Advertorial

Pria Dibakar Hidup-hidup karena Dituduh Curi Ampli: Kok Bisa-bisanya Orang-orang Terprovokasi untuk Bertindak Sadis?

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-online.com - Pria berinisial MA dituduh mencuri amplifier mushala. Massa yang terprovokasi lalu mengeroyok dan membakar MA hidup-hidup.

Aksi main hakim sendiri tersebut memunculkan pertanyaan, 'kok, bisa-bisanya para pengeroyok tersebut tega menghabisi nyawa orang dengan cara sadis?'

Apalagi sebenarnya saat itu belum bisa dipastikan dan dibuktikan sebagai pelaku pencurian.

Dalam salah satu video yang merekam kejadian mengenaskan tersebut, terdengar ucapan "bakar saja" beberapa kali, setelah MA terbujur kaku karena dikeroyok.

Tidak lama kemudian, beberapa orang mulai "mengeksekusi" provokasi tersebut, MA dibakar hidup-hidup.

Memang, suatu peristiwa yang melibatkan orang banyak tidak dapat terjamin ketertibannya. Buktinya, banyak peristiwa kerumunan yang merugikan.

Contohnya, ya, yang terjadi pada MA.

Atau aksi demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan besar sehingga kerumunan itu sibuk main hakim sendiri.

Pertanyaannya, apa yang memicu tindakan tersebut? Adakah penjelasan rasionalnya?

Saat peristiwa kerusuhan dan penjarahan terjadi di London tahun 2011, David Cameron menyebut menggambarkan tindakan massa itu sebagai keegoisan dan kecerobohan yang sebenarnya tidak ada artinya.

(Baca juga: Apa Yang Harus Dilakukan Agar Tidak Terprovokasi Saat Demo?)

Sebab akhirnya orang-orang berpikir dan bertindak tanpa akal. Kerusuhan adalah kejadian yang paling tidak diinginkan dari kerumunan massa.

Tindakan irasional dalam kerumunan massa sering disebut dengan “mob” dan “copycat riots”.

Mob dan copycat riots merupakan kasus di mana orang hanya meniru apa yang mereka lihat tanpa berpikir.

Teori psikologi yang mendukung adalah pada kerumunan orang tidak bertindak rasional berdasar pikirannya sendiri.

Sehingga tindakan mereka dipengaruhi oleh identitas sosial, pemahaman kolektif, norma, dan nilai kerumunan itu.

(Baca juga: Kriminolog UI: Aksi Main Hakim Sendiri Akibat Warga Sudah Tidak Percaya Polisi)

Kericuhan/kerusuhan dalam kerumunan umumnya terjadi ketika kelompok merasa bahwa konfrontasi merupakan satu-satunya cara untuk mengubah situasi.

Dalam psikologi massa (kerumunan) tindakan irasional dapat dijelaskan. Inilah jawaban mengapa orang mudah terprovokasi dan ricuh dalam kerumunan:

1. Anggota kerumunan cenderung tidak jadi diri sendiri

Perilaku massa dalam kerumuhan (khususnya aksi kerusuhan) biasanya tidak terduga dan terjadi spontan.

Teori ini menyatakan bahwa dalam satu kelompok orang terpengaruh dan tanpa sadar melakukan hal yang berlawanan dengan norma pribadi.

Di sini, emosi pemimpin kelompok yang menguasai. Orang banyak meniru tanpa berpikir.

2. Kerumunan mengutamakan solidaritas

Sebetulnya tindakan massa yang memicu kerusuhan belum tentu perilaku yang membabi buta.

Ada juga yang masih memikirkan nilai dan norma pribadinya sendiri.

Namun atas dasar solidaritas, mereka berpikir bahwa masalah yang mereka serukan itu adalah masalah banyak orang.

Sehingga, mereka menuntut agar persoalan itu tidak diabaikan, namun diselesaikan.

Baca juga:Apa Yang Harus Dilakukan Agar Tidak Terprovokasi Saat Demo?

3. Dipandang negatif oleh orang lain di luar kerumunan

Dalam kerumunan, orang-orang bertindak berdasarkan satu pemahaman kelompok.

Tapi sayangnya, tidak semua orang menerima pemahaman yang sama mengenai sebuah aksi itu. Istilahnya, ada perbedaan interpretasi.

Misalnya unjuk rasa damai dinilai oleh pihak kepolisian (pihak lain) berpotensi mengganggu masyarakat.

Penilaian itu justru dapat menyulut emosi massa. Apalagi polisi berhak untuk menghentikan aktivitas demo dengan segala cara.

Nah, kadang-kadang peserta demo berpikir bahwa hal ini adalah bentuk penindasan, sehingga mereka bereaksi dengan lebih keras.

Namun sayangnya, akibat perbedaan interpretasi tadi, pesan yang dikomunikasikan bisa ditanggapi berbeda, dan inilah yang memicu kerusuhan.

Ada orang yang tetap pada tuntutan, namun ada pula yang melakukan penentangan dengan penjarahan bahkan kekerasan lainnya.

(Tika Anggreni Purba)

Artikel Terkait