Intisari-Online.com – Ada yang aneh dengan masyarakat terhadap aturan lalu lintas.
Di banyak jalan di kota besar, aturan dan rambu yang sudah jelas diterabas tanpa rasa bersalah.
Belum lama ini viral video pengendara motor yang marah-marah karena ditegur melintasi trotoar.
Padahal sudah jelas ada aturan bahwa trotoar haram buat pengendara motor.
Lalu, tiba-tiba ratusan ojek online menutup jalan layang nontol (JLNT) Casablanca pada Selasa (25/7/2017) karena merasa dijebak.
Polisi menilang pengendara motor di ujung jalan karena motor tidak diperbolehkan masuk ke JLNT.
Rambu motor tidak boleh lewat di JLNT itu sudah terpasang di ujung jalan masuk.
Mereka memang dijebak karena mereka tidak bisa melihat polisi saat masuk JLNT.
Tapi jika mereka sadar bahwa sudah ada larangan namun dilanggarnya juga, maka menjadi aneh kata dijebak itu.
Melanggar aturan memang bukan monopoli pengguna jalan di Jakarta.
Satu dari lima pengendara kendaraan bermotor di Inggris (yang disurvei dari 1.094 pengendara) pernah melanggar peraturan lalu lintas, terutama ketika mereka merasa tidak ada orang lain yang melihatnya.
(Baca juga:Aturan Lalu Lintas Dilanggar, Dihukum Kursus Mengemudi)
Banyak alasan pengendara itu melanggar aturan. Salah satunya adalah kepercayaan diri yang tinggi.
Mereka yang memegang SIM antara 5 dan 20 tahun cenderung melanggar aturan.
Berbeda dengan mereka yang memegang SIM di bawah lima tahun atau di atas 20 tahun, cenderung untuk menaati aturan.
Selain itu, temuan lainnya dirangkum dalam sebuah tabel berikut.
Pengendara yang berisiko melanggar aturan | Pengendara yang cenderung menaati aturan |
- Bekerja penuh waktu
| - Tidak bekerja atau pekerja paruh waktu |
- Usia 25 - 60 | - Usia di bawah 25 tahun atau di atas 60 |
- Tidak atau belum memiliki anak | - Memiliki anak |
"Beberapa orang melanggar peraturan sebagai hal yang biasa, sementara yang lain benar-benar menaatinya."
Di Indonesia sendiri, National Traffic Management Center (NTMC) Polri, merinci 10 jenis pelanggaran yang sering dilakukan pengendara kendaraan bermotor.
Paling atas ditempati oleh menerobos lampu merah (42 persen), disusul tidak menggunakan helm (23 persen), melanggar rambu-rambu lalu lintas (9 persen), tidak membawa surat kelengkapan berkendara (9 persen), melawan arus (7 persen), tidak menyalakan lampu kendaraan (3 persen), menerobos jalus Transjakarta (3 persen), tidak menggunakan komponen kendaraan sesuai peruntukan (2 persen), tidak menggunakan spion (1 persen), berkendara melewati trotoar (1 persen).
(Baca juga:17 Pelanggaran dan Denda yang Disasar Polisi di Operasi Zebra 2016)
Meski tak ada catatan berapa persen pengendara motor yang menerobos aturan masuk JLNT, Dinas Perhubungan DKI Jakarta memasang aturan sepeda motor tidak boleh melintas di JLNT Casablanca karena masalah keamanan bagi pengendara, seperti yang ditegaskan oleh Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko.
JLNT Casablanca pernah menyimpan kenangan pahit bagi M Faizal Bustamin.
Akhir Januari 2014, bersama istrinya Windawati, menjadi korban kecelakaan di Jalan Layang Non-Tol (JNLT) Casablanca, Jakarta Selatan.
Waktu itu juga sedang ramai-ramainya polisi “menjebak” pengendara motor yang melintas di jalan itu.
Mereka yang melintas dan begitu mengetahui ada polisi di ujung jalan lantas berputar arah karena tidak mau terkena tilang.
Naas, saat berbalik melawan arus Honda Beat bernopol B 3843 LAbertabrakan dengan mobil Honda City B 8542 RS.
Saat kecelakaan itu Windawati terjatuh dari jalan layang dan meninggal dunia.
Ketinggian JLNT memang menjadi bahaya terbesar bagi motor.
Selain angin yang bisa menggangu kestabilan motor saat melaju, pemandangan dari ketinggian itu bisa membius pengendara motor untuk berhenti dan mengambil gambar.
Selain itu, seperti yang dialami Windawati, ketinggian jalan itu akan memperburuk korban kecelakaan jika korban terpental dan melewati pagar jalan.
Meski satu arah, tapi kecelakaan bisa saja terjadi seperti yang dialami Rismawati Harun yang mobilnya terguling di JLNT Casablanca akibat pecah ban depan sebelah kanan. (*)