, mereka tidak akan pernah menyerah.”
“Ini juga berlaku untuk orang lain agar bisa belajar mencintai dan peduli. Terutama mereka yang mungkin kehilangan kesabarannya dalam memberi perawatan kepada anggota keluarga mereka yang cacat.”