Intisari-Online.com – Tak dinyana, saya bertumbuk pandang dengannya di suatu mal di kawasan Senayan, beberapa waktu lalu. la mantan teman kuliah.
Dulu, ia termasuk kembang fakultas. Kami lalu menepi ke sebuah outlet kopi.
"Suamimu Mas ....?" kusebut nama teman beda fakultas, pacarnya dulu. Ah, ia menggeleng lemah. Tak disetujui orangtua, alasannya.
(Baca juga: Kita Sering Lupa Bahagia Justru Karena Terlalu Sibuk Mengejar Kebahagiaan yang Belum Pasti)
Ayahnya memang perwira tinggi yang setahu kami, agak angker. Lulus kuliah, ia bekerja dan bertemu jodoh teman seprofesi, saat usianya 28 tahun.
la hanyut dalam 25 tahun pernikahan membahagiakan, punya empat anak, yang sulung baru jadi sarjana ekonomi.
Suaminya, tiga tahun lebih tua, sangat baik hati. Santun dan selalu menuruti keinginannya. la berbinar ketika bercerita, "Selama seperempat abad, kami tak pernah bertengkar. la selalu mengalah."
Saya ikut senang. Suasana rumahnya tentu tenang dan harmonis. Tepatnya, melankolis.
“Justru ini yang kadang membuatku kurang bahagia.”
Hah! Saya tercekat. Ia merasa, hari-harinya mengalir dalam kebekuan. Tak ada irisan emosi yang membuat jiwanya tercubit.
“Beda dengan mas…” Ia menyebut nama mantan pacarnya, yang saya kenal jago debat, agak nyeni, dan sedikit kasar.
(Baca juga: Wow, Begini Cara Bung Karno Mendapatkan Cinta Pramugari Cantik)
Kadang ia "membayangkan", seandainya dengan Mas .... diskusi pasti akan lebih seru. Pengetahuannya yang luas akan "mencacah-cacah" dirinya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR